IBTimes.ID – 9 dari 10 mayoritas masyarakat Indonesia merasa khawatir dengan krisis iklim yang sedang terjadi. Sebanyak 84 persen masyarakat Indonesia percaya bahwa manusia bertanggung jawab atas perubahan iklim.
Di lain sisi, masyarakat Indonesia juga memiliki kepercayaan besar terhadap pemimpin/pemuka agama dalam mencari dan mendapatkan informasi. Termasuk kalangan anak muda. Sebanyak 92 persen anak muda di perkotaan menganggap agama adalah hal yang penting dalam kehidupan.
Menanggapi hal itu, Bengkel Hijrah Iklim (BHI) yang diinisiasi oleh MOSAIC (Muslims for Shared Action on Climate Impact) menggandeng anak-anak muda Indonesia untuk terlibat aktif dalam menanggapi isu perubahan iklim. Mulai dari adaptasi, mitigasi, dan transisi berkelanjutan untuk meningkatkan peran anak muda.
Project Lead Bengkel Hijrah Iklim Aldy Permana menyampaikan, tujuan dari Bengkel Hijrah Iklim ini adalah untuk memberdayakan dan menyiapkan generasi muda Islam untuk menjadi pemimpin dalam solusi perubahan iklim di Indonesia.
“Tahapan BHI pertama pelatihan yang diadakan pada Oktober 2022 diikuti oleh 20 anak muda Islam dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian lima alumni akan kita beri kesempatan untuk mendaftarkan proyek atau idenya mereka dalam bentuk proposal yang diberikan funding kepada mereka masing-masing,” kata Aldy dalam sambutannya pada acara Media Briefing yang digelar di Yogyakarta pada (21/11/23).
Aldi menyebut, kelima alumni yang dipilih akan mendapatkan pelatihan dan mentoring. Mereka mendapatkan pendampingan dari strategi hingga tahap implementasi. Dua di antaranya; ada Kholida Annisa Inisiator My Green Leaders dan Aniati Tokomadoran penggagas Salawaku Movement.
Dalam pemaparan materinya, Kholida Annisa mengatakan dalam melaksanakan proyeknya, dirinya menggandeng anak-anak muda yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
“Bulan Juni 2022 kami mengadakan Future Green Leaders Camp yang bertujuan mendorong kaum muda untuk mempunyai perspektif lingkungan, sehingga pemimpin ini tidak terpusat di saya, tetapi memastikan kepada semua peserta,” ujar Ketua Bidang Lingkungan Hidup PP IPM periode 2021-2022 itu.
Dirinya pribadi dan timnya, tambah Kholida, ingin mengarusutamakan isu lingkungan. Sehingga kerusakan lingkungan tidak mendahului gerakan peduli lingkungan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah membuat anak muda memahami kekuatan mereka secara politis.
Kholida menyebut, bahwa isu lingkungan dan krisis iklim ini adalah bagian dari isu yang terjadi secara sistemik, baik itu berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak ramah akan lingkungan hidup.
“Kami ini bukan cuma obyek suara di Pemilu nanti, tetapi subjek suara dan mendorong hal itu. Kami membayangkan kami akan menjadi kekuatan besar yang mendorong pemimpin pro iklim di pemilu 2024,” ungkapnya.
Berbeda dengan Kholida Annisa, Aniati Tokomadoran menceritakan bagaimana ia menjalankan programnya di empat pondok pesantren di DIY. Yaitu di Ponpes Al-Imdad, Ponpse Assalafiyah, Ponpes Ar-Rahman dan Ponpes Asy-Syifa.
Aniati mengatakan, bahwa pondok pesantren belum paham dengan diksi perubahan iklim, mereka justru melihat itu sebagai hal yang normal dan bukan masalah besar. Ini hasil riset kami.
Menanggapi hal itu, Aniati dan pihaknya berinisiatif untuk mengembangkan modul bertajuk Climate Boording School dan telah menjalin kerja sama dengan dua pondok pesantren yang menjadi tempat risetnya.
“Sejak adanya hasil riset dan modul itu, pondok pesantren mulai mengerti dan sadar untuk mempratekkan kesadaran lingkungan. Mereka mengurangi jajanan menggunakan kemasan sekali pakai dan melakukan pengelolaan sampah mandiri di pesantren,” jelasnya.
Sementara itu, Ragil Wibawanto Peneliti Dapertemen Sosiologi dan Pusat Kajian Kepemudaan Fisipol UGM mengapresiasi berbagai program yang ada sebagai wujud aksi keberlanjutan dan paktek baik dari anak muda untuk kepedulian terhadap krisis iklim.
“Jumlah generasi Z banyak, dan mereka akan menjadi pemimpin baru yang mana itu menjadi potensi sebagai penerus bangsa Indonesia, itu hasil dari data kependudukan kita,” tegasnya.
Menyoroti berbagai perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, Ragil mengatakan, bahwa isu dan gerakan lingkungan ini banyak dilakukan di kota. Padahal, dari data yang ada, desa juga mengalami permasalah lingkungan yang besar. Ini juga tidak boleh terlupakan ketika membahas isu lingkungan dan perubahan iklim.
Dikabarkan, Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) akan kembali kembali menggelar Bengkel Hijrah Iklim (BHI) 2.0 atau jilid kedua pada 4-9 Desember 2023 dengan menargetkan 20 orang peserta.
(Soleh)