Secara massif dibangun kepercayaan bahwa Honda lebih ngirit BBM dibandingkan Yamaha, Toyota, dan lain-lain. Bahkan hingga hari ini, kepercayaan itu menjadi semacam pertimbangan bertindak. Pembeli di antaranya memilih pabrikan Honda dikarenakan salah satunya dengan pertimbangan BBM yang irit ini.
Apa bangunan iklan yang dimassifikasi oleh tim Honda? Honda membuat kendara dengan dua tag, sementara yang lain lebih dari dua tag. Tentu saja ngirit BBM. Tapi, kepercayaan itu sudah terlanjur terbangun di atas logika yang dipercaya sebagai kebenaran.
Belakangan setelah banyak yang tahu, mempertimbangkan membeli kendaraan tidak lagi hanya soal irit BBM, tapi juga purna jual. Tetapi, selalu dalam permainan logika bahasa, data, fakta, dan ilmu ada pengikut yang ideologis, ada yang pragmatis dan ada yang ikut-ikutan.
Dalam situasi seperti inilah gambaran yang terjadi pada beragama di era post-truth, apalagi ditambah dengan revolusi 4.0 dengan massifikasi disinformasi dan misinformasi yang disengaja untuk memuaskan keinginan dan menguasai publik.
Beragama Kini
Beragama dalam sejarahnya adalah membangun epistemologi kesadaran untuk pengetahuan dan tindakan. Oleh karena itu, beragama sejatinya adalah menemukan dan memraktikkan pengetahuan sehingga melahirkan kesadaran mengetahui dan tindakan kenapa harus bertindak seperti itu. Inilah nilai luhur dari beragama.
Pada kenyataannya, beragama kini menghadapi beberapa tantangan dan persoalan faktual yang justru menghambat tujuan luhur beragama itu mewujud.
Pertama, beragama sebagai pengetahuan dan tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan fakta yang minim. Sementara itu, agama bersifat afirmatif. Maka alih-alih menyadarkan, kesalahan menangkap fakta dan apalagi dibarengi dengan keminiman fakta yang dimiliki, lalu sembrono bertindak, menyebabkan beragama menjadi legitimasi kesalahan.
Salah satu contoh misalnya tentang hukuman yang dilakukan terhadap Imam Ahmad bin Hanbal. Masyarakat waktu itu dicekoki tentang kesesatan Imam Ahmad karena pemahamannya berbeda dengan penguasa yang beraliran Muktazilah.
Kedua, framing akan fakta. Fakta yang disajikan mungkin benar. Tetapi, karena dikontekskan dengan sesuatu yang tidak tepat, justru beragama menjadi alat mendiskreditkan pihak lain. Contoh tentang terorisme atau gerakan agama dan politik.
Ketiga, ketidakpercayaan kepada yang berbeda. Pelajaran berharga dari Islam yang lalu menjadi model revolusi 3.0 adalah trust. Kepercayaan terhadap orang lain, meski berbeda kulit, suku, ras, sangatlah penting untuk tujuan bersama Indonesia akan menjadi ramuan hebat beragama yang universal. Tetapi, ditambah medsos, ketidakpercayaan dan kepercayaan menjadi kelemahan berbahaya dan kebermanfaatan yang keren.
Dalam derajat tertentu, pada satu sisi, jika kepercayaan lahir disertai medsos, menjadi penyebab ketidakkritisan akut; pada sisi yang lain ketidakpercayaan disertai medsos jatuh kepada bully sarkastik. Ini titik lemah bahayanya.
Kendati demikian, titik kerennya adalah kepercayaan disertai medsos akan menjadi arus penyebar kebaikan yang cepat dan massif. Sedangkan ketidakpercayaan yang disertai medsos akan menjadi alat kontrol yang efektif.
Terakhir, tiadanya ruang kreatif bersama dalam beragama. Di sini beragama menjadi hebat kalau menjadi alat utama menyalahkan kelompok lain.
Solusi
Pertama, menguatkan pembelajaran sejarah yang hebat: sejarah Islam, sejarah kebangsaan, dan sejarah dunia. Pengetahuan tentang sejarah dengan konteksnya disertai penghadiran tokoh-tokoh keislaman kebangsaan yang faktual dan jujur, akan melahirkan cara beragama yang disertai pengetahuan dan tindakan yang didasari fakta yang jujur tanpa framing.
Kedua, menguatkan trust. Perlu membuat gerakan keislaman dan kebangsaan yang menjadi moderating and mediating forces within and amongst muslim
Ketiga, menguatkan pengajaran tindakan yang multi-perspectives, bukan mono-perspective. Poin ini untuk menunjukkan keluhuran beragama
Terakhir, fokus pada penguatan keilmuan, kebersamaan, berbagi kebahagian dan aktifitas perekonomian. Pada poin ini yang penting bukan pencapaian materialnya saja, tetapi juga perubahan mindsetnya.
Pengetahuan, kebersamaan, dan berbagi kebahagiaan apalagi dikaitkan dengan ekonomi, yang penting bukan sekedar keberhasilan angka ekonominya. Melainkan juga perubahan mindset tentang penting bekerjasama, berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan. Wallahu a’lam.