Inspiring

Benarkah Nabi Ibrahim Pernah Menjadi Ateis?

4 Mins read

Ibrahim bin Azar ‘alaihissalam adalah Nabi dan Rasul yang termasuk Ulul ‘Azmi. Bahkan ia Ulul Azmi yang paling mulia setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ibrahim dijuluki sebagai “Abul Anbiya”, yaitu leluhur dan bapaknya dari para nabi. Sebab ia merupakan pemimpin dakwah kenabian dalam dunia manusia seluruhnya.

Darinya lah lahir para nabi secara berturut-turut. Semua Nabi dari Bani Israil merupakan keturunannya, karena mereka adalah anak-anak dari Yaqub bin Ishaq. Sedangkan Ishaq adalah putra dari Ibrahim. Jadi, dari Ibrahim bercabang pohon kenabian hingga penutup para Rasul merupakan keturunannya lantaran beliau merupakan keturunan Ismail.

Nabi Ibrahim Dikenal sebagai ‘Bapak Tauhid’

Ibrahim juga dikenal sebagai ‘Bapak Tauhid’, karena ia selalu mendakwahkan tauhid dan meluruskan penyimpangan yang terjadi semasa hidupnya. Ibrahim selalu ditunjuki-Nya ke jalan tauhid yang murni dan lurus. Saking komitmen dan konsistennya Ibrahim dalam menerapkan ajaran tauhid kepada umatnya, maka Allah berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengikuti langkah Ibrahim: “Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik’.”

Nabi Ibrahim Pernah Menjadi Ateis

Kita mungkin pernah mendengar saat kita sekolah dahulu ataupun masih hingga saat ini, tentang kisah perjalanan Nabi Ibrahim dalam mencari sosok ‘Tuhan’ yang dapat dijadikan sebagai sandaran. Ternyata, memang kisah tersebut benar adanya. Kisah tersebut ternyata ada di dalam Al-Qur’an, tepatnya pada surat Al-An’am ayat 76-78. Yang berbunyi:

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, ‘Aku tidak suka kepada yang terbenam.’ Kemudian, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), ‘Inilah Tuhanku.’ Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, ‘Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat.’ Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), ‘Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.’ Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan’.”

Dalam ketiga ayat tersebut, sekilas menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim dalam mencari ‘Tuhan’. Yaitu ketika pada malam hari, Ibrahim melihat bintang yang gemerlap di malam hari, seraya melihat indahnya bintang di malam hari, Ibrahim pun berkata “Inilah Tuhanku”. Namun ketika bulan terbit, bintang-bintang yang gemerlap itupun terbenam karena kehadiran bulan yang lebih terang daripada bintang. Setelah menyaksikan kejadian tersebut, Ibrahim pun berkata “Aku tidak suka kepada yang terbenam. Dan inilah (bulan) memang Tuhanku”. Namun ketika hari beranjak menuju pagi hari, bulan yang sempat ia tuhankan itupun sedikit demi sedikit terbenam karena kemunculan matahari yang terbit. Yang lebih besar dan lebih terang. Ketika melihat kejadian tersebut, Ibrahim pun berkata “Inilah Tuhanku yang sesungguhnya. Karena ia lebih besar dan lebih terang”. Namun ketika hari beranjak ke sore hari, matahari yang besar dan terang itupun terbenam, tergantikan dengan bintang-bintang yang ia pernah Tuhankan sebelumnya.

Baca Juga  Rabiah Al-Adawiyah, Bukti Sufi Tak Harus dari Laki-Laki

Setelah menyaksikan semua kejadian tersebut, Ibrahim pun berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan”.

Menurut Para Mufasir

Setelah membaca kisah dalam ayat tersebut, terlihat bahwa Nabi Ibrahim dulunya adalah Nabi yang pernah menjadi ‘Ateis’ alias tidak mengambil bagian dalam suatu kepercayaan agama. Namun, apakah kisah tersebut memang demikian tafsirannya?, yaitu Nabi Ibrahim dulunya memang pernah mencari Tuhan, seperti kisah yang masyhur Hayyun ibnu Yaqzhan?. Mari kita lihat bagaimana para ‘ulama tafsir ketika menafsirkan ayat tersebut.

Imam Al-Qurthubi, seorang ulama tafsir yang masyhur akan kitab tafsirnya yang bercorak dengan hukum fiqh, yaitu Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. Beliau menyatakan bahwa, dalam ayat tersebut terjadi perbedaan pendapat dari para ulama. Apakah Ibrahim memang benar-benar mencari Tuhan, ataukah Ibrahim pada saat itu sedang menjelaskan kepada kaumnya tentang konsep ketuhanan.

Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menukil pendapat dari Ibnu Abbas, beliau menyatakan bahwa Ibrahim dulunya memang pernah menuhankan benda-benda langit tersebut. Jadi bukan dalam rangka berdebat atau menjelaskan kepada kaumnya.

Namun, para ulama tafsir belakangan seperti Ibnu Katsir, Ar-Razi, hingga Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, seorang ulama abad ini yang terkenal akan karyanya, kontra dengan pendapat tersebut. Mereka menyatakan bahwa, konteks ayat tersebut bukanlah dalam rangka Ibrahim mencari Tuhan, melainkan dalam rangka beliau menjelaskan kepada kaumnya yang pada saat itu mereka menyembah benda-benda langit. Sehingga Ibrahim membuat analogi tentang ketuhanan, bahwa Tuhan tetaplah hadir dan selalu ada, tidak akan dapat tergantikan oleh apapun.

Anggapan Nabi Ibrahim memang mencari sosok ‘Tuhan’, maka para ulama yang berpendapat demikian mengatakan bahwa Ibrahim melakukan yang demikian pada saat ia masih anak-anak, sehingga hujjah belum tegak kepadanya. Maka dalam hal ini tidak terjadi perbuatan kekufuran dan juga pula keimanan. Dan juga para Nabi dan Rasul juga mereka mashum (terjaga) dari perbuatan syirik dan juga kufur, baik itu setelah diutus menjadi Nabi ataupun sebelum diutus, baik itu sudah baligh ataupun sebelum baligh.

Baca Juga  Tafsir Waqfi: Jalan Tengah Menyikapi Berbagai Penafsiran Al-Quran

Nabi Ibrahim Berdakwah dengan Metode Tadarruj                 

Dari ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa dakwah yang dilakukan oleh Ibrahim adalah dakwah dengan metode tadarruj alias bertahap. Ibrahim membawa mereka untuk berpikir secara bertahap mulai dari bintang kepada bulan lalu beralih kepada matahari yang ukurannya paling besar.

Ar-Razi menjelaskan bahwa pendekatan dari yang paling rendah lalu meningkat kepada yang paling tinggi memiliki suatu bentuk pengaruh dalam penegasan dan penjelasan. Penegasan ini tidak bisa dicapai dengan metode yang lain sehingga metode inilah yang paling tepat.

Ibrahim awalnya membarengi langkah lawan debat, yaitu ketika Ibrahim mengatakan ‘Inilah Tuhanku’. Ketika Ibrahim berkata demikian, seolah-olah Ibrahim sejalan dengan mereka dan bukan memerangi mereka. Setelah menarik simpati mereka, Ibrahim pun menanamkan keraguan kepada mereka dengan mengatakan bahwa benda-benda langit itu tenggelam.

Dia membuat mereka ragu mengenai kepantasan benda-benda langit itu sebagai Tuhan. Setelah membuat mereka ragu, Ibrahim pun memberikan alasan logis kepada mereka, bahwa tenggelamnya benda-benda langit menunjukkan bahwa benda-benda tersebut tidak layak dipertuhankan. Hingga akhirnya pada akhir ayat, Ibrahim menyatakan pencapaiannya pada kesimpulan, bahwa terbit dan tenggelamnya benda-benda tersebut pasti ada yang mengatur dan menciptakan, dan ia hanya menyembah pencipta dan pengatrur benda-benda tersebut, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan cara inilah Ibrahim menang berdebat dengan kaumnya. Ketika mereka membantah, maka beliau bisa menyanggah argumentasi mereka. Allah menceritakan akhir debat mereka yang berbunyi: “Kaumnya membantah Ibrahim. Lalu Ibrahim menyanggah, “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.”

Editor: Soleh

Muhammad Ryan Baihaqi
2 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Minat Kajian Fiqh dan Ushul Fiqh
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds