Hadis memiliki kedudukan yang sangat penting dalam khazanah agama Islam. Para ulama telah sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Keduanya memiliki kaitan yang sangat erat sehingga salah satu di antaranya tidak bisa dipisahkan begitu saja. Untuk memahami ajaran Islam yang begitu luas dan indah maka dibutuhkan konektivitas antara pemahaman Al-Qur’an dengan pemahaman hadis. Hadis mempunyai posisi yang sangat penting atas Al-Qur’an.
Oleh karenanya hadis memiliki beberapa fungsi (bayan) terhadap Al -Qur’an. Di antaranya adalah bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tasyri’, bayan taqyid, dan bayan takhsish (Fikri, 2015: 186).
Posisi dan Keberadaan Hadis
Secara sederhana, hadis dapat didefiniskan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir (‘Itr, 1981: 26). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemunculan hadis tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan kultural masyarakat Arab pada waktu Nabi masih hidup.
Dalam artian hadis tersebut muncul pada waktu kapan serta mukhatab dari hadis tersebut ditujukan kepada siapa. Bahkan Abdul Mustaqim (dalam Lailiyah, Tesis, 2020: 3) berpendapat bahwa apa yang disabdakan oleh Nabi selalu berkaitan dengan sosio-historis dan kultural pada ruang dan waktu kala itu.
Oleh karena itu, umat Muslim tidak bisa secara sembarangan mengamalkan seluruh hadis yang ada dengan mengabaikan konteks sosio-historis dan kulturalnya. Bisa jadi sabda Nabi tersebut sudah tidak relevan untuk diamalkan pada kurun dewasa ini, mengingat ada sebagian ajaran Islam yang bersifat lokal, parsial, dan temporal.
Dengan demikian, untuk memahami suatu teks hadis yang kemudian akan diamalkan atau dijadikan sebagai landasan hukum diperlukan serangkaian ilmu yang saling berkaitan dengannya. Seperti ilmu ma’anil hadis, ilmu asbabul wurud, serta yang tak kalah penting adalah menggunakan teori pendekatan sosial.
Hadis harus Dipahami dengan Kontekstual sesuai Jamannya
Itu artinya bahwa teks hadis harus dipahami secara kontekstual, tidak hanya secara tekstual saja. Hal ini senada dengan apa yang dinarasikan oleh Syuhudi Ismail (dalam Zakiyah, , Journal of Studi Hadith, 2, 2019: 44) bahwa ada hadis yang cukup bisa dipahami secara tekstual, hadis yang perlu dipahami secara kontekstual, ataupun hadis yang harus dipahami dengan keduanya yaitu secara tekstual dan kontekstual.
Oleh karena itu, apabila teks hadis bisa dipahami sesuai dengan porsinya maka pesan utama Nabi yang ditujukan kepada umatnya dapat ditimbang, apakah hadis tersebut relevan dengan kondisi sosio-historis dan kultural pada masa sekarang baik dalam pengamalan maupun pengambilan hukum.
Akan tetapi, ada sebagian orang atau kelompok tertentu yang memahami hadis hanya dari sisi tekstualis saja. Mungkin dikarenakan keterbatasan ilmu yang dimilikinya, mereka hanya membaca hadis melalui kitab-kitab terjemahan. Tanpa memeperhatikan aspek linguistik, asbabul wurud, serta teori sosial terkait disabdakannya hadis tersebut.
Hadis-hadis tersebut hanya dipahami secara serampangan oleh sebagian kelompok orang. Hal ini merupakan problem yang cukup serius dalam ranah studi hadis. Mengingat hadis memiliki kedudukan yang sangat penting dalam agama ini.
Selain itu yang lebih nahas lagi, adanya kelompok jihadis yang memahami hadis-hadis yang berkaitan dengan jihad hanya dibaca secara sepihak tanpa memperhatikan konteks yang dikandungnya. Tak jarang mereka mereka mempolitisi hadis hanya untuk dijadikan sebagai dalil pembenaran terhadap kelompoknya sendiri.
Hadis yang Dipahami dengan Tekstual
Hal ini secara tidak langsung akan memicu terjadinya perbuatan radikalisme dan terorisme, seperti yang telah terjadi di banyak negara-negara Timur Tengah. Hadis yang dijadikan pegangan utama oleh kaum jihadis di antaranya adalah berikut,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْمٍ الْأَنْطَاكِيُّ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ وُهَيْبٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ سُمَيٍّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ (رواه مسلم: 1910)
Muhammad bin Abdirrahaman al-Antaki bercerita kapada saya, Abdullah bin al-Mubarak bercerita kepada saya, dari Wuhaib al-Makki, dari Umar bin Muhammad al-Munkadir, dari Sumayya, dari Abu Salih, dari Abu Hurairah, dia bekata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak berjihad dan tidak memiliki niat untuk berjihad, maka dia mati dalam kategori kemunafikan. (Muslim al-Naisabury, Vol.3, 2010: 1517)
Kemudian ada hadis-hadis pendukung yang mempunyai arti seperti jihad adalah gerbang-gerbang untuk menuju surga. Juga hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah diutus menjelang hari kiamat dengan hunusan pedang, dan lain sebagianya (Najih, 2018: 79).
Melalui teks hadis di atas yang hanya dipahami secara tekstual dan sepihak, para kaum jihadis berkonklusi bahwa kata jihad maknanya dipersempit hanya sebatas dengan peperangan atau pertumpahan darah dengan sesama umat manusia, bahkan sesama umat muslim sendiri. Hal ini tidak lain tidak bukan merupakan tindak laku terorisme yang sangat keji.
Akibat jika Hadist hanya Dipahami secara Tekstual
Mereka juga berpandangan bahwa kewajiban jihad melekat kepada umat muslim secara mutlak, oleh karenanya jika menentang terhadap kewajiban ini maka dinggap sebagai golongan orang-orang munafik (Najih, 2018: 81-82).
Begitulah salah satu contoh nasib hadis yang hanya dipahami secara tekstual saja lantas kemudian dijadikan sebagai alat politisasi. Hadis yang seharusnya menjadi jalan keluar untuk mengentaskan problema umat malah jauh dari nilai-nilai ajaran Islam yang moderat, santun, dan indah. Bahkan Islam terkesan mempunyai ajaran yang sarat akan banal karena tindakan mereka yang salah dalam memahami hadis nabi.
Tentunya masih banyak hadis yang berkemungkinan hanya dipahami secara tekstual dan sepihak tanpa melibatkan aspek kontekstualnya. Dengan demikian, konsekuensi yang dihasilkan darinya sangat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain yang berada di sekitarnya. Termasuk di dalamnya masyhur dikenal dengan sebutan radikalsime dan terorsime.
Editor: RF Wuland