Fenomena haus validasi di antara generasi Z (Gen Z) atau generasi yang lahir pada rentang tahun 1997-2012 menjadi banyak perbincangan. Fenomena tersebut dapat ditemui bahkan di sekitar kita.
Sebagai dosen, saya sendiri kerap menemui mahasiswa saya yang kerap memperbincangkan pencapaian mereka dengan sesama temannya. Tidak sedikit saya pun mengonfirmasi langsung kepada mahasiswa tentang hal tersebut.
“Ketika kamu juara menulis tingkat nasional, terus teman satu circle mu tidak mengapresiasi, apa yang kamu rasakan?”, tanya saya pada seorang mahasiswa.
” Sakit Pak,” jawabnya singkat.
Syahdan, semua orang butuh validasi atau bahasa kuno-nya pengakuan atau apresiasi. Di zaman era digital seperti ini, validasi malah semakin menjadi-jadi. Orang cenderung membutuhkan pengakuan dari orang lain.
Hal semacam ini mungkin tidak begitu penting bagi orang seperti saya yang zaman milenial, apalagi mereka yang mungkin hidup di zaman kolonial. Ini bahasa halusnya old school alias tua. Yang penting, pencapaian tersebut dapat dinikmati sendiri itu rasanya sudah bahagia.
Mentraktir Teman karena Juara Lomba
Saya masih ingat zaman-zaman ikut lomba pidato di Yogyakarta. Saban dapat hadiah, yang saya cari bukan Piala atau piagam atau sertifikat nya, yang penting isi amplopnya. Karena disitu letak kebahagiaannya.
Memang tidak besar, paling juara satu lima ratus ribu rupiah. Tapi, bayangkan duit itu bisa makan di warung Padang Duta Minang, bahkan bisa makan di Soto Kadipiro. Itu aja sudah senang. Dan tentu traktir teman-teman kos. Itu dah cukup.
Gen Z Haus Validasi?
Sedangkan di zaman sekarang, validasi sudah seperti harga mati. Jumlah like di instagram dan tiktok sudah seperti pencapaian penting. Apalagi kalau jumlahnya puluhan ribu, anda sudah mirip dewa-dewa kecil. Dampak pemujaan terhadap validasi ini terlihat dari Gen Z yang semuanya hampir semua memiliki second account. Tujuannya jelas, kalau first account adalah tempat untuk memajang positive activity, sedangkan second account untuk random activity.
Biasanya Gen Z akan menempatkan first account yang memperlihatkan sisi baik, aktivitas di kampus, ikut lomba, atau bahkan internasional visit. Sedangkan second account sebagai “sisi gelap”, perbuatan yang tampil ala kadarnya, atau bahkan bad side juga sering dimunculkan.
Maka tidak heran, mereka tidak mau di-judge sebagai orang tidak baik, tapi sekaligus juga menyadari bahwa mereka punya sisi gelap. Cuma sekali lagi, tidak berkenan untuk ditampilkan bersamaan.
Validasi Kebutuhan Gen Z?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan validasi. Hal ini normal bagi setiap manusia. Toh orang seperti Kofi Annan yang merupakan mantan sekjen PBB pernah menyatakan bahwa manusia harus “Freedom from want, Freedom from fire and Living Dignity“. Dengan bahasa halusnya setiap manusia itu punya harga diri yang harus diakui.
Bahkan Gus Baha, yang Gus bukan es teh itu, juga mengatakan berkali-kali. “Saya ini Ahli Hadits, dan kita boleh menjustifikasi apa-apa yang menjadi keahlian kita”. Sampai titik itu Gus Baha ingin menyadarkan kita kalau klaim itu penting. Cuman Gus Baha tidak mengatakan, “kalian harus mengakui kalau saya ahlinya Hadits”. Sebab Keahlian dan pengakuan merupakan domain yang berbeda. Keahlian adalah proses diri dan berada pada domain pribadi, sedangkan pengakuan proses penerimaan dan bergantung pada publik atau orang lain.
Seberapa Penting Validasi bagi Gen Z?
Kalau begitu apakah validasi itu penting? Validasi itu sangat penting bagi siapa pun. Walaupun orang mengatakan ini era post truth, bukan post satpam, atau post yang lain. Faktanya keahlian itu tetap proses. Anda mau jadi wirausaha muda misalkan, tentu validasinya dari jenis usaha yang anda geluti, nilai omset yang anda dapatkan, keuntungan yang anda peroleh, dan jumlah karyawan yang anda miliki.
Tidak bisa anda mengatakan anda wirausaha muda di bio Instagram dan tiktok, padahal cuman nebeng teman yang kebetulan punya usaha resto. Atau anda bilang anda content creator, padahal video yang anda publikasikan karya orang lain. Atau lebih parah lagi, anda mengklaim diri sebagai aktivis, memimpin rapat aja kakinya gemetaran.
Cara Sehat Mendapatkan Validasi
Sebenarnya anda tidak harus menjadi ambis kalau ingin mendapatkan validasi. Yang anda butuhkan hanya mengikuti proses. Saya setuju, permasalahannya kita tahu proses, Bos. Hanya kita ini sudah menjadi makhluk yang tidak sabar dalam berproses.
Nah, ini penyakitnya yang harus disembuhkan. Jenis obatnya bukan paracetamol, tapi bedah isi otak. Otak kita sudah terlanjur kebanyakan makan mie instan, sehingga berpikir dengan cara instan.
Ingin dapat nilai A, buat makalah modal Chat GPT. Ini malah yang pintar Chat GPT-nya. Sedangkan anda masih standar komputer Pentium 4. Pingin dapat duit lebih, pulang kuliah kerjanya nongkrong sana sini. Itu bukan duit lebih, tapi pengeluarannya yang lebih. Ingin diakui aktivis, demo di nol kilometer aja takut kepalanya bau matahari. Aktivis dari mana coba kalau modelnya seperti ini?
Jalani Dahulu Saja
Jadi jalani proses, validasi belakangan. Proses itu terletak pada tahan banting atau pembangunan karakter yang kita miliki. Saya punya teman yang sekarang diakui sebagai pengusaha muda namanya Ghufron Mustaqim. Ini sudah validasi oleh pengusaha nasional sekelas Mardigu Wowiek alias Bossmen.
Tapi untuk mencapai itu butuh proses panjang. Sudah tidak bisa dihitung jenis usaha gagal yang sudah digeluti, sudah berapa banyak uang yang hangus, konon katanya sampai milyaran, sudah nggak kehitung jenis dan model tekanan yang diterima.
Saya juga punya teman, namanya Rofiq Muzakkir, orang tahunya dia lulusan Arizona State University, mohon jangan disingkat nama kampus ini. Tapi di belakangnya orang lupa. Untuk mendapatkan beasiswa agar sampai kesana, sudah berapa kursusan IELTS yang ditekuni, mulai dari jogja sampai ke Bandung, dan wilayah lainnya. Sudah berapa kali beasiswa yang gagal didapatkan?
Bahkan ketika kuliah pun orang nggak tahu kalau disana dia harus menjadi pengantar makanan seperti go food di Indonesia. Orang tahunya cuman suksesnya saja, nggak mau susahnya. Kita di HI UMY juga punya mahasiswa, namanya Sabila. Ini orang yang tahan banting.
Masih kebayang wajah stresnya ketika menjadi tour leader ke Thailand. Ekspektasi jumlah mahasiswa yang berangkat tidak sesuai harapan. Tapi alhamdulillah dengan tetap berproses agenda dapat berjalan.
Jadi stop untuk berpikir hidup ini seperti air mengalir, sebab bisa jadi anda nanti hanyut dalam arus validasi.
Editor: Assalimi