Perspektif

Beragama di Era Digital dan Covid-19

4 Mins read

Digital—Merebaknya Covid-19 menjadi awal kejayaan era digitalisasi (digitalization age). Hampir semua instansi, baik pemerintahan maupun swasta, melaksanakan program digitalisasi sehubungan dengan imbauan Presiden Jokowi untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah. Seketika tagar #dirumahaja sangat populer dan menjadi komoditas kampanye sosial massal. Begitu pula dengan imbaun para pekerja media “kami tetap bekerja untuk Anda, Anda tetap tinggal di rumah untuk kami”.

Memang bencana korona datang tiba-tiba, mitigasi publik sempat gagap dalam menggunakan teknologi digital. Namun, pelbagai pihak mulai beradaptasi dengan sistem digitalisasi dalam interaksi dan menjalankan pelbagai pekerjaan. (Kompas, 31/03/2020).

Ibadah di Rumah Aja

Rupaya kehadiran Wabah Covid-19 memaksa sebagian tugas dilakukan di rumah. Mulai dari bekerja, belajar, hingga beribadah. Masyarakat tiba-tiba harus mengandalkan jaringan internet untuk aktivitas sehari-hari. Peningkatan kapasitas jaringan internet pun menjadi penopangnya.

Publik pun harus beradaptasi dengan dengan bentuk beribadah di rumah. Konsep beribadah di rumah pun terkendala karena kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Aktivitas ini memerlukan legitimasi dari institusi keagamaan, seperti MUI, PGI, KWI, dan Parisada Hindu Dharma Indonesia untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam situasi wabah Covid-19.

Publik pun dipaksa beradaptasi dengan bentuk-bentuk ibadah live streaming (siaran langsung) lewat Youtube, seperti yang dilakukan penyelenggaraan gereja-gereja di Indonesia. Bentuk baru perayaan Idul Fitri 2020 juga harus dipersiapkan mengingat wabah Covid-19 dinilai belum mencapai puncaknya di Indonesia. (Kompas, 01/04/2020).

Dalam konteks DKI Jakarta, Gubernur Anies Basweda bersepakat dengan lima lembaga keagamaan (Majelis Ulama Indonesia, Dewan Masjid Indonesia, Persatuan Gereja Indonesia, Keuskupan Agung, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia) untuk mencegah penyebaran pandemi virus corona di rumah ibadah dan masyarakat.

Untuk memutus rantai penularan Covid-19, ratusan Gereja Kristen Protestan di Kota Bandung meniadakan penyelenggaraan ibadat bersama dalam dua pekan. Diimbau tetap tinggal di rumah, umat bisa menjalankan ibadat keluarga (mengikuti ibadat Gereja) yang disiarkan secara daring. Di Gereja-gereja Katolik, ibadat tetap berjalan seperti biasa meskipun semua kegiatan lainnya ditiadakan selama dua pekan ke depan. (Pikiran Rakyat, 21/03/2020).

Baca Juga  Membangun Ketahanan Pangan Profetik
***

Mewabahnya virus corona di Indonesia dengan jumlah pasien positif terinfeksi Covid-19 menjadi 8.211 kasus pada Sabtu (25/04/2020) pukul 10.00 WIB; dirawat 6.520 orang; korban meninggal 689 orang; yang sembuh 1.002 orang. Ini membuat pemuka agama mengeluarkan fatwa (himbauan) kepada umatnya untuk tetap melaksanakan ibadah dan tinggal di rumah agar sehat dan terhindar dari petaka Corona.

Di tengah wabah Covid-19, Masjid, Gereja, Sinagoga, Kuil dan Wihara harus beradaptasi dan mengubah tradisi. Melalui ritual dan seremoni, agama mendefinisikan diri lewat kebersamaan dan spiritualitas. Mencium batu suci, gulungan Taurat, buku doa dan salib, atau menengguk minuman dari cawan yang sama, adalah contoh kebiasaan yang kini harus dihentikan untuk sementara waktu.

Sebab itu Basilika Santo Petrus ditutup sepenuhnya untuk pengunjung. Gereja-gereja besar seperti Santo Stefanus di Vienna mengurangi akses jemaah secara drastis. Israel membatasi jumlah pengunjung ke sinagoga dan peziarah berhenti mencium benda-benda sakral.

Peneliti krisis, Frank Roselieb mengakui kebijakan gereja sudah tepat. Mereka memiliki tanggungjawab terhadap jemaatnya sendiri. Analisa risiko yang digunakan sudah sesuai dengan kritera yang ditetapkan Robert Koch Institute di Jerman. (Tempo, 18/03/2020).

Tantangan Beragama

Untuk mencegah penyebaran Covid-19 di rumah Ibadah pelaksanaan Misa di Gereja Santa Maria Regina, Paroki Bintaro Jaya, Tangerang, Banten, ditiadakan dan diganti dengan menggunakan layanan live streaming. (Media Indonesia, 22/03/2020)

Jelang pelaksanaan peringatan Tri Hari Suci (Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah) umat Kristiani di rumah dan harus rela mengikuti acara peribadatan dengan menggunakan media digital agar terhindar dari penyebaran wabah Covid-19. Sekedar melakukan misa Kamis Putih digelar secara online yang diikuti oleh umat melalui streaming video di kediaman masing-masing.

Baca Juga  Bassam Tibi: Islamisme Berbeda dengan Islam

Patung Pieta dipajang di salah satu rumah warga yang mengikuti Misa Kamis Putih melalui media daring di Surabaya, Jawa Timur; di Sawit, Boyolali, Jawa Tengah yang dipimpin oleh Uskup Agung Semarang Mgr; di Gereja Santo Arnoldus Janssen kota Bekasi, Jawa Barat pelaksanaan Misa Kamis Putih ditayangkan melalui media daring. (Republika, 09/04/2020).

Dalam surat tertanggal Jumat (27/03/2020) berjudul “Pengumuman Siaran TV, Radio dan Live Streaming Perayaan Ekarisiti Minggu dan Pekan Suci” yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Romo V Adi Prasojo Pr. Ikhtiar Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) ini dalam rangka menyiapkan jadwal bagi umat Katolik untuk tetap beribadah di rumah dalam menyambut Paskah 2020 di tengah pandemi virus corona ini.

Direktur Jenderal Bimas Kristen Thomas mengimbau seluruh umat Kristen yang akan merayakan Jumat Agung dan Paskah Tahun 2020 dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam melaksanakan ibadah. Menurutnya pelaksanaan ibadah dapat dilakukan dari jarak jauh untuk meminimalisir terjadinya penularan Covid-19 di lingkungan tempat ibadah. (Kompas, 09/04/2020).

Bila kita tidak menjalankan imbauan pemuka agama untuk tetap beribadah di rumah dan mengikuti perayaan keagamaan melalui online tidak dapat memutus rantai penularan Covid-19 di era digital.

***

Perkembangan teknologi informasi-digital telah memungkinkan dibangun imajinasi-imajinasi baru dalam dunia keberagamaan yang bersifat virtual dan artifisial. Dalam perkembangannya, tidak hanya mengubah pandangan manusia tentang agama, ritual, rumah ibadah, kitab suci, ketuhanan, tetapi ikut mengubah soal Tuhan itu sendiri.

Menciptakan dunia realitas virtual telah memberikan berbagai kemudahan dan keuntungan pada agama dan dunia keberagamaan, terutama dalam komunikasi dan interaksi antaraumat. Internet (media sosial) telah memberikan kemudahan dalam penyampaian ajaran keagamaan.

Baca Juga  Mengunggah Foto Jenazah di Media Sosial: Patutkah?

Misalnya, peningkatan kapasitas, kecepatan dan kualitas komunikasi. Berbagi situs (laman keagamaan) yang dikembangkan di dalam internet (realitas virtual, media sosial) telah memperluas jangkauan komunikasi dan dakwah keagamaan, memperkaya bahasa verbal, tulisan (visual), memperkuat jaringan-jaringan yang membangunnya, mempermudah dokumentasi tekstual dan memperbesar kemampuan dokumentasinya.

Ruang realitas digital virtual dapat dipandang sebagai sebuah saluran spiritual di antara umat, yang melaluinya ajaran keagamaan dapat dikomunikasikan dan diseminasikan. Melalui ruang-ruang virtual itu berbagai imajinasi baru yang berkaitan dengan komunikasi agama diciptakan. (Yasraf Amir Piliang, 2011:xIvii-xIviii).

Data terbaru yang dirilis oleh Gubernur Jabar, Ridwan Kamil menunjukkan warga Bandung positif terjangkit virus Covid-19, pasca mengikuti acara keagamaan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Lembaga. Dari 637 jamaah yang mengikuti rapid test, terdapat 226 orang dinyatakan positif, (35 persennya).

***

Memang tak hanya umat Kristen, Islam yang harus merelakan ibadahnya (Shalat wajib, Jumat, Ramadhan, Shalat Tarawih, bahkan Idul Fitri) lebih banyak dilakukan di rumah daripada di Masjid, Gereja; umat Hindu yang menggelar perayaan Hari Raya Nyepi (Tahun Baru 1942 Saka) bertepatan pada 25 Maret 2020 mesti mengalami yang sama. Sekedar melakukan rangkaian upacara Nyepi (pawai ogoh-ogoh) di Bali untuk tahun ini resmi dibatalkan.

Keikutsertaan pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat, cendekiawan untuk mengajak umat, rakyat agar terlibat aktif dalam upaya pencegahan Covid-19 di lingkungan masing-masing harus mendapatkan dukungan secara bersama-bersama.

Dengan demikian, inilah tantangan terbesar keberagamaan kita di era digital dan di tengah-tengah wabah pandemi Covid-19 yang menuntut untuk membuka ruang terbuka agar pemuka agama (tokoh masyarakat) mempu menghadirkan peribadahan yang sejuk, rukun secara daring dengan memberikan keteladanan terbaik, berperilaku terpuji, dan contoh bagi umatnya. Semoga.

Editor: Yahya FR
2 posts

About author
Ayah dari 2 anak (Fathia dan Faraz) yang tinggal di Cibiru Bandung, dapat disapa lewat twitter @ibn_ghifarie instagram @ibnghifarie
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds