Review

Muhammadku Sayangku: Membucin pada Kanjeng Nabi

3 Mins read

Inni Uhibbuka ya RasulaLlah

Isyfa’ lana ya NabiyyaLlah

Isyfa’ lana ya HabibaLlah

Isyfa’ lana ya Khaira KholqiLlah

Kira-kira demikian ungkapan harap dan cinta yang membuncah menjadi warna di setiap tulisan dan tentu saja kebucinan yang menjadi latar belakang lahirnya buku Edi Ah Iyubenu (selanjutnya: Edi) dari seri “Muhammad Sayangku”(Muhammad Sayangku 3: Bagi Cah Cinta, Pokoke Cinta, Pokoke  Cinta, dan Pokoke Cinta) yang ke- 3. Kalimat cinta dan selawat tersebut kerap mewarnai masing-masing sub-judul di akhir tulisannya.

Buku-buku yang ditulis Edi seperti biasa, gaya tulisan yang disampaikan begitu luwes, tidak kaku dan insyaAllah siapapun yang membacanya bakal dibuat takjub dengan semesta kata yang menggugah. Tentu saja yang tidak kalah penting adalah, untaian hikmah dan teladan yang disuguhkan dari teladan terbaik manusia yakni Nabi Muhammad yang diekstrak dan dibumbui secercah emosi, pemikiran, spiritualitas hingga pembacaan Edi dari berbagai macam literatur yang dikaitkan dengan pengalaman serta kebucinannya.

Saking mulianya akhlak Rasul, sampai-sampai Allah sendiri yang memujinya (lihat QS. Al-Qalam: 4). Lalu, Edi menyodorkan tanya begini; “Apa makna dalil tanpa keteladan? Dalil hanya akan bertahta di singgasana akal, pikiran, ilmu; sementara teladan bertahta di pelaminan rasa, hati, ruhani.” (lihat hal. 47).

Begitu pertanyaan di muka tersuguhkan, seolah hendak menyentil manusia dewasa ini yang lebih menggembar-gemborkan dalil daripada keteladanan, orang-orang yang teramat lihai mencomot ayat sana-sini, namun mengabaikan pengamalannya. Padahal siapapun dapat saja menukil ayat-ayat dan hadis.

Diakui atau tidak, memetik dalil sana-sini tanpa dibarengi keteladan yang baik pun rasa-rasanya akan percuma. Apalagi ruang lingkup dalil hanya terbatas dalam lingkaran tertentu saja. Jika yang digunakan dalil-dalil teologis dari Islam misalnya, maka hanya orang Islam yang mengakuinya. Berbeda halnya dengan akhlak baik atau teladan yang baik, yang menembus batas-batas dinding SARA, bukan saja pada sesama muslim, termasuk pada mereka yang berbeda agama sekalipun.

Baca Juga  Tidak Semua Hal yang Tidak Dilakukan Nabi itu Terlarang
***

Dalam beberapa kandungan bukunya, terdapat anak judul begini; Allah itu “Sepaket” dengan Nabi Saw yang terdiri dari 5 tulisan berantai (1-5). Tulisan tersebut merupakan yang paling panjang daripada lainnya, (lihat 33-55) yang jelas dari sekian argumen yang dipasang terpampang kokoh nas-nasnya terkait keagungan Nabi. Tanda petik dua (“”) yang diberikan pada kata sepaket bagi Edi dikhususkan kepada pembaca agar senantiasa merasakan insight yang pas (hal. 33).

Buku ini menghadirkan kekayaan untaian hikmah yang menjelma menjadi kata-kata; benar-benar membuat kita sadar atas keagungan Nabi dan mengingatkan kembali pada hadits qudsi yang berbunyi “لولا ك لولاك يا محمد لما خلقت الأفلاق” yang berarti “jika bukan karena engkau wahai Muhammad, tidak akan aku ciptakan alam semesta ini”.

Pandangan kosmologis tersebut, menurut pendapat banyak ulama, mengacu pada Nur Muhammad. Hal ini pun senada dengan penjelasan Imam Abdur Rahim ibn Ahmad al-Qadhy dalam kitabnya Daqaaiq al-Akhbar (hal. 2-3) yang menuturkan bagaimana Nur Muhammad ini sebagai cikal bakal penciptaan makhluk lainnya. Tanpa syak apapun, kehadiran Nabi Muhammad merupakan anugerah terindah yang tak terperikan.

Sebuah Pijakan Teologis Maulidan

Hal menarik lainnya adalah saat Edi mengupas bagaimana genealogi maulidan yang menemukan titik pijaknya pada sunah. Di sisi berbeda, pengharaman atas perayaan maulid nabi juga ada, bahkan ada yang mengatakan bahwa perayaan maulid itu dekat dengan kesyirikan. Padahal hal tersebut juga bersumber pada sunah kanjeng Nabi dan atsar al-sahabah, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in. Dalam acara maulidan, sangat kentara berisi puja-pujian terhadap Rasul, sehingga dalam selawatan yang manakah gerangan yang mengarah pada kesyirikan?

Baik itu diba’, barzanji, maupun simtud durar karangan Habib Ali ibn Muhammad ibn Hussein al-Habsy kesemuanya itu berisi puja-pujian, syair indah sebagai ekspresi cinta atau kebucinan yang memuncak pada Nabi.

Baca Juga  Novel Rumah Kertas: Buku Lebih Hidup Dibandingkan Manusia

Perihal bersyair, telah dilakukan oleh sahabat Kanjeng Nabi, Ka’ab Ibn Zuhair. Saking senangnya, Nabi menghadiahi Ka’ab serban (ada yang menyebutnya burdah, yakni sejenis mantel berbulu), ihwal mahallul qiyam pun telah dilakukan Hasan Ibn Tsabit membacakan syair-syair pujian dan Nabi begitu senang mendengarnya. Aqil ibn Abi Thalib pun pernah menari riang gembira di hadapan kanjeng Nabi karena dipuji oleh beliau dan beliau tersenyum senang menyaksikan ekspresi tersebut (Hal. 62-63). Tidak sekali pun Nabi mengutuk kesemuanya, justru sebaliknya; merasa teramat senang.

Kehadiran buku ini memuat 24 esai yang menyajikan ceceran kisah menyentuh hati, bagaimana sepak terjang Nabi yang humanis, penebar rahmah, dan kesejukan akhlaknya yang meneduhkan siapapun tanpa memandang sekat latar belakang apapun. Edi berhasil meramu pelbagai kisah itu dengan emosi reflektif yang saling kait-mengait antara simpul-simpul kenabian yang dapat dinikmati para pembaca dengan pengalaman spritualnya.

Buku ini memang bukan buku teori yang menyajikan teori fafifu bla-bla yang teramat jelimet itu, dan perlu diakui kehadiran buku ini tidak memberikan jalan keluar, tapi jalan ke dalam menuju garis muhasabah diri, dan kerap memunculkan tanya; sudahkah kita membucin pada Nabi dengan cara mengikuti jejak teladannya, atau hanya sebatas hafal dalilnya?

Judul Buku: Muhammadku Sayangku 3: Bagi cah Cinta, Pokoke Cinta, Pokoke Cinta, dan Pokoke Cinta
Penulis: Edi AH Iyubenu
Penerbit: Diva Press
Tebal:124 Halaman
Cetak: November 2021
ISBN : 978-623-293-594-5

Editor: Yahya

Avatar
5 posts

About author
Penggosip filsafat, menulis isu-isu sosial keagamaan dan perdamaian. Saat ini menempuh pendidikan program studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat sekarang: Puren No. 50 jln. Barada Gg Cengkih Condongcatur Depok Sleman DIY
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *