Review

Belajar Filsafat Bukan Perkara yang Haram

3 Mins read

Beberapa Stigma Negatif tentang Filsafat

Belajar Filsafat – Merujuk Nurcholish Madjid (2008), filsafat Islam merupakan disiplin keilmuan Islam yang paling sedikit dipahami, paling banyak disalahpahami, dan paling kontroversial.

Filsafat ditempatkan dalam pojok sekalipun pernah mendapatkan kedudukan terhormat dalam tradisi khazanah Islam. Filsafat menjadi kajian keilmuan yang tersisihkan.

Ini diakibatkan pandangan bahwa tidak ada manfaat belajar filsafat. Selain itu, munculnya fatwa haram belajar filsafat. Kebalikan dengan filsafat Islam, disiplin keilmuan Islam seperti tasawuf, kalam, dan terutama fikih, menjadi primadona khazanah Islam. Padahal, diakui atau tidak, filsafat merupakan induk pengetahuan, termasuk khazanah Islam.   

Pertumbuhan Filsafat Islam

Perspektif sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa filsafat Islam tumbuh dari interaksi intelektual Arab-Muslim dengan Syria, Mesir, dan Persia. Unsur Helenisme dalam filsafat Islam tidak mungkin diingkari karena filsafat pertama kali bermula dari Yunani Kuno.

Filsuf Muslim pertama adalah Al-Kindi.  Polimatik yang mahir bermusik ini terlahir di Kindah Kufah. Ia menguasai bahasa Yunani serta menerjemahkan karya Aristotoles dan Plotinos ke dalam bahasa Arab.

Di samping itu, Al-Farabi menulis beberapa buku filsafat. Salah satunya adalah Al-Falsafah Al-Ula (Filfasat Pertama) yang berisikan kedudukan filsafat dalam khazanah Islam.

Serangkaian kerja intelektual tersebut mengantarkan Al-Kindi dijuluki al-mu’allim al-tsani (Guru Kedua) setelah Aristoteles yang dipandang sebagai Guru Pertama.

Tradisi filsafat Islam hidup dan cemerlang selama lebih dari tiga abad. Selain al-Kindi, berderet nama-nama filsuf Muslim muncul, seperti Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.

Sebagai induk pengetahuan, filsafat yang menyediakan metode berpikir mendalam dan kritis tersebut menjadi landasan kegemilangan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Dinasti Abbasiyah (750-1258).

Sejarawan menyebut masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah sebagai renaissans Islam. Salah satu yang berkontribusi dalam kemajuan tersebut adalah Khalifah Al-Ma’mun yang gandrung terhadap filsafat.        

Baca Juga  Bagaimana Filsafat Membicarakan Pendidikan?

Kritik Keras kepada Filsafat         

Kritik keras terhadap filsafat muncul dari Al-Ghazali melalui salah satu karya penanya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Ahli Filsafat). Karena itu, Al-Ghazali dituduh sebagai pemadam filsafat dalam khazanah Islam.

Sebuah tuduhan yang perlu diperiksa ulang karena walaupun mengkritik keras filsafat, Al-Ghazali sebenarnya filsuf Muslim hingga akhir hayatnya (hlm. 32).

Al-Ghazali sekadar menunjukkan kerancuan logika filsuf dengan menggunakan metode berpikir filsafat pula. Hanya saja, menurut Fazlur Rahman (2017), pasca Al-Ghazali, filsafat Islam didominasi nuansa tasawuf.

Tonggak Penolakan Filsafat Islam 

Penolakan terhadap filsafat Islam menemukan tonggaknya pada abad ke-14 dengan kehadiran karya intelektual Ibn Taymiyyah.  Tokoh panutan salafisme tersebut mengkritik keras filsafat karena agama tidak mungkin dipahami dengan akal.

Kritikannya berdampak munculnya pendapat bahwa hukum mempelajari filsafat adalah haram. Universitas Al-Azhar Mesir sendiri mengeluarkan filsafat dari silabus kampus selama beberapa abad. Berkat upaya Al-Afghani dan Muhammad Abduh, Universitas Al-Azhar memasukkan kembali filsafat pada akhir abad ke-19.       

Belajar Filsafat Bukanlah Perkara yang Haram

Buku ini secara lugas menyatakan bahwa filsafat bukanlah kajian terlarang dalam Islam. Layaknya makanan lezat, filsafat Islam adalah khazanah yang halalan-thayyiban untuk dinikmati.

Bahkan mempelajari filsafat Islam dianggap kemuliaan karena mencoba menelisik hakikat sesuatu yang terbentang di dunia sehingga dapat mengantarkan seorang meyakini Tuhan (hlm. 31).

Poros ilahiyat (ketuhanan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam filsafat Islam. Dalam titik inilah, tampak diferensiasi antara filsafat dan filsafat Islam. Bila filsafat modern berlandaskan skeptisme, filsafat Islam bersandar pada agama.         

Keselarasan antara Filsafat dan Agama

Filsuf kelahiran Cordova, Ibn Rusyd mendemonstrasikan keselarasan antara filsafat dengan agama. Baginya, filsafat tidak berlawanan secara diametral dengan agama. Keduanya memiliki titik konvergensi yang mendorong untuk bersama-sama mencintai kebijaksanaan.

Baca Juga  Hayy bin Yaqzan: Relasi Akal dan Wahyu Menurut Ibnu Thufail

Karena itu, mengharamkan filsafat yang sering kali dalam terminologi keislaman disebut hikmah (kebijaksanaan) tersebut bukan saja menandakan ketidakmampuan mengunyah filsafat, melainkan pengingkaran terhadap potensi akal budi manusia.   

Filsafat: Alat Bantu Menyelesaikan Problem

Filsafat meyediakan kejernihan dalam berpikir dan bertindak sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa Latin ex philosophia claritas (melalui filsafat menuju kejernihan).

Filsafat memiliki potensi membantu menyelesaikan problem mendasar kemanusiaan (hlm. 44). Di tengah kegaduhan media sosial dan polarisasi sosial politik seperti saat ini, filsafat mengajarkan untuk memeriksa, mendiskusikan, dan menguji kesahihan segala sesuatu.

Gampang mempercayai hoaks dan menyebarkannya, salah satunya, dikarenakan pudarnya sikap kritis dan kemampuan refleksi secara mendalam. Dalam konteks inilah, filsafat menemukan urgensinya.        

Pandangan Haidar Bagir tentang Filsafat

Lebih dari itu, penulis buku, Haidar Bagir memandang bahwa filsafat mampu memecahkan persoalan manusia modern yang dihinggapi kehampaan spiritual, krisis makna, dan keterasingan terhadap dirinya sendiri (hlm. 54). Bahkan, filsafat membawa manfaat dari kesuksesan bisnis hingga keimanan (hlm. 63).

Dalam pandangannya, agama tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Karena itu, sampul dalam buku memuat kutipan hadits Nabi Muhammad, “Agama adalah akal. Tak ada agama bagi orang yang berakal.” Berakar dari filsafat pula, moderasi beragama lahir dan berkembang. Tidak mengherankan bila semua filsuf Muslim mengajarkan al-wasath (sikap pertengahan dalam segala sesuatu) (hlm. 162).                                    

Haidar Bagir yang menyebut dirinya sebagai pekerja dan aktivis di bidang filsafat Islam mampu menghadirkan sebuah buku pengantar filsafat Islam yang hidup dan mencerahkan sekaligus memberikan panduan sebelum masuk dalam khazanah Islam yang tidak terperikan.

Ditulis dengan bahasa populer, pembaca buku ini tidak akan dapat melepaskan diri dari mengeryitkan dahi seperti umumnya menikmati buku-buku filsafat. Membaca buku ini meruntuhkan anggapan bahwa filsafat itu terlarang dalam agama, ruwet, dan tidak penting.

Baca Juga  Mengapa Kita Harus Berhenti Menalar Tuhan dengan Akal?

Judul Buku: Mengenal Filsafat Islam
Penulis: Haidar Bagir
Penerbit: Mizan, Bandung, November 2020
Tebal : 196 halaman
ISBN: 978-602-441-017-4

Editor: Yahya FR

Muhammad Ainun Najib
7 posts

About author
Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds