Berburu ke Padang datar
Dapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagai bunga kembang tak jadi
***
Kebo nyusu gudel. Orang Jawa memang pintar. Termasuk bagaimana membuat rumusan tentang belajar kepada guru yang belum matang. Belajar kepada anak kecil yang belum memiliki kecukupan. Bisa ditebak bagaimana hasilnya.
Tak ada larangan belajar kepada siapapun, termasuk belajar kepada orang yang tidak seiman. Bahkan, Nabi malah menganjurkan kita berguru hingga ke negeri China. Berburu ilmu pengetahuan di manapun sepanjang untuk kemaslahatan, kenapa tidak? Tapi sangat berbeda ketika kita belajar kepada guru sebelum masak. Seperti kebo nyusu gudel. Menarik disimak di tengah kerumunan keilmuan yang tak bisa dinalar.
Kefaqihan bukan sekedar berapa ratus ayat al-Quran atau berapa puluh hadits bisa dihafal. Kefaqihan itu butuh kualitas. Pengalaman hidup dan kualitas iman. Maka Nabi SAW memberi hak terlebih dulu kepada siapa memeluk Islam dan hijrah menjadi salah satu syarat Imam shalat. Bahkan, lama belajar juga penting. Setidaknya, adab muta’allim dapat dijadikan sandaran agar tak sembarang berguru.
***
Bersyukur kita dapat saudara baru seiman. Sebut saja beberapa nama yang tiba-tiba menjadi beken dan populer menjadi da’i. Mereka mengajarkan tentang Islam kepada kita. Memang tak ada salah dalam hal belajar dan menuntut ilmu, termasuk kepada para muallaf atau komunitas baru hijrah sekalipun. Berbeda dengan “muallaf” pada agama lain yang tidak mendapatkan perlakuan spesial dan istimewa seperti halnya pada agama Islam.
Yang menarik adalah para muallaf yang baru belajar dan masuk Islam itu seakan menjadi guru terbaik. Panutan dan teladan. Bahkan, mengalahkan posisi para ulama yang sudah puluhan tahun mendalami Islam. Layaknya guru, mereka mengajari kita bagaimana cara berakidah yang lurus dan beribadah sesuai sunnah.
Dan hasilnya? Banyak yang tidak sesuai dengan pemahaman jamaah kebanyakan. Dan ini tentu sangat membedakan. Bias ini terus berlanjut, apalagi kalau kemudian dijadikan hujjah oleh sebagian muslimin. Memang tak ada persyaratan kapan seorang muallaf berhak mengajar ilmu agama yang baru dipeluk. Islam tak mengenal kerahiban. Maka siapapun berhak menyampaikan, termasuk muallaf meski satu ayat.
***
Lho… Saya bukannya tak mau belajar kepada muallaf. Belajar tentang proses mencari dan perjuangan mendapat hidayah, itu mungkin. Atau sekedar share pengalaman beragama masih mending. Tapi kemudian menjadi soal ketika mereka mengajari kita tentang cara berakidah yang lurus atau belajar beribadah sesuai sunnah. Ya nanti dulu.. Bukan saya bermaksud takabur. Pemahaman dan pendalaman tak bisa didapat secara instan. Apalagi dengan waktu singkat dalam pandangan yang baru mengerti — seperti orang yang tertidur sekian lama kemudian terbangun dan menyalahkan semua yang telah ada—maaf, pasti naif.