Review

Review Buku: Assalamualaikum, Saudara-saudaraku

4 Mins read

Islam yang dihadirkan dalam buku ini memberikan respon terhadap berbagai problema keberagaman dan keberagamaan di Indonesia. Edi Ah Iyubenu berhasil memberikan pandangan Islam yang dinamis, luwes, damai, dan tidak jumawa dengan terlalu fanatis terhadap satu mazhab semata; yang sampai tidak segan-segan membid’ahkan dan menjudge sesat, bahkan kafir, pada orang yang berselisih paham dengannya.

Polemik kebangsaan, kebudayaan, dan keberagamaan dibenturkan seolah bertentangan. Padahal jika kita mau jeli, sejauh itu tidak menyekutukan Tuhan dan tidak memunggungi akidah dan syariat, hal itu sah-sah saja. Karena sejatinya Islam hadir sebagai agama kemanusiaan. Tidak hanya tentang ritual keagamaan dengan Tuhan semata. Jauh dari itu, terdapat pesan sosial yang terkandung dan ingin disampaikan kepada manusia.

Review Buku: Assalamualaikum, Saudara-saudaraku

Awalnya, saya mengira buku ini adalah rangkaian petuah motivasi dari penulis melihat judulnya, “Assalamualaikum Saudara-saudaraku”. Dan ternyata memang benar demikian adanya. Tapi berbeda dengan buku motivasi lain, jika yang lain menyuguhkan kata bijak dan dorongan yang meledak-ledak, justru buku ini menyuguhkan khazanah pemikiran tokoh-tokoh tersohor yang dikemas begitu luwes sehingga mudah dipahami. Dan ini merupakan sebuah motivasi untuk lebih gigih menebarkan Islam ramah yang tidak mudah marah.

Buku ini memang lebih bersifat personal mengenai rekam jejak perjalanan intelektual hingga spiritualnya. Namun tidak hanya itu, beberapa bagian lagi membahas tentang ketakwaan, keimanan, hingga puncaknya akhlak mulia. Dari gaya tutur tulisnya, membuat diri terkesima dengan berbagai gagasan serta argumennya yang begitu argumentatif dan logis, dengan menebarkan Islam sebagai risalah damai yang menjunjung tinggi kesamaan (musawah), kesepahaman (kalimatun sawa’), moderasi (wasathiyah), toleransi (tasamuh), dan keselarasan dalam kehidupan bersama. Di mana semua dipandang berasal dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya.

Dari sketsa setting historinya yang cukup singkat, memberikan banyak pelajaran yang cukup dalam. Mulai dari kegigihan, semangat perjalanan intelektual, dan spritual yang menyemburat seolah mengajak pembaca ikut serta dalam skenario dramanya. Para tokoh besar seperti halnya Imam Ghazali, Imam Syatibi, Muhammad Thaha bin Asyur, dan Quraish Shihab yang memiliki pemikiran progresif, toleran, dan pandangan yang mutawasith, turut serta dihadirkan dalam mewarnai khazanah kekayaan buku ini.

Baca Juga  Jihad Kini: Menyebar Pesan Nirkekerasan Ajaran Islam

Islam dengan Mazhab dan Paham yang Beragam

Sungguh saya heran karena tak pernah berhasil menalar dengan cara apapun, apa gerangan yang ada dalam pikiran dan ilmu rasional seseorang atau sekelompok muslim yang begitu memaksakan diri untuk menyeragamkan madzhab, paham, aliran, dan amaliyah umat Islam se-Indonesia ini? Bahkan sebagiannya terseret pada tebaran ucapan dan perbuatan yang mafsadah, berpunggungan dengan akhlak karimah, dan nilai-nilai etik kemanusiaan, seperti tudingan sesat dan kafir.” (hal. 23-24)

Khazanah ilmu dan fatwa sejak zaman salafus sholih pun telah sedemikian berbeda dan beragamnya. Apalagi di zaman kita saat ini yang makin membludak umatnya, serta semesta realitas dan kebudayaannya. Sehingga, otomatis pula kebutuhan atas fatwa-fatwa hukum pun makin tak terbendung jalarannya.

Lanjut Edi mempertanyakan, “Lantas apa logika sehatnya untuk terus menuntut umat seluasnya untuk menganut satu madzhab dan amaliyah? Padahal tujuan esensial Alquran dan Hadits adalah semata kemaslahatan dan mencegah keburukan, lantas apa logika sehatnya bagi siapapun yang mengesahkan ucapan-ucapan dan tindakan tak bermoral kepada orang lain yang berbeda anutan; bukankah itu serupa dengan menyatakan membela dan menegakkan syariat Islam dan menginjaknya sekaligus?” (hal. 24)

Tiga Pola Metode Dakwah Menurut Al-Qur’an

Setidaknya, dalam berdakwah kita tidak lepas dari yang ajaran Al-Qur’an dan sunah nabi. Al-Qur’an mengajarkan tiga pola metode dakwah, yakni sebagai berikut.

Pertama, bil hikmah, yakni melakukan dakwah secara bijak, dapat mengetahui situasi dan kondisi yang dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat. Paling tidak tetap menjunjung tinggi nilai toleransi dan saling menghargai, menebar kedamaian untuk kemaslahatan sosial.

Kedua, al-mau’idhoh hasanah, memberikan nasihat-nasihat yang baik, santun, tidak serta merta menghakimi pihak yang selisih paham. Atau lebih ekstrem lagi menudingnya bid’ah, sesat, bahkan kafir.

Baca Juga  Seabad Muhammadiyah Membangun Kesehatan Bangsa

Ketiga, wa jaadilhum billatii hiya ahsan. Dakwah berupa dialog atau tukar pikiran dalam rangka menjernihkan pemahaman tanpa ada ketegangan. Hal ini selaras dengan ungkapan Imam Syafi’i rahimahuLlah.

Bahkan, dalam beberapa ayat lainnya menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama (laa ikraaha fi ad-din, QS Al-Baqarah: 256). Terkadang, kita sering lupa bahwa kita hanya diberi tugas untuk mengajak dan menyeru kebaikan, bukan memaksa. Bahkan Rasulullah pun begitu menghormati keragamanan, mengutamakan kemanusiaan daripada keberagamaan. Sekali lagi, kemaslahatan untuk kemanusiaan sangatlah tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Lantas, apa yang yang menjadikannya suatu paksaan untuk menganut dan menggegap-gempitakan ajakan teologi kebenaran tunggal yang disokong?

Nilai Kemanusiaan dan Keberagaman Manusia

Allah pun menghendaki keberagaman manusia dengan berbagai macam suku dan budayanya tidak lain hanya untuk saling mengenal (QS Al-Hujarat: 13). Bukan hal yang musykil bagi-Nya menghendaki dan menjadikan manusia umat yang satu (ummatan wahidah) (QS Hud: 18). Mengajak kepada kebaikan sangat boleh dan dianjurkan, sejauh tidak memunggungi akidah dan syariat. Memaksa jangan, apalagi sampai menghakimi yang liyan sesat, bid’ah, atau kafir.

Dari saking cinta dan sayangnya Allah kepada kita, manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, yakni cenderung kepada keimanan tauhid dan perbuatan baik. Hal ini digariskan-Nya sejak terjadinya ikrar manusia saat pertama kali ditiupkan ruh pertama kali di rahim ibunya (QS Al-A’raf: 172).

Semungkar-mungkarnya manusia, semursal-mursalnya, dan betapa pun maksiatnya, sekalipun dalam bertindak. Tetaplah memiliki hati nurani bahwa apa yang dilakukannya salah atau buruk, yang diiringi desir hasrat di dalam hatinya untuk suatu waktu kembali kepada-Nya menjadi selaras dengan fitrah itu.

Silahkan cek. Mau di belahan bumi mana pun, dengan khazanah kebudayaan apa pun, serta di masa apa pun, pastilah segala perbuatan baik yang selaras dengan etika kemanusiaan akan dirayakan. Dan segala yang bertentangan dengannya akan dilesakkan. Termasuk orang-orang yang tak membenarkan adanya Tuhan dan agama sekali pun, bisa saja memperlihatkan sikap dan perbuatan yang selaras dengan nilai-nilai saleh agama.

Baca Juga  Mozaik Keteladanan: Mengenal Dekat Buya Syafii Maarif Lewat Karya Erik Tauvani

Meski demikian, tentu saja berbeda antara orang yang berbuat baik selaras dengan nilai etik kemanusiaan universal yang berasaskan iman tauhid. Ulama kita pun dengan jelas dan terang mengajarkan kita bahwa perbuatan baik dikatakan kafah jika berlandaskan iman dan kemudian patuh terhadap syariatnya.

Pun sebaliknya, umpama ada sekelompok orang yang telah beriman kepada-Nya dan kokoh menjalankan syariat-Nya. Tetapi mereka menghamburkan ucapan dan perbuatan yang tidak selaras dengan nilai-nilai etika kemanusiaan, itu pun bukanlah perilaku fitrah yang kafah. Ini pun bermasalah (hal. 47).

Membangun Masa Depan Harmoni tanpa Tragedi

Di sinilah letak gradual iman, syariat, dan ihsan berpadu saling menguatkan. Betapa pun kuat pengakuan imannya, kokoh pengamalan syariatnya, sefasih apa pun menukil ayat, hadis, dan khazanah kutub at-turats dari ulama. Jika ucapan dan perbuatannya mengakibatkan ketidakadilan, penjustifikasian iman (takfir), membid’ahkan yang berselisih pandang, dan sebagainya.

Selain menggunakan bahasa yang luwes, ringan, dan mengalir, kerangka konsep berpikir yang disuguhkan buku Assalamualaikum Saudara-saudaraku ini pun dinamis dan tidak kaku. Buku ini menebarkan Islam damai yang menjunjung tinggi kesamaan (musawah), moderasi (wasathiyah), dan toleransi (tasamuh), yang harus disebar-luaskan ke khalayak ramai.

Masa depan Islam seperti inilah yang harus tetap ada dan dipertahankan, kata Azyumardi Azra. Islam Wasathiyah yang rahmatan lil a’lamin, yang bukan hanya menjadi rahmat untuk umat muslim, tetapi juga bagi umat beragama lain, dan bahkan untuk allam semesta dengan segala makhluk.

Wallahu A’alamu bi al-Shawab.

Editor: Zahra

Judul Buku: Assalamualaikum Saudara-saudaraku

Penulis: Edi Ah Iyubenu

Penerbit: DIVA Press

Tebal: 108 Halaman

Tahun Terbit: Juni 2020

ISBN: 978-602-391986-4

Ali Yazid Hamdani
5 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *