Perspektif

Benarkah Al-Qur’an Zaman Sekarang Tidak Otentik?

4 Mins read

Al-Qur’an merupakan kitab suci kaum muslimin yang selalu terjaga dari kesalahan dan selalu dipercaya kemukjizatannya bahkan abadi hingga hari kiamat kelak. Lain daripada itu, Al-Qur’an pula memiliki banyak sisi kemukjizatan, baik dari segi bahasa, ilmiah (sains), dan tasyri’ (hukum) maupun dari sisi ghaibiyyah jika merujuk pada pendapat Quraish Shihab.

Namun demikian, tidak sedikit dari kalangan para sarjana Barat yang tetap tidak percaya dengan kacamata dan keyakinan para kalangan muslim tersebut, sebagaimana dengan banyaknya gugatan dan serangan yang telah mereka lakukan. Bahkan mereka telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk menyingkap perubahan teks Al-Qur’an dan telah mempersiapkan serangannya dari sisi yang lain, seperti mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam saat ini tidak otentik karena pengumpulan Al-Qur’an baru dilakukan pada masa sesudah wafatnya Nabi. Kemudian mereka juga meragukan mushaf Al-Qur’an yang telah tersebar ke tangan umat Islam sekarang karena Al-Qur’an dibaca secara bebas dalam berbagai ragam bacaan.

Demikian pula mereka meragukan dan mengkritik Al-Qur’an bahwa yang asli pada masa Nabi tidak memiliki tanda baca, namun pembubuhan tanda baca baru dilakukan pada masa khalifah Muawiyah jauh sesudah wafatnya Nabi. Terlebih persoalan tanda baca Al-Qur’an memakan waktu yang cukup panjang sampai Khalifah Malik bin Marwan.

Oleh karenanya, dari berbagai serangan dan meragukan Al-Qur’an tersebut. Tulisan ini akan membahas salah satunya, yakni menjawab dan menyanggah anggapan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam tidak orisinil disebabkan pengumpulan Al-Qur’an baru dilakukan pada masa sesudah wafatnya Nabi.

Al-Qur’an itu Otentik: Sanggahan untuk Para Sarjana Barat

Gagasan tersebut pertama-tama telah dicetuskan oleh Richard Bell, yang mana hal itu menurut dia disebabkan karena Al-Qur’an dalam pengumpulannya baru dilakukan pada masa sesudah wafatnya Nabi Muhammad, yaitu setelah kurang lebih setengah abad (50 tahun).

Baca Juga  Benarkah Islam di Asia Tenggara Bukan Bagian dari Dunia Islam?

Namun demikian, tentulah pendapat tersebut ditolak dan dibantah oleh umat muslim, salah satunya oleh Mustafa al-A’zami ia berpendapat bahwa “selisih waktu lima puluh tahun sebagai pembuktian hancurnya naskah Al-Qur’an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal. Sedangkan di waktu yang sama Kitab Perjanjian Lama (kitab suci mereka) mengalami kesenjangan masa transmisi lisan selama dua abad.”

Dengan demikian para orientalis berusaha memaksakan pendapat mereka tentang kemungkinan terjadinya kesalahan yang masuk ke dalam teks Al-Qur’an, dan herannya para ilmuwan kitab injil selalu menganggap benar sejarahnya, walaupun beberapa kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya.  

***

Lain daripada itu, Abd al-Majid Mahmud juga berpendapat bahwa untuk membuktikan Al-Qur’an adalah lafaz- lafaz dari Tuhan sendiri tanpa campur tangan Jibril dan Nabi baik dari susunan kalimatnya maupun dari urutannya, dapat dilihat pada pewahyuan Al-Qur’an sampai menjadi sebuah teks dengan pemeliharaan yang cukup ketat. Ini dibuktikan oleh proses turunnya Al-Qur’an melalui tiga tahapan, yakni dari Tuhan ke lauh al-Mahfudz sebagai tahapan pertama, kemudian tahapan kedua ke langit dunia, dan ketiga ke bumi.

Pendapat ini merujuk Al-Qur’an, misalnya ayat 22 surah Al-Buruj menunjuk lauh al-Mahfudz sebagai awal turunnya Al-Qur’an, sedangkan ayat 3 surah Al-Dukhan dan ayat 1 surah Al-Qadr sebagai tahapan kedua turunnya Al-Quran ke langit dunia, sekaligus merupakan awal turunnya Al-Qur’an kepala Nabi Muhammad. Kemudian dari sini ke tahap ketiga yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad di bumi selama 23 tahun.

Demikian pula, jika anggapan itu benar bahwa mushaf kita sekarang tidak lah otentik dari Allah melainkan ia perkataan Muhammad dari hasil pemikirannya. Coba mari kita baca dan lihat secara seksama di QS. Al-Nahl: 44 dan QS Yunus : 109,  dari dua ayat tersebut justru Nabi Muhammad lah sendiri yang mengaku bahwa bukan ia yang menulis dan mengarang Al-Qur’an. Jikalau memang Nabi Muhammad menulis Al-Qur’an harusnya ia menisbahkan ayat itu pada dirinya sendiri, bukan malah tidak mengakuinya sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Qur’an.

Baca Juga  Maulid: Momentum Menggali Nilai-Nilai Politik Nabi Muhammad Saw

***

Selanjutnya argumentasi bantahan terhadap Sarjana Barat tersebut adalah jika memang Al-Qur’an itu sekarang tidak lah asli atau otentik dari Allah SWT dan ia merupakan buatan Muhammad, lantas kenapa ketika proses penulisan dan penyampaiannya oleh Nabi Muhammad tersebut sedemikian rumit bahkan setiap turunnya ayat (seluruh ayat 6.666) ia menghafalkannya, memahaminya, serta mengamalkan kandungannya lalu membacakannya kepada para sahabat.

Bahkan Nabi juga mengajarkan ayat yang turun tersebut dengan kandungan ayatnya serta bagaimana cara membacanya. Demikian pula ketika ia (Nabi) meminta para sahabat untuk menuliskan wahyu yang turun, Nabi mendiktekannya dan meminta para sahabat untuk membaca ulang apa yang telah ia tulis, terutama agar dapat terhindar dari kesalahan dan meyakinkan diri Nabi sendiri bahwa tidak ada sisipan lain yang masuk dalam teks.

Dan kiranya perlu diketahui jumlah penulis wahyu saat itu menurut Mustafa al-A’zami sebanyak enam puluh sahabat, bahkan ia pula melarang para sahabat menulis sesuatu yang berasal darinya yang bukan Al-Qur’an, agar tidak bercampur antara Hadis dan Al-Qur’an. Dengan demikian, atas dasar ini para sarjana muslim sepakat bahwa Nabi dan Sahabat tidak terlibat dalam menentukan tempat ayat dan surah dalam Al-Qur’an.

***

Kendati demikian, para sarjana Barat (orientalis) terus mengemukakan serangan kritiknya untuk meragukan kaum muslimin yaitu Jika memang lafaz dan maknanya dari Allah. Namun tetap karena ia berbahasa Arab dan berada di lingkungan komunitas Arab, maka ia tetap berasal dari Bangsa Arab. Tetapi dugaan ini dibantah oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an memang menggunakan bahasa Arab, tetapi tidak seorang pun yang dapat membuat atau menyusun bahasa seperti bahasa Al-Qur’an (Q. S. Al-Baqarah: 23 dan Q.S. Yunus: 38).

Baca Juga  Tafsir Sufistik Ibnu 'Arabi: Menyingkap yang Tak Kasat Mata

Dengan demikian, dugaan bahwa Al-Qur’an adalah ciptaan bangsa Arab tidak dapat diterima. Pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah berasal dari Muhammad juga tidak tepat. Alasannya, karena Muhammad adalah termasuk salah seorang dari bangsa Arab. Atha bin Khalil, secara rasional ingin membuktikan keaslian bahasa Arab berasal dari Tuhan dengan mengatakan bahwa sejak Al-Qur’an turun pertama kali yang dimulai dengan ayat pertama (Q.S al-Alaq: 1-5) sampai turunnya ayat terakhir, ia langsung menggunakan lafaz yang jelas, susunan yang korelatif, gaya bahasa yang tinggi dan indah. Sementara itu, bahasa yang diciptakan oleh para ahli bahasa, filosof, penyair, tidak langsung mencapai puncaknya, tetapi secara berangsur- angsur sangat meningkat sampai pada puncak kemampuan mereka.

Editor: Soleh

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds