Akidah

Beberapa Model Keberagamaan Generasi Z

5 Mins read

Ada berbagai penelitian yang mengulas Generasi Z sebagai generasi yang menjanjikan segudang impian masa depan. Penelitiannya pun bermacam-macam. Mulai dari pandangan pendidikan, ekonomi, sosial, hingga yang berbau tentang politik. Generasi ini digadang-gadang menjadi kekuatan besar di masa mendatang. Secara data empiris, jumlah Generasi Z di Indonesia menjadi ‘kaum mayoritas’ dengan angka mencapai 27,94 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia (Data BPS, 2020).

Keunikan Generasi Z

Generasi Z sendiri memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan generasi sebelumnya. Bahkan, generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation).

Ryan Jenkins dalam artikelnya yang berjudul,  Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation menyatakan jika Generasi Z memiliki harapan, preferensi, sekaligus paradigma kerja yang berbeda serta memberikan tantangan tersendiri bagi organisasi.

Kata Ryan, karakter Gen Z antara lain memiliki tingkat diversitas, bersifat global, cenderung mudah memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Ryan menyebut jika Gen Z memiliki satu hal yang menonjol. Yakni, mampu untuk memanfaatkan perubahan zaman dan teknologi untuk menjadi bagian dari sendi kehidupan mereka.

Akan tetapi, di balik gemerlap dan gegap gempita glorifikasi Generasi Z, tak jarang juga menyisakan sikap pesimisme ketika melihat peluang, dan riskannya generasi ini terjun bebas dalam jurang gelap.

Kedekatan pada Teknologi

Begitu dekatnya Generasi Z dengan teknologi ponsel pintar dan dunia digital membuat mereka gampang terpengaruh budaya-budaya viral sesaat. Salah satunya adalah pop culture yang mendorong rasa FOMO, alias Fear of Missing Out, atau rasa tidak ingin ketinggalan zaman menurut algoritma sosmed.

Alhasil, mereka menjadi penganut sosmed-isme yang mengikuti tren-tren kekinian dari mulai ponsel, fashion, dan makanan. Salah satu bentuk pop culture dalam hal fashion ada OOTD alias Outfit of the Day.

Budaya ini mengelabui generasi Z agar menjadi masyarakat konsumerisme. Karena budaya OOTD ini mendorong mereka untuk sering berbelanja baju baru, agar dianggap trendy dan kekinian. Check Out menjadi jalan ninjanya untuk mendapatkan outfit terbaik di e-commerce popular.

Generasi Z dari Kaum Santri

Ada lagi tipe Generasi Z dari kaum-kaum santri yang kemudian terkadang menggampangkan syariat. Alih-alih ‘sok’ mengetahui dalil nash dan pendapat ulama yang mereka dapatkan ketika di pesantren. Pengetahuan tersebut malah dijadikan ‘tameng’ dan ‘tempat berlindung’ mereka untuk bermalas-malasan beribadah.

Baca Juga  Istiqomah: Konsisten dalam Kebaikan

Misalnya, dalam waktu salat, memang ada dalil hadis yang mengatakan, “Salatlah di awal waktu”. Hadis tersebut juga menjadi salah satu dari tiga amalan yang dicintai Allah.

Akan tetapi, hingga detik ini, tidak ada larangan salat di akhir waktu. Baik salat di awal maupun akhir semuanya sama-sama sah secara hukum syara’.

Ini yang akhirnya menjadi celah bagi kaum Generasi Z sekte santri tadi kemudian menggampangkan salat, dengan salat di akhir waktu. Karena mereka menganggap tidak ada dalil syariat yang spesifik melarang salat di akhir waktu.

Ekstrim Kanan dan Kiri

Terdapat pula potret muslim Generasi Z lainnya yang masuk ke dalam dua jurang pemisah. Yakni jurang ekstrem kanan (radikalisme) dan jurang ekstrem kiri (liberalisme). Generasi Z yang memiliki karakter keterbukaan dalam menerima berbagai pandangan dan pola pikir, memberikan ruang yang sangat luas generasi ini mudah terjerumus pada dua lubang tersebut.

Dari sisi ekstrem kanan, Generasi Z sangat riskan terpapar paham radikalisme dan intoleran. Data riset yang dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bersama Convey Indonesia, menyatakan bahwa 51,1 persen siswa/mahasiswa terpapar paham intoleran, dan 58,5 persen siswa/mahasiswa terpapar paham radikal. Data ini diambil dari 264 guru dan 58 dosen, serta 1522 siswa dan 337 mahasiswa yang tersebar di 34 provinsi dan 68 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Dari data tersebut diperoleh hasil temuan bahwa mereka yang memiliki opini intoleran dan radikalisme terpotret tidak setuju jika pemerintah harus melindungi penganut Syiah dan Ahmadiyah. Mereka juga lebih setuju jika pemerintah melarang keberadaan kaum-kaum minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Terdapat empat faktor mengapa Generasi Z kemudian menjadi intoleran dan radikal, di antaranya karena proses belajar siswa memahami ajaran agama melalui media buku maupun internet yang mengandung paham provokasi terhadap golongan dan agama tertentu.

Mereka ini menggandrungi sosok Ustadz seperti Ustadz Yusuf Mansur, Aa’ Gym, Ustadz Zakir, Ustadz Hanan Attaki, dan Ustadz Khalid Basalamah, yang kerap kali dijuluki sebagai ‘Ustadz Hijrah’.

Baca Juga  Ibnu Miskawaih: Cara Membuktikan Adanya Tuhan itu Gampang!

Golongan generasi Z yang berada pada ekstrem kanan ini banyak yang mengakses internet untuk pengetahuan agama yang terkadang diisi ceramah ustadz yang jauh dari nilai-nilai moderat.

Faktor ketidakefektifan organisasi keagamaan dalam merangkul anak muda juga terkadang menjadi permasalahan Generasi Z ekstrem kanan. Manakala organisasi hanya diisi dan dikuasai segelintir kelompok, yang akhirnya tertutupnya akses bagi orang-orang yang ingin masuk organisasi keagamaan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dan pandangan dengan para petinggi organisasi.

***

Serta yang terakhir ialah karena faktor persepsi tentang kinerja pemerintahan. Para Generasi Z yang terdiri dari pelajar, dan mahasiswa yang terpapar paham radikalisme dan intoleran tadi, menganggap bahwa kondisi ekonomi parah karena adanya kesenjangan ekonomi antara ‘si kaya’ dan ‘si miskin’.

Selain itu, mereka menganggap jika penerapan hukum pemerintah saat ini sangat tidak adil. Boleh dibilang golongan Generasi Z ekstrem kanan ini juga masuk dalam golongan oposan pemerintah.

Ceruk Generasi Z golongan tadi menggambarkan jika karakter keterbukaan mereka terhadap informasi maupun paham yang ada, terkadang malah menjerumuskannya ke dalam lubang eksklusivitas, dan cenderung menumbuhkan sikap anti terhadap perbedaan yang sudah menjadi sunnatullah. Sikap ini dikhawatirkan akan merusak alam pikir mereka dikemudian hari.

Dari sisi ekstremis kiri, banyak dari generasi Z yang terdiri dari kalangan mahasiswa ataupun siswa yang kadang merasa jumawa, dan merasa sudah pintar tatkala telah merampungkan bacaan kiri yang berbau sosialis, dan filsafat.

Mereka yang sudah merampungkan baca buku Madilog, misalnya, sudah merasa ‘si paling positivistik dan si paling sosialis-komunis’. Lalu mereka yang sudah membaca buku karya Socrates dan Plato, sudah merasa ‘si paling filsuf’ dengan bahasanya sok mendayu-ndayu dan puitis. Bahkan, ekstremnya kadang mereka menganggap tokoh filsuf tersebut seperti halnya Nabi baru yang berasal dari Yunani.

Model keberagamaan golongan generasi Z ekstremis kiri juga cenderung untuk membuka ketertutupan ruang agama yang terkesan kaku dan tekstual. Dengan ekspresi pengalaman personal dan penggunaan bahasa-bahasa religius melawan kemapanan, mereka suka dengan hal-hal nyeleneh dalam bahasan keagamaan. Mereka banyak menanyakan hal-hal yang bersifat tabu dalam agama.

***

Tidak sedikit tema yang mereka tanyakan pun dianggap berlebihan dan kadang dianggap menghina ajaran agama, karena ke-offside-an pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Gen Z Ekstremis Kiri. Mereka ini biasanya menggandrungi sosok ustaz seperti Habib Ja’far, Buya Syafi’i, Sukidi, Ph.D, Ulil Abshar Abdala, Gus Miftah, Cak Nun, Nurkholis Majid, dan lain sebagainya. Mereka ini dianggap oleh Generasi Z golongan kiri sebagai ‘Ustaz Moderat’ yang memiliki kesesuaian paham agama dengan Generasi Z golongan kiri. Ustaz-ustaz tersebut juga memiliki ciri khas dakwah yang melawan konservatisme beragama, populisme Islam, dan anti terhadap agama simbolis.

Baca Juga  Inti Agama adalah Laailaahaillallah, Titik!

Di antara dua golongan ekstrem kanan dan kiri, ada juga yang mengatasnamakan dirinya sebagai golongan tengahan atau wasathiyah. Golongan ini menganggap bahwa dirinya berdiri di atas dua pendapat, baik kanan dan kiri, namun tidak cenderung terhadap keduanya. Golongan ini biasanya ngefans dengan tokoh agama seperti Haedar Nashir, Gus Baha’, Yunahar Ilyas, Adi Hidayat, Quraish Shihab, dan lain sebagainya.

Namun, Generasi Z tengahan ini terkadang terlalu fanatik terhadap sikap tengahannya. Mereka menganggap bahwa dengan mengambil standing position di tengah, mereka mengklaim bahwa dirinya sudah benar dengan berada di posisinya. Sehingga yang berada di posisi ekstrem kanan maupun kiri, mereka anggap tidak sedang dalam posisi aman. Maka, ini lah yang akan melahirkan sikap ekstrem tengah. Yakni sikap fanatisme terhadap standing position-nya.

Beberapa potret model keberagamaan muslim Generasi Z tadi merupakan cerminan sekaligus fakta di lapangan yang ada. Dinamika religiusitas Generasi Z membawa kita pada pemahaman, bahwa ruang sosial sangat penting bagi Generasi Z, entah dalam lingkup pendidikan, medsos, organisasi, negara, maupun relasi lingkungan keagamaannya untuk dijadikan ruang ekspresinya. Usia mereka ini adalah usia yang sedang semangat-semangatnya bereksperimen dengan banyak hal, termasuk dalam hal keagamaan.

Di satu lain, mereka juga dalam kondisi terpengaruhi dan ditarik ulur oleh sumber-sumber keagamaan dengan berbagai macam dan corak. Dari macam dan corak ini mereka akan belajar menemukan posisi keagamaan yang benar-benar sesuai dengan hati nuraninya. Kita tidak berhak kemudian gampang menghakimi mereka dengan dalih-dalih ‘menurut kita’, yang kemudian mereduksi opini menjadi sosok ‘si paling benar’.

Editor: Yahya FR

Avatar
9 posts

About author
Ketua PD IPM Kota Yogyakarta Bidang Advokasi. Anggota Bidang Kader PK IMM A.R Sutan Mansur, UNY
Articles
Related posts
Akidah

Ragam Makna Iman dan Tauhid, Mana yang Lebih Tepat?

3 Mins read
Tauhid merupakan prinsip dasar iman di dalam Islam yang membedakan dirinya dengan segenap agama lain. Bahwa Allah itu esa, tidak berbilang, tidak…
Akidah

Jangan Jadikan Agama Sebagai Alat Pendangkal Akidah!

4 Mins read
Semua agama di dunia ini mempunyai hal-hal yang dianggap suci (the Sacred), misalnya, kitab suci, nabi, dan lain-lainnya. The Sacred menurut M. Amin Abdullah, dalam bukunya Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, merupakan Nonfalsifiable Postulated Alternate Realitie. Pada artian lain, disebut dengan hal yang tidak bisa dipermasalahkan, difalsifikasi, dan diverifikasi oleh siapapun.
Akidah

Kesadaran Beriman Orang-Orang Modern

3 Mins read
Di era saat ini, teknologi mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Kemajuan teknologi merupakan bukti dari keberhasilan sains modern. Namun, dibalik kemajuan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *