Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read

Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657 ha, panjang dari utara ke selatan 40 km, dan dari timur ke barat 69 km. Malaka yang berbatasan dengan negeri tetangga sebelah selatan dengan Johor dan di sebelah utara dengan Negeri Sembilan. Malaka juga merupakan selat yang terpanjang di dunia pada masa kejayaannya, Malaka merupakan salah satu jaringan maritim tersibuk skala global dari masa klasik hingga masa sekarang.

Sebagai salah satu kesultanan Melayu yang pernah mencapai puncak kejayaan di abad ke-15, Kesultanan Malaka merupakan bandar niaga terbesar di Asia Tenggara. Dari Malaka perdagangan dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke Barat sampai di India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur, dan Laut Tengah. Ke Utara sampai di Siam, Pegu, serta ke Timur sampai di Cina dan mungkin Jepang. Salah satu faktor terpenting di samping adanya perlindungan Cina, yang tempatnya strategis dan aman dari gangguan angin musim. Untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Malaka, maka Paremeswara menganut agama Islam di usia 71 tahun, dengan gelar Sultan Iskandar Syah (1396-1413). Islam kemudian menjadi agama resmi di Kesultanan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam.

Setelah Parameswara meninggal, maka digantikan oleh Sultan Muhammad Iskandar syah (1424-1444) yang merupakan putra dari Sultan Iskandar Syah, undang-undang Malaka mula diasaskan di Malaka. Pada masa Sultan Muzaffar Syah (1450-1458) penguasa Malaka ini yang memerintahkan penyusunan hukum-hukum Malaka selama pemerintahannya. Sultan Mansyur Syah (1458-1477), Sultan Alaudin Syah (1477-1488), dan Sultan Mahmud Syah (1488-1511) adalah penguasa terakhir.

Pada abad ke-15 hingga mencapai puncak kejayaan masa Sultan Mansyur Syah, penyebaran agama Islam mengikuti jalur perdagangan. Para pedagang Arab, India, dan Persia tidak hanya melakukan aktivitas dagang saja, tetapi juga menyebarkan Islam kepada para pedagang yang ada di Malaka. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa Malaka tidak hanya sebagai bandar niaga yang terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga telah berperan sebagai sarana pengubah keyakinan masyarakat Asia Tenggara, secara damai dan tanpa adanya jalur pemaksaan.

Baca Juga  Pelajaran Jeda Iklim dalam Wukuf di Arafah

Dengan demikian, Selat Malaka menjadi rantai pelayaran yang penting. Berkat letaknya yang strategis, Selat Malaka yang menjadi alur lalu lintas pelayaran dan perdagangan antara pedagang dari Arab, India, Persia, dan Cina, yang memperdagangkan antara lain timah, cengkeh, pala dan lada, sejak tahun 1403 M Malaka telah berhubungan langsung dengan berbagai bangsa. Malaka semakin maju serta besar, sehingga menjadi kota dagang yang paling terkenal.

Perdagangan global tersebut terbentuk perdagangan yang dapat dijangkau lewat lintas laut dan menguasai jalur maritim antara Cina (pasar internasional yang terbesar sepanjang catatan sejarah) dan pusat-pusat pemukiman penduduk seperti India, Timur Tengah, dan Eropa, wilayah di bawah angin ini sudah barang tentu selalu terpengaruh oleh makin cepatnya perdagangan Maritim internasional. Produknya yang berupa cengkeh, pala, kayu cendana, kayu sapan, kamper, dan pernis, mandapatkan pasaran sejak zaman Romawi dan Han.

Adat dan undang-undang yang dihasilkan kemudian menampilkan Melayu yang terbuka dan kosmopolitan. Keterbukaan itu menjadikan berkembangnya kehidupan multikulturalisme di pusat-pusat Melayu. Pedagang dari berbagai latar belakang bangsa, agama dan etnis merasa nyaman dan dihargai ketika mereka datang ke pelabuhan Melayu untuk berdagang. Keterbukaan Melayu kemudian dikenal oleh masyarakat dunia melalui informasi dari pedagang masing-masing bangsa.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran Kesultanan Malaka di Selat Malaka berdampak signifikan antara hubungan kerjasama yang transaksional dalam perdagangan internasional. Lebih daripada itu, berdampak hebat terhadap Islamisasi di Nusantara dari para pedagang Muslim, dan berimplikasi terhadap asumsi masyarakat internasional dari luar Nusantara bahwa Islam di Selat Malaka melalui Kesultanan Malaka merupakan bentuk inklusifitas terhadap kosmopolitan mereka terhadap dunia luar tanpa memandang dengan siapa mereka berhubungan antara satu sama lain bahkan dari daratan Asia Timur jauh sekalipun.

Baca Juga  Cerita Panjang Bersama Rak Buku

Editor: Assalimi/Saleh

Johan Septian Putra
41 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…
Feature

Kazan, Jejak Kejayaan Islam Tertua di Rusia

3 Mins read
Organisasi Internasional BRICS baru saja melakukan konferensi tingkat tinggi tahunan ke-16 nya pada bulan Oktober lalu. Pertemuan organisasi Internasional ke-16 tahun ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds