Minggu lalu, beberapa teman kerja mengajak takziyah ke rumah seorang kenalan yang suaminya baru saja meninggal. Berbeda dari sebelum-sebelumnya—sebelum Corona merebak—kali ini saya menimbang-nimbang lumayan lama, apakah saya akan turut serta?
Sudah terbayang dalam pikiran, di sana nanti akan terjadi kontak fisik (jabat tangan) minimal dengan tuan rumah atau bahkan dengan seluruh tamu dalam ruangan, sedangkan momok Covid saat itu semakin banyak bergentayangan. Awalnya, dengan ragu saya menolak ajakan itu, tapi setelahnya saya dihantui perasaan “tidak enak”.
Saya dan istri almarhum saling mengenal, rasanya kurang baik bila tidak datang untuk sekedar ucapan belasungkawa. Belum lagi, pandangan teman-teman nantinya, bisa-bisa saya dicap sebagai orang berperangai tidak elok, tidak peka dengan duka sesama.
“Oke, aku ikut,”ralat saya sambil mengenakan masker.
Sesuai bayangan, sesampainya di rumah duka, kami disambut beberapa orang keluarga almarhum yang otomatis mengulurkan tangan. Ruang tamu berukuran 3×3 itu sudah penuh sesak oleh tamu yang akhirnya kami ketahui sebagian berasal dari luar wilayah.
Lagi-lagi hati saya diliputi kebimbangan, haruskah saya menyambut uluran tangan tersebut? Seandainya saya menolak, si empunya hajat pasti akan merasa sedikit malu, dan sangat mungkin mereka akan mencap saya sombong. Pungkasnya, seperti yang sudah-sudah, perasaan “tak enak” memenangkan pertentangan dalam hati.
Kami pun bersalaman.
Sambil menikmati suguhan, seorang teman bertanya,” Apa masih mengadakan tahlilan?”
“Masih tiap malam, tapi tidak pakai pengeras suara, takut.” Jawab istri almarhum.
Duh, Gusti …. saya yang sedari tadi diliputi kegalauan akan kemungkinan tertular Covid-19 sejak sebelum berangkat, kemudian bersalaman, lalu tidak mencicipi sedikitpun suguhan tuan rumah (semoga mereka tidak menyadari, tuh, kan, saya nggak enak hati lagi) hanya bisa menghela napas panjang. Prihatin.
***
Keluarga almarhum paham akan kondisi pandemi Corona saat ini, buktinya mereka mengadakan acara tahlilan tanpa pengeras suara karena takut mendapat sanksi dari aparat. Saya juga menaruh keyakinan, mereka—sama seperti saya—memiliki perasaan “tidak enak” seandainya tidak membuka pintu bagi tamu yang rela hadir untuk sekedar memberi ucapan turut berduka atau bahkan datang untuk menghibur dan memberikan semangat.
Acara tahlilan pun dihelat, bisa jadi karena perasaan “tidak enak” lantaran acara tersebut adalah tradisi dan menghapusnya mungkin akan meghadirkan “konflik” baru dalam masyarakat.
Di atas tadi hanya sebuah contoh. Masih banyak lagi kisah serupa, bagaimana masyarakat abai akan kemungkinan-kemungkinan buruk (tertular dan menularkan Covid-19) karena perasaan “tidak enak”. Bahkan saking melekatnya sifat tersebut,sampai-sampai mereka mengabaikan anjuran pemerintah terkait pencegahan penyebaran Virus Corona: Jaga Jarak Sosial dan Tetap di Rumah.
Menjadi orang tidak enakan sebenarnya ada sisi positifnya, karena sifat itu menandakan bahwa kita adalah orang baik dan pribadi yang peka terhadap keadaan orang lain. Namun, di samping itu, tak sedikit pula efek negatif yang mengekor pada pribadi tersebut.
Secara umum, menjadi pribadi tidak enakan akan merugikan diri sendiri: kita akan tersiksa, suka mengeluh karena apa yang dikatakan dan lakukan sebenarnya tidak kita kehendaki, dan lebih malang lagi orang dengan karakter ini rentan menjadi sasaran empuk oknum-oknum tertentu yang suka memanfaatkan orang lain.
Lantas apa saja kerugian sifat tidak enakan ini pada masa pandemi? Tentu saja dampak yang mungkin terjadi bisa sangat besar, karena selain merugikan diri sendiri, kebiasaan ini juga dapat berakibat buruk bagi orang terdekat bahkan masyarakat luas.
Bayangkan saja, jika kita berjabat tangan dengan beberapa orang dan salah satunya adalah pengidap Covid tanpa gejala, misalnya. Selanjutnya, di rumah, kita kontak dengan anak, istri, atau suami, lalu …, kemudian …, saya rasa tidak perlu menjabarkan kelanjutan dari rantai penyebaran penyakit yang tingkat kematiannya melampaui angka delapan persen di negara kita ini.
***
Mengutip sebuah tulisan yang pernah saya baca: Menjadi orang baik memang penting. Akan tetapi, menjadi orang baik yang berpikiran logis juga merupakan hal yang tak kalah penting. Apalagi dalam implikasinya terhadap keselamatan orang banyak.
Menyambung cerita saya dalam acara takziyah di atas, saat berpamitan saya yang kebetulan berada di posisi paling jauh dari tuan rumah memilih undur diri tanpa berjabat tangan—ah, apa gunanya, yakan? Datangnya tadi kan udah bersentuhan, hehe.
Sesampainya di rumah, yang pertama saya lakukan adalah bergegas menuju tempat cuci piring, bukan untuk mencuci piring kotor, tapi untuk mencuci tangan. Saya benar-benar merasa tidak aman saat itu, dan tentu saja itu adalah akibat perilaku saya yang berakar dari sifat “tidak enakan”
Setelah melakukan prosedur enam langkah cuci tangan dengan sabun, saya membuka status-status Whatsapp, dan apa yang saya baca di sana membuat dada ini—lagi-lagi— bergemuruh. Seorang teman membagikan tautan berita berjudul: Acara Tahlilan di Kabupaten X Sebabkan Klaster Baru Penyebaran Virus Covid-19 ….
Duh!
Tiba-tiba saya ingin menuliskan lagi kutipan yang sudah saya ketik di atas: Menjadi orang baik memang penting. Akan tetapi, menjadi orang baik yang berpikiran logis juga merupakan hal yang tak kalah penting.