Perspektif

Benarkah Manusia Modern Tidak Butuh Agama dan Spiritualitas?

3 Mins read

Menarik memang, kalau berbicara tentang tradisi spiritualitas yang diasumsikan akan tergerus oleh zaman. Namun, Ali Allawi menyanggah pandangan yang meminggirkan peran sentral tradisi spiritualitas dalam karakterisasi peradaban Islam pada masa keemasannya (abad ke-8 sampai 14 M). Ali Allawi menemukan bahwa aspek moralitas dan spiritualitas merupakan poros utama kebangkitan peradaban Islam dan syarat kemungkinan umat Islam kembali menentukan sejarah dunia. Ali Allawi mengkritik tajam Wahabi/Salafi yang telah berdampak sangat buruk dalam dunia Islam Sunni karena menyempitkan kepekaan agama dan memadamkan spiritual Islam.

Tradisi Spiritualitas dalam Islam

Karya risetnya berjudul The Crisis of Islamic Civilization, 2009, Ali Allawi mengatakan bahwa kegagalan dipahami oleh revivalis dan reformis termasuk juga modernis, liberalis, fundamentalis dan Islam politik, yang mana dimensi spiritual Islam mengilhami peradaban tersebut secara menyeluruh. Oleh sebab itu, hampir pasti bahwa revitalisasi Islam harus dimulai dari titik awal berupa koneksi umat Muslim dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadi inti ajaran Islam (Heriyanto, 2018, p. 147).

Pernyataan Ali Allawi di atas merupakan anti-tesis dan salah satu aspek penting peran tradisi spiritualitas dalam merawat karakter inti masyarakat dan peradaban Islam, yang selama ini telah dilupakan atau gagal dipahami oleh banyak pemikir/sarjana baik dari dunia Barat maupun kalangan Islam sendiri. Banyak aspek penting lain dari spiritualitas Islam yang perannya dibutuhkan oleh kaum Muslim dan umat manusia kontemporer pada umumnya.

Seyyed Hossein Nasr, salah seorang pionir yang menghidupkan tradisi dan warisan spiritual Islam dan gigih memperkenalkannya kepada dunia modern, menulis banyak buku tentang tasawuf dan relevansinya untuk merespons krisis spiritualitas dan eksistensial manusia modern. Salah satu karyanya, Man and the Plight of Modern Man (2001), Nasr menuliskan bahwa manusia modern telah membakar tangannya dalam api yang dia nyalakan sendiri ketika dia melupakan siapa dirinya. Nasr juga menulis sejumlah karya yang mengaitkan kerusakan lingkungan alam dan krisis ekologis dengan pandangan mainstream modernisme yang telah kehilangan visi dan imajinasi spiritualitas dalam memahami dan memperlakukan alam semesta (Heriyanto, 2018, p. 148).

Baca Juga  Alam Pengadilan itu Memang Ada, Begini Argumen Logisnya!

***

Berdasarkan pandangan al-Ghazali, aspek pendidikan spiritual diwakili oleh term al-ruh (ruh), al-qalb (hati), al-nafs (jiwa), dan al-‘aql (akal) yang semuanya merupakan sinonim. Kata al-‘aql termasuk ke dalam makna spirit, yang merupakan padanan kata dari istilah al-nafs yang kebanyakan didefinisikan oleh para filsuf.

Demikian pula rumusan Said Hawwa. Menurutnya, pendidikan spiritual dalam Islam ditopang oleh empat hal; yaitu al-qalb (hati), al-ruh (ruh), al-nafs (jiwa), dan al-‘aql (akal). Keempatnya adalah istilah-istilah yang seringkali dipertukarkan karena esensinya adalah sama. Kalbu (al-qalb) adalah sepotong daging bagian dalam yang tidak bisa diukur dan dinilai karena merupakan wilayah alam malakut yang tidak bisa dideteksi oleh mata telanjang. Pengertian kedua (kalbu), adalah suatu rahasia yang halus (al-lathifah) yang bersifat al-rabbaniyah dan al-ruhaniyah yang memiliki keterkaitan kalbu yang bersifat jasmani (Sagala, 2018, p. 21).

Pendidikan spiritualitas dalam tradisi keagamaan perlu diperkenalkan dan disosialisasikan kepada pengambil kebijakan pendidikan dengan beberapa tujuan antara lain: Pertama, untuk menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, untuk memperkenalkan literatur atau ajaran esoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam sendiri yang mulai melupakannya maupun terhadap masyarakat non-muslim. Ketiga, untuk menegaskan kembali bahwa aspek esoteris Islam (tasawuf) adalah jantung ajaran Islam.

Tarekat atau jalan rohani yang dikenal dalam tasawuf merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteris) dalam Islam sebagaimana syari’at bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Tradisi spiritualitas dalam keagamaan menjadi jiwa risalah Islam, laksana hati dalam tubuh, yang tersembunyi dari pandangan luar (Sagala, 2018, pp. 132-133).

Gerakan Spiritualitas Manusia Modern

Tetapi, terdapat pakar yang berusaha memisahkan spiritual dengan agama, seperti pendapat yang diwakili oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku Megatrends 2000. Buku ini kedua tokoh psikologi tersebut menegaskan semboyan yang terkenal: Spirituality, Yes; Organized Religion, No.

Walau banyak yang menolak semboyan yang bernada sekuler tersebut, namun harus diakui bahwa ia mampu menandai besarnya perhatian manusia modern terhadap spiritualitas, terutama di Barat, kendati spiritualitas yang dianut masyarakat Barat tidak selalu terpaut dengan agama formal. Inilah yang melandasi lahirnya istilah spiritualitas tanpa agama yang cukup semarak beberapa waktu lalu (Sagala, 2018, p. 29).

Baca Juga  Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

Semangat dari semboyan Naisbitt-Aburdene itu sesungguhnya telah lama dikenal di kalangan masyarakat tertentu, baik di Barat maupun Timur. Mereka menginsafi bahaya dari hidup yang terlampau mengedepankan nalar dan rasio tanpa diimbangi aspek spiritual, sehingga mereka mengusulkan perlunya menghidupkan kembali dimensi spiritual dalam hidup manusia, jika manusia tidak ingin mengalami kegersangan dan kehampaan jiwa terus-menerus.

Gerakan spiritualitas modern memang sangat kritis terhadap agama-agama mapan, bahkan ada yang berusaha menolak agama formal sama sekali dengan hanya mengamalkan dan menghayati nilai-nilai spiritual, bisa dengan dalih meditasi, yoga, semadi, atau renungan lewat zikir dan doa. Seyyed Hossein Nasr dengan keras mengkritik semboyan Naisbitt-Aburdene tersebut dengan merumuskan semboyan baru: Organized Religion Yes, Spirituality No. Semboyan ini sangat bertolak belakang dengan jargon Naisbitt-Aburdene tersebut. Dalam kenyataannya, Nasr memang lebih dikenal sebagai pemikir muslim yang terdepan dalam menyebarkan paham spiritualitas Islam di dunia Islam maupun di Barat (Sagala, 2018, pp. 30-31).

Kesimpulan

Dengan demikian, eksistensi tradisi spiritualitas dalam lintas agama terutama Islam tak akan pernah padam. Islam dengan tradisi spiritualitas menjadi bagian penting dalam mengarungi ‘gelombang’ kehidupan era modernisasi yang penuh dengan problematika hingga merusak mental dan kejiwaan manusia. Upaya mereduksi eksistensi tradisi spiritualitas tidak bisa terjadi, bahkan optimisme perkembangan menjadi kebangkitan tradisi spiritualitas akan terus terjadi dalam lingkungan masyarakat.

Editor: Ahmad

Johan Septian Putra
41 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds