Berkata Baik atau Diam
“Ustadz, maafkan saya! Maafkan saya!” Lelaki itu tersungkur-sungkur di kaki Ustadz Ihsan. Ia memegangi dua punggung kaki Ustadz Ihsan yang bersih, berusaha merendahkan kepala sedalam-dalamnya. Tetes-tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipinya. “Maafkan saya, Ustadz… Maafkan saya…” Ia terus-menerus mengulangi kalimat itu.
Dua tangan Ustadz Ihsan memegang lengan kiri dan kanan lelaki itu, “Bangunlah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”
“Tapi, Ustadz…” Ia terus berusaha merendahkan dirinya di hadapan Ustadz Ihsan yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu?”
Kali ini Ustadz Ihsan mencengkram kedua bahunya dan berusaha mengangkat tubuh lelaki itu, “Sudah. Sudah. Berdirilah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”
Dengan lunglai, lelaki itu berdiri. Ia terus menundukkan wajahnya. “Bagaimana mungkin semudah itu, Ustadz?” Lelaki itu tidak percaya.
Ustadz Ihsan tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah apapun dari diriku.”
Lelaki itu terus menundukkan kepala. Ia didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini ia jelek-jelekkan secara membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: ustadz palsu lah, ustad penipu lah, ustadz curang lah—bahkan ia juga menyebarkan fitnah-fitnah keji tentang Ustadz Ihsan: Bahwa pesantrennya dibangun dari uang korupsi, bahwa ia punya pikiran sesat, bahwa ia hanya menjual agama, dan apapun saja yang bisa menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.
Lelaki itu menatap Ustadz Ihsan yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya. Ia merenung, bagaimana mungkin selama ini ia tega menghina, menjelekkan dan memfitnah Ustadz Ihsan hanya gara-gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda dengannya? Padahal ia tahu hari-hari Ustadz Ihsan dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya.
“Ustadz, ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Lelaki itu berusaha menjaga nada bicara, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung perasaan Ustadz Ihsan.
Ustadz Ihsan tersenyum. “Apa kau serius?” Katanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Ustadz. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”
Ustadz Ihsan terdiam beberapa saat, tampak berpikir. Lelaki itu sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Ustadz Ihsan kepadanya, yang jika lelaki itu membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Lelaki itu juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosanya.
Namun, beberapa jenak kemudian, Ustadz Ihsan mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraan lelaki itu.
“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Lelaki itu benar-benar heran Ustadz Ihsan justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaannya tadi.
“Maaf, Ustadz? Apa saya tidak salah dengar?” Lelaki itu berusaha memperjelas maksud Ustadz Ihsan.
Ustadz Ihsan tertawa kecil. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Ustadz Ihsan menghampiri lelaki itu, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya Ustadz Ihsan benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Ustadz. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?” Tanya lelaki itu.
Ustadz Ihsan tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke masjidku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”
Lelaki itu hanya bisa mengangguk. Lelaki itu tak bisa membantahnya. Ia berpikir barangkali maksud Ustadz Ihsan adalah agar ia bisa merenungkan kesalahan-kesalahannya. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulu kemoceng satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Ustadz Ihsan. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahnya.
Keesokan harinya, lelaki itu menemui Ustadz Ihsan dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Lelaki itu segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada Ustadz Ihsan.
“Ini, Ustadz, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 2 km dari rumah saya ke masjid ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Ustadz. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Ustadz yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Ustadz. Maafkan saya…”
Ustadz Ihsan mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.
Lelaki itu hanya terdiam mendengar perkataan Ustadz Ihsan yang lembut, menyejukkan hati.
“Kini pulanglah…” kata Ustadz Ihsan.
Lelaki itu baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangan Ustadz Ihsan, tetapi Ustadz Ihsan melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju masjidku tadi…”
Lelaki itu terkejut mendengarkan permintaan Ustadz Ihsan kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”
Lelaki itu terdiam. Tak mungkin menolak permintaan Ustadz Ihsan. Ia pada posisi bersalah dan sedang meminta maaf.
“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Ustadz Ihsan.
Sepanjang perjalanan pulang, lelaki itu berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi ia lepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin ia ketahui.
Tapi lelaki itu terus berusaha. Ia bertekad harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja. Ia terus berjalan.
Setelah berjam-jam, lelaki itu berdiri di depan rumahnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya berat. Tenggorokannya kering. Di tangannya, tergenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan di sepanjang perjalanan. Itupun entah benar dari kemocengnya atau bukan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang ia cabuti dan jatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil ditemukan dan dipungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai!
Hari berikutnya lelaki menemui Ustadz Ihsan dengan wajah yang murung. Ia menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Ustadz Ihsan. “Ini, Ustadz, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Lelaki itu membuka genggaman tangannya dan menyodorkannya pada Ustadz Ihsan.
Ustadz Ihsan tersenyum. Menatap wajah lelaki itu. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.
Lelaki itu mengernyitkan dahi. “Apa yang telah aku pelajari, Ustadz?” Ia benar-benar tak mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Ustadz Ihsan.
Tiba-tiba lelaki itu tersentak. Dadanya berdebar. Kepalanya mulai berkeringat.
“Bulu-bulu yang kau cabuti dan kau jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kau sebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kau hitung!”
Tiba-tiba lelaki itu menggigil mendengarkan kata-kata Ustadz Ihsan. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalanya. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungnya. Lelaki itu menangis sejadi-jadinya.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”
“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan di luar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangis laki-laki benar-benar pecah. Ia tersungkur di lantai. “Astagfirullah al-adzhim… Astagfirullahal-adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Lelaki itu hanya bisa terus mengulangi istighfar. Air mata menderas dari kedua ujung matanya.
“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Ustadz. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirullahal-adzhim…” Lelaki itu terus menangis menyesali apa yang telah ia perbuat.
Ustadz Ihsan tertunduk. Ia tampak meneteskan air matan juga.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku,” katanya.
“Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangNya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim…”
Lelaki itu seolah tersambar halilintar ribuan megawatt yang mengguncangkan batinnya. Ia ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah dilakukan! Ia ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Ustadz Ihsan, setengah berbisik. Ada yang basah di ujung mata Ustadz Ihsan, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kau sakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, mengapa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maka Nabi mengajarkan, berkata yang baik atau diam.”
Astaghfirullah al-adzhim!
Tulisan ini pernah saya publikasikan dengan judul ‘Tentang Fitnah-fitnah Itu’ dengan karakter Kiai Husain dan ‘aku’. Ustadz Ihsan bisa siapa saja, sementara lelaki itu mungkin adalah kita semua yang pernah berkata buruk atau bahkan memfitnah. Semoga kita tak ikut-ikutan jadi ahli fitnah. Semoga bisa selalu berkata baik, atau diam. Tabik!
Editor : Yusuf