Label Buruk Bagi Pembelajar Filsafat
Filsafat menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Pasalnya, belajar ilmu filsafat dianggap sebagai orang yang akan menyimpang dari ajaran agama. Mahasiswa filsafat diberi tempat manusia yang jauh dari nilai-nilai religiuisitas.
Bayangkan saja, label semacam ini masih ada di bangku kuliah. Saya melihat dan mendengar langsung curhatan teman kelas yang waktu itu masih tidak tertarik belajar ilmu filsafat. Jadi, dari sini kita bisa membaca dengan cermat, bahwa bangsa Indonesia masih belum bisa menempatkan ilmu filsafat dengan baik di dunia pendidikan kita.
Padahal, untuk mengukur kemajuan suatu negara, bisa dilihat dari sejauh mana negara itu mendalami dan menaghadirkan wacana ilmu filsafat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena, diakui atau tidak, dalam ilmu filsafat sendiri, ada kajian ilmu logika. Logika merupakan jembatan manusia bisa berpikir sistematis, terarah, dan sampai pada kesimpulan yang benar. Apalagi sosok pemimpin bangsa, para pendidik, dan akademisi sepatutnya menguasi ilmu logika.
Latar Belakang Ditulisnya Buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika: Membincang Cognitive Bias dan Logical Fallacy
Lahirnya buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika: Membincang Cognitive Bias dan Logical Fallacy (2020) yang ditulis oleh Fahruddin Faiz menjadi satu peta untuk ditelusuri arah perhelatan pemikiran di dalamnya.
Buku yang disusun dengan metode klasifikasi-seleksi-deskripsi dan ilustrasi (hal. vii). Disusun untuk mempermudah pembaca mengenal dan mengetahui lebih dalam cara berpikir dan menggunakan logika dengan baik. Bahkan sangat perlu bagi para pemula yang ingin belajar ilmu logika.
Fahruddin Faiz dalam bukunya mencoba menghadirkan kembali logika dalam kehidupan sehari-hari. Di mana dengan ketajaman pengamatan dan pengetahuan mengenai logika, mampu menemukan kesalahan-kesalahan berpikir dan cara kerja logika di masyarakat.
Sehingga berdampak pada kesalahan menyimpulkan fenomena dan masalah yang sedang berlangsung dalam kesehariannya.
Pembahasan Buku
Sebagaimana yang ditulis dalam bukunya, Fahruddin Faiz membagi dua garis besar pembahasan. Pertama, disebut dengan cognitive bias atau bias-bias dalam berpikir. Sebuah kecenderungan memberi kesimpulan atau penilaian yang tidak rasional, atau sesat pikir.
Adanya kekaburan dalam berpikir ini dapat menyebabkan distorsi persepsi, penilaian yang tidak akurat, interpretasi yang tidak logis atau irrasional (hal. 2).
Ada banyak yang ditulis oleh Fahruddin Faiz menganai cognitive bias, setidaknya terdapat 33 contoh yang dirangkum dengan menggunakan bahasa ringan, lugas, dan tentu mudah dipahami oleh pembaca.
Salah satunya adalah halo effect, yang mana istilah ini berasal dari seorang psikolog bernama Edward Lee Thorndike. Ia menyatakan bahwa satu aspek (misalnya kecantikan, status sosial, dan umur) memunculkan kesan positif atau negatif biasanya dijadikan dasar untuk menilai semua aspek yang lain secara keseluruhan (hal. 35).
Kita bisa menemukan contoh-contoh hello effect dalam kehidupan sehari-hari. Kecendrungan tampilan luar dijadikan pakem untuk melihat sejauh mana orang memberi nilai terhadap suatu kelompok sosial lain.
Misalnya, seperti yang dialami seorang teman di kelas. Suatu hari ia pernah dianggap mempunyai sikap keras dan kasar oleh teman organisasinya, hanya karena berasal dari suku Madura.
Penilaian seperti ini melahirkan suatu ketimpangan dan kerenggangan relasi pertemanan. Karena belum tentu teman yang diberi label keras itu mempunyai watak seperti yang dikatakan oleh temannya.
Menghindari Kesalahan Berpikir dan Logika yang Ngawur
Dari sinilah, pembaca diajak untuk membenahi kesalahan berpikir dalam kehidupam sehari-hari. Untuk itu, Fahruddin Faiz menjelaskan berbagai cara untuk menghindari kecacatan berpikir.
Salah satunya dengan mengajak pembaca berpikir tanpa over generalisasi, akan banyak membantu melihat realitas dengan pemahaman sejati (hal. 36). Kesalahan menyimpulkan secara sepihak dalam melihat fakta sosial menjadi kecacatan berpikir yang harus dibenahi, sebagai bentuk menjaga tali persaudaraan, keharmonisan, dan solidaritas sosial.
Logical Fallacy
Bagian kedua dari kekeliruan berpikir dalam logika adalah logical fallacy (salah pikir). Kesalahan berpikir adalah tipe argumentasi yang terlihat benar, namun sebenarnya mengandung kesalahan dalam penalaran (hal. 113). Ada banyak kategori dalam kesalahan atau kecacatan berpikir, setidaknya yang dirangkum dalam buku Fahruddin Faiz ini, ada 12 kategori.
Di antara kategori itu adalah kesalahan karena dilema. Salah satu bagian dari jenis kesalahan ini adalah argumentum ad populum. Tentu argumentum ad populum adalah kesalahan berpikir yang terjadi ketika satu proposisi dianggap benar karena sebagian besar orang menganggapnya benar (135). Contoh dari argumentum ad populum ini bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti misalnya, masyarakat menganggap bahwa orang bahagia karena mempunyai banyak uang. Anggapan seperti ini akan dijadikan suatu kebenaran karena yang mengatakan hal tersebut mayoritas masyarakat.
Padahal, untuk mengetahui kebahagiaan harus dilakukan survey ataupun pengamatan yang spesifik, bukan hanya berdasar pada satu asumsi mayoritas. Karena bisa saja kehagiaan didapat dari hidup yang sederhana, berkumpul dengan keluarga, dan melakukan aktivitas sehari-hari bersama masyarakat desa.
Selalu Mengasah Kemampuan Berpikir dan Keruntutan Logika
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai cara berpikir dan berlogika dengan baik, maka perlu untuk lebih cermat dan rajin mengasah gaya berpikir dalam kehidupan sehari-hari. Tentu hal ini dibekali dengan bacaan yang baik pula.
Maka, membangun kematangan dalam berpikir dan logika butuh latihan dan bacaan yang tidak ngawur, sehingga cara belajar semacam ini akan berdampak pada kesimpulan akhir dari gagasan atau wacana dalam kehidupan sehari-hari.Â
Editor: Yahya FR