Awal pertengahan 2020, saya tidak sengaja mendapatkan sebuah booklet yang mengumpulkan esai-esai pendek. Esai yang berisikan pikiran-pikiran yang membahas tentang sains –baik yang membela atau pun yang mempertanyakan. Esai-esai yang menjadi sangat menarik dan relevan ketika manusia berada dalam situasi pandemi virus.
Esai yang mempertanyakan sains itu, seakan-akan menghajar saya. Kronologinya begini, ketika dan pasca tahun 2019, ketika agama ‘menjadi jualan politik’ lebih tepatnya beberapa tahun sebelum itu. Saya melihat fenomena itu dengan jelas dan persis, bukan hanya teman sekitar, bahkan keluarga saya.
Akhirnya perkiraan saya betul, mereka para politisi ‘caur’ –dalam bahasa pergaulan bekasi- menjadikan agama sebagai alat untuk mendulang suara. Bodohnya, mereka –pengikutnya- sangat fanatik. Saya pernah menuliskan ini dengan clear pada di kanal Geotimes.
Hancurnya rasa percaya saya dengan agama pada tahun 2019 membuat saya mencari jalan baru. Jalan berlawanan yang terjal. Abstrak sekali memang pemikiran saya. Lalu saya mencoba beralih kepada sains.
Alih-alih kebetulan, saya menemukan buku sejarah Ibnu Rusyd dan pemikirannya, buku hasil disertasi dari mahasiswa UIN Malang. Saya baca, awalnya saya hanya tau jika Ibnu Rusyd menghantarkan Eropa sekarang dari abad pertengahan. Saya pun akhirnya paham, mengapa Ibn Rusyd menjadi penghantar Eropa yang baru.
Seiring berjalannya waktu, saya membaca ulang Madilog dengan teliti, terutama yang berkenaan dengan materialisme dan logika. Tan Malaka menekankan pada hal yang berwujud, nyata dan tampak. Walaupun bercampur dengan paham komunis, jika kita menggunakan perspektif materialisme, maka kita akan menemukan pembahasan yang lain. Dalam bahasa lain, bisa diuji secara ilmiah. Oleh karenanya Marx dan Engels dikenal dengan Sosialisme Ilmiah.
Kedua buku ini saya bawa pada perjalanan jauh saya, pertama Madilog saya bawa ke Bali ketika meneliti PLTU, dan kedua Ibnu Rusyd saya bawa ke tanah Arab, Makkah, dan Madinah. Diselingan waktu itu tentunya saya membaca banyak halaya menemukan buku Budi Hadirman, tentang Filsuf yang membentuk era-Modern, saya baca perlahan satu per satu mulai dari Descrates hingga kepada Nietzche.
Setelahnya saya menemukan buku Teori Kritis oleh Sindhunata, yang diterbitkan ulang untuk membangun metode kritis untuk menelanjangi modernitas ‘kapitalistik’ yang meminggirkan manusia serta mengembalikannya kepada rasio. Dan masih banyak buku lainya, hingga kepada mengikuti kuliah-kuliah ‘online’ yang ekstrim terhadap sains, yang secara gamblang mempertanyakan –bahkan menghina- agama.
Saya mengikuti kelompok diskusi yang membahas logika dan filsafat. Membaca hampir seluruh tulisan yang berkaitan dengan Islam Liberal, yang menggunakan akal dan bebas dalam penafsirannya. Serta berbagai artikel-artikel ilmiah hingga kepada metode untuk menemukan keilmihiannya. Hasilnya ialah corak penulisan saya tidak jauh dari kesemua itu, baik dalam gaya bahasa ataupun pembahasan.
Mulai dari situ, saya memfalsifikasi segala hal yang diluar nalar rasional, bahasa Karl Popper yang mengkritisi Positivisme Lingkaran Wina. Dan kebetulan terjadilah wabah, dimana kemenangan sains dan segala instrumen aktivitasnya. Pun sebaliknya, hal-hal yang berbau metafisik yang tidak bisa dibuktikan semuanya tunduk -termasuk pula Agama. Ketika inilah, para saintis mendapatkan panggung kemenangan besar.
Kemenangan ini, seharusnya menjadi suatu capaian besar seorang yang berkeyakinan rasional, dan materilialistik, dan falsifikastik ilmiah. Seakan-akan ilmiah sudah menjadi keyakinan dalam diri saya, menggantikan agama. Dari situ saya berpikir sebaliknya, betul memang, manusia tidak hanya memiliki akal, tetapi juga spiritiual, biasa disebut dengan jiwa. Kering, saya mulai merasa kering.
Tiba-tiba saya dihadapkan benturan besar yang menghantam kepala saya. Saya membaca satu esai yang seakan menghajar kepala saya. Esai itu ditulis oleh Goenawan Mohammad, yang lalu diperbincangkan oleh banyak pemikir. Esai ini menghajar para Saintis dengan sangat elegan dengan khas gaya esai catatan pinggir.
Hingga pada suatu hari, teman perempuan saya, memberikan saya saran untuk membaca buku terbaru yang membahas Agama dan Sains. Buku ini ditulis oleh Ulil Abhsar dan Haidar Bagir. Sederhana, tetapi menyadarkan saya. Saya seperti jatuh sedalam-dalamnya, jatuh menghajar saya.
Buku itu sedikit menyadarkan saya. Bahwa manusia tumbuh dengan akal dan perasaan (jiwa), serta rasio (ilmiah), dan agama (keyakinan yang bersifat mistik). Jika salah satunya menjadi timpang, akan sangat berbahaya. Bukan saja untuk pribadi, bahkan lingkungan sekitar.
Pun keduanya akan sangat berbahaya ketika menjadi saling-menyaling dan menegasikan satu dengan lainya. Ketika akal dan rasio dijadikan agama. Pun sebaliknya, agama atau perasaan atau keyakinan dijadikan suatu yang masuk akal atau rasional.
Tahap inilah yang ketika diwujudkan banyak menimbulkan masalah. Banyak contohnya. Penemuan-penemuan sains yang menggelegar, banyak menyebabkan kehancuran. Keyakinan yang bersifat kebaikan, kemudian bagaimana ditafsirkan dengan akal yang serampangan banyak menyebabkan kehancuran.
Akhirnya saya membaca humanisme untuk mengobati keduanya. Saya mulai membaca Gus Dur yang belajar dari Gandhi, Gandhi yang belajar dari nilai-nilai semua Agama, termasuk di dalamnya Muhammad.
Editor: Yusuf