Saya mengajak netizen untuk berhenti mengejek hasil penyelidikan kepolisian terkait penyebab kebakaran melalui berbagai meme dan status sindiran. Saya teringat kawan-kawan saya khususnya istri-istri polisi yang seringkali menanggung beban perasaan saking seringnya kinerja kepolisian diolok-olok. Kecuali ketika mereka menggebuki mahasiswa yang bahkan belum berangkat atau para relawan medis yang sedang bertugas dalam demonstrasi.
Lagian, sebenarnya tidak ada yang aneh dari puntung rokok menyebabkan kebakaran gedung. Di Dubai bulan Mei lalu, bahkan gedung pencakar langit bisa terbakar gara-gara puntung rokok yang dilempar sembarangan. Kebakaran di gedung 48 lantai itu merusak 333 apartemen, menyebabkan kerusakan 30-an unit mobil dan menyebabkan beberapa orang terluka. Jadi, tidak ada anehnya sama sekali kok puntung rokok dan juga cairan pembersih lantai menyebabkan kebakaran gedung.
Ya kalau mau bicara dari segi konspirasi atau kemungkinan adanya oknum-oknum yang sengaja melakukan pembakaran bisa saja. Apalagi saat ini Kejagung sedang mengusut perkara-perkara besar. Tapi ya kecuali ada bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Pembicaraan seperti itu kan hanya bisa jadi obrolan di Messenger atau Whatsapp grup saja. Salah-salah, malah bisa kena pasal provokasi atau sedikitnya pencemaran nama baik institusi (yang sebenernya nggak baik-baik amat juga).
Mengamati dengan Lebih Kritis
Hal yang lebih penting perlu dikritisi justru aspek keamanan gedung yang mana jelas itu tanggung jawab pemilik gedung, dalam hal ini adalah Kejagung. Cek saja analisis para pakar teknik sipil dan konstruksi. Gedung Kejagung itu bangunan tua, bahkan masuk kategori cagar budaya. Layaknya gedung tua seperti itu biasanya rendah sistem keselamatannya.
Jadi jangan hanya lampu sorotnya diarahkan ke tukang bangunan yang melempar puntung rokok sampai lupa kalau kemungkinan besar ada pihak-pihak yang punya kuasa juga lalai melakukan tugasnya. Kalau hanya menyalahkan rakyat jelata semua penguasa pintar melakukannya. Memang selalu lebih mudah karena mereka tak punya kuasa untuk mengelak dari tanggung jawab.
Fatma Lestari, Pakar Fire Safety dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dalam wawancaranya dengan BBC Online pada 24 Agustus lalu, menjelaskan perihal aturan-aturan standar gedung untuk proteksi dari kebakaran. Untuk gedung bertingkat lebih dari empat lantai, wajib memiliki hidran di dalam dan luar gedung. Aturan serupa juga berlaku pada gedung cagar budaya. Bahkan, jika di sana tersimpan arsip atau berkas penting, alat proteksi pemadakan kebakarannya disarankan menggunakan gas.
Masih menurut Fatma, audit yang dilakukannya terhadap hampir 70% gedung pemerintahan ternyata belum memenuhi standar keselamatan. Padahal, anggaran untuk seluruh sistem keselamatan kebakaran tersebut tidak sampai satu atau dua persen dari keseluruhan nilai gedung. Namun, kerap diremehkan.
Jadi dalam kasus kebakaran Gedung Kejagung ini patut dipertanyakan selama ini bagaimanakah semua itu dikelola. Apakah unsur-unsur pengamanan bangunan sudah terpenuhi untuk mencegah kebakaran (dan kerusakan lain). Kalau tidak, kenapa tidak, siapa yang bertanggung jawab. Apakah peraturan yang ada sudah memuat mekanisme pengawasan dan sanksi yang jelas bagi para aktor yang bertanggung jawab?
Sistem Keamanan Kejagung Sudah Maksimal?
Pihak Kejagung mengatakan bahwa sistem keamanan sudah maksimal. Tapi, banyak ahli konstruksi yang bilang tidak. Dari kerusakan yang terjadi pun menunjukkan betapa rendahnya mekanisme pencegahan kebakaran. Api bergerak dan membesar sangat cepat. Juga dalam waktu yang lama tidak bisa dipadamkan.
Padahal idealnya suatu gedung harus memiliki unsur-unsur pengaman bangunan yang menyebabkan laju api mudah diblok dan dibuang keluar gedung sehingga tidak meluluhlantakkan bagian dalam gedung. Apalagi, ini gedung penting yang mbok ya jangan disamakan dengan pasar tradisional.
Ini belum lagi termasuk keselamatan dokumen-dokumen penting yang hanya Tuhan dan orang-orang yang bekerja di dalam gedung itu yang mengetahui apakah ada yang hilang, seberapa penting yang hilang, apakah ada backupnya? Bagaimana nanti mengauditnya? Bagaimana kalau ada barang bukti penting yang hilang dan tidak bisa diperoleh gantinya. Tidak adil kalau kesalahan hanya ditimpakan pada para tukang bangunan saja.
Jangan-jangan buruknya sistem proteksi keselamatan gedung pemerintah itu karena pepatah sedia payung sebelum hujan itu sudah terlalu kuno. Sehingga, mengucapkannya saja kita sudah jijik karena berpotensi membuat kita tampak seperti angkatan Jayakatwang atau Bhre Wirabumi. Jangankan melakukannya mengucapnya saja enggan. Hasilnya ya itu, Gedung Kejagung 7 lantai bisa habis tak bersisa.
Editor: Yahya FR