Buya Syafii Maarif, pada 3 Juli 2015 silam, mengajak saya untuk ikut hadir dalam acara peluncuran dan diskusi buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat di Bentara Budaya Jl Palmerah Selatan Jakarta Pusat. Mereka yang duduk sebagai pembahas: Alois A. Nugroho, Komaruddin Hidayat, dan Rahmawati Husein. Diskusi buku dalam rangka mensyukuri 80 tahun Buya Syafii ini dimoderatori oleh M Abdullah Darraz dari Maarif Institute.
Berangkat Terpisah
Beberapa hari sebelum berangkat, Buya berpesan agar saya yang saat itu masih “asing” dengan ibu kota, berangkat dengan pesawat terpisah dari Buya. “Anda harus mulai belajar dengan pengalaman baru. Silakan pilih mau naik pesawat apa, saya yang akan tanggung semua biayanya, asalkan jangan satu pesawat dengan saya,” kata Buya.
Dasar saya yang anak kampung, ndeso, waktu itu bingung antara mau berangkat atau tidak. Alasannya sederhana sekali: ewuh pakewuh. Atau mungkin ada rasa khawatir karena ini pengalaman pertama ke ibu kota seorang diri. Biasanya rombongan dan itu pun via darat. Padahal umur saat itu sudah 25 tahun.
Di hari pemberangkatan, sekitar pertengahan bulan Ramadan, kami sama-sama duduk menanti pesawat di Borobudur Lounge bandara Adi Sutjipto Yogyakarta. Sambil menunggu waktu pemberangkatan, Buya tampak serius membaca koran. Saat itu ia mengenakan batik warna ungu gelap dan sebuah tongkat penuntun.
Sambil menutup dan melipat koran, Buya Syafii berujar: “Rik, nasib anda masih jauh lebih baik dari pada saya. Saya dulu parah sekali. Saya ini kan anak kampung, tersuruk lagi. Cita-cita pun tidak terbayang di kepala. Jika bukan karena sekolah di Mu’allimin, sekolah anda juga, mungkin dunia ini bagi saya hanya sebatas kampung kelahiran saya itu. Anda harus bersyukur dan berterima kasih pada orang tua.”
Ngobrol dengan Orang Tua
Dalam perbincangan sekitar satu jam itu, Buya sempat berkomunikasi dengan Ibu saya di kampung via telepon. Betapa gembiranya orang tua di rumah ketika mendapatkan telepon secara tidak disangka-sangka dari seorang Buya meskipun hanya sekedar salam-sapa.
Buya terbang duluan, baru saya kemudian. Sampai bandara Soekarno Hatta, saya harus menuju Bentara Budaya seorang diri. Buya sudah menunggu di sana. Saya naik bus Damri sesuai arahan Buya. Kemudian naik angkot. Saat itu aplikasi ojek online belum masuk di handphone saya.
Baru saja memasuki wilayah Jakarta Pusat, Buya kirim pesan: “Rik, anda tidak tersesat, kan?”, “Aman, Buya, sebentar lagi sampai,” jawabku.
Dalam acara peluncuran dan diskusi buku yang diakhiri dengan buka bersama itu, Buya Syafii menitipkan beberapa buku di dalam tas saya. Jarang-jarang Buya begitu. Biasanya ia membawannya sendiri tanpa mau dibantu orang lain.
Belajar dari Buya Syafii
Kami bermalam di apartemen di Jalan Rasuna Said, Kuningan. Saat itu, sekitar pukul 03.00, saya terbangun untuk makan sahur. Tanpa sengaja, ketika berjalan menuju kamar kecil, saya melihat Buya Syafii. Pintu kamar Buya yang setengah terbuka itu tampak Buya di sana duduk di atas kursi kecil seorang diri menghadap kiblat. Buya sedang shalat malam. Ibadah yang rutin ia kerjakan itu biasanya ia lanjutkan dengan kegiatan membaca dan menulis (mengetik) sambil menunggu waktu Subuh.
Bungkusan nasi Padang yang telah dibeli setelah acara tadi malam sudah siap di atas meja. Kami makan bersama. Dari lantai 10, Jakarta dini hari masih menampakkan geliat kehidupan yang tak kunjung padam. Di sana jutaan manusia dari berbagai daerah mengais rezeki untuk membuat agar dapur tetap berasap. Tapi, dari sana juga jutaan orang harus menanggung derita karena ketimpangan sosial dan ekonomi.
Pagi-pagi, saat mentari telah menyinari, Asmul Khairi mengantarkan kami menuju bandara Soekarno-Hatta. Saya dan Buya lagi-lagi harus dengan pesawat yang berbeda. Ketika turun dari mobil, Buya memasukkan sejumlah uang dengan agak memaksa ke kantong saku Asmul sebagai upah karena sudah mengantarkan kami sampai bandara. Mungkin 300 ribu rupiah. Seketika, Asmul menolaknya. Kata Buya dengan nada agak tinggi: “Heh! Anda tidak boleh menolak rezeki, terima kasih sudah mengantarkan kami sampai sini.”
***
Dengan tulus dan rendah hati, kami masih harus banyak-banyak belajar dari Buya Syafii, sosok yang merdeka, autentik, dan telah selesai dengan dirinya sendiri. Semoga sehat selalu, Buya.