Ada rasa bangga dan haru bercampur-baur menjadi satu, ketika membaca sejarah tafsir Al-Qur’an, saya mendapati seorang ahli tafsir perempuan yang sangat fenomenal. Sebagai perempuan, saya merasa terwakili. Sebagai santri, saya merasa mendapatkan inspirasi dan suntikan semangat untuk terus-menerus tekun dalam upaya memahami Al-Qur’an.
Di tengah dominasi jumlah ahli tafsir laki-laki, kehadiran Aisyah Abdurrahman bintu al-Syathi’ sebagai ahli tafsir perempuan menegaskan tentang ketekunan, kesungguhan, dan istikamah belajar Al-Qur’an dapat menjadi capaian keilmuan terbaik bagi siapapun, tanpa melihat jenis kelaminnya.
Aisyah Abdurrahman bintu al-Syathi’ biasanya dikenal dengan nama Bintu al-Syathi’ saja. Apabila namanya ditelusuri dari berbagai sumber dan literatur, Bintu al-Syathi’ yang artinya anak perempuan pinggir (sungai) merupakan nama pena dari Aisyah Abdurrahman. Seorang perempuan asal Mesir, lahir di kota Dimyath, 6 November 1913.
Awal Karir
Namanya dikenal khalayak luas ketika ia berkesempatan memberi ceramah kepada sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yerusalem, Rabat, Fez, dan Khortoum pada tahun 1960-an.
Karirnya dalam bidang jurnalistik dimulai sejak ia masih menuntut ilmu di sekolah menengah pertama. Pada tahun 1933, ia dipilih menjadi editor utama majalah al-Nahdhah al-Nisaiyah. Di samping itu, ia aktif menulis di surat kabar terkemuka di Mesir, al-Ahram.
Alih-alih memberi pengaruh buruk, kesibukannya yang begitu padat dengan kegiatan jurnalistik itu justru sebaliknya berdampak baik sekali pada capaian akademiknya. Ia berhasil menyelesaikan studinya dari sekolah keguruan di Tantha dengan kualifikasi ranking pertama dari seratus tiga puluh siswa.
Bintu al-Syathi’ dikenal sebagai satu-satunya ahli tafsir perempuan yang sangat produktif menghasilkan karya tulis. Karya-karyanya yang telah dipublikasikan meliputi studi mengenai Abu al-Ala’ al-Ma’ari, al-Khansa’, hingga karya tafsirnya, al-Tafsir al-Bayani li Al-Qur’an al-Karim yang kemudian menjadi karya yang paling monumental. Di samping kegiatan tulis-menulis ini, ia juga aktif memberikan kuliah di berbagai universitas dan menjadi pembicara dalam beragam seminar.
Penerus Gagasan Pembaruan Amin al-Khuli
Karya Bintu al-Syathi’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim merupakan penerus gagasan pembaruan Muhammad Amin al-Khuli, suami sekaligus gurunya di Universitas Fuad I.
Sebelumnya, Amin al-Khuli memang melakukan pembaruan terhadap studi Al-Qur’an, khususnya bidang metode tafsir. Pembaruan yang dilakukan oleh Amir al-Khuli lebih mengarah pada aspek paradigmatik metodologis dengan cara memperbarui pola berpikir dan cara pandang orang terhadap Al-Qur’an.
Langkah pertama yang Bintu al-Syathi’ lakukan adalah sama dengan yang diteorikan oleh Amin al-Khuli, yaitu memandang Al-Qur’an sebagai kitab al-’Arabiyah al-Akbar (kitab berbahasa Arab terbesar). Dengan cara pandang ini, mengikuti dengan setia Amin al-Khuli, Bintu al-Syathi’ merumuskan bahwa apapun agama seorang penafsir, hasil akhir kesimpulan tentang Al-Qur’an akan sama.
Proses penafsiran itu tidak terpengaruh oleh konsepsi keagamaan apapun, jadi relatif lebih objektif. Maka, penafsiran yang dibangun di atas cara pandang bahwa Al-Qur’an merupakan kitab berbahasa Arab terbesar, akan bisa mendapatkan dan mencapai makna sejati Al-Qur’an.
Langkah selanjutnya, Bintu al-Syathi’ melakukan apa yang telah dirumuskan Amin al-Khuli sebagai kajian terhadap aspek eksternal teks Al-Qur’an (dirasah ma hawl Al-Qur’an) dan aspek internal teks Al-Qur’an (dirasah ma fi Al-Qur’an nafsih).
Langkah ini merupakan tugas pokok yang ditetapkan Amin al-Khuli untuk seorang penafsir Al-Qur’an agar dapat mewujudkan cita-citanya dalam melakukan idealitas penafsiran. Apabila dua langkah hasil gagasan Amin al-Khuli tersebut dipenuhi, maka akan lahir tafsir yang berorientasi pada makna objektif Al-Qur’an.
Metode dan Prinsip Penafsiran
Dalam mengerjakan karya tafsirnya, Bintu al-Syathi’ berpegang teguh pada metode dan prinsip penafsiran berikut:
Pertama, sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain; sebuah prinsip sederhana yang dalam praktiknya belum tentu sederhana. Kedua, metode yang bisa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode yang mengaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada di dekatnya, dan bahkan bisa yang tidak berada di dekatnya. Tetapi memiliki keterkaitan konteks dan makna.
Ketiga, prinsip bahwa suatu ‘ibrah atau ketentuan suatu masalah berdasar atas bunyi umumnya lafaz atau teks, bukan karena adanya sebab khusus (asbab al-nuzul). Keempat, keyakinan bahwa kata-kata di dalam bahasa Arab Al-Qur’an tidak ada sinonimnya. Satu kata hanya mempunyai satu makna. Apabila orang mencoba untuk menggantikan kata dari Al-Qur’an dengan kata lain, maka al-Qur;an bisa kehilangan efektifitasnya, ketepatannya, keindahannya, dan esensinya.
Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim
Karya Bintu al-Syathi’ al-Tafsir al-Bayani li Al-Qur’an al-Karim Volume I dan II mendapat sambutan luar biasa dari para intelektual dan khalayak luas. Volume I dan II tersebut masing-masing terbit pada 1962 dan 1969. Volume I dicetak-ulang pada tahun 1966 dan 1968. Ia diharapkan bisa melanjutkan kajian penafsirannya hingga mencakup seluruh ayat Al-Qur’an.
Tidak hanya terbatas pada empat belas surat pendek yang sudah diterbitkannya. Tak heran jika ia mendapat sambutan yang luar biasa. Sebab, metode dan prinsip penafsiran Al-Qur’an yang dipergunakannya di atas diaplikasikannya dengan sangat baik, sistematis dan mendalam, khususnya terhadap kosakata manusia di dalam Al-Qur’an (basyar, al-nas, al-ins, dan al-insan).
Di samping pengaplikasian prinsip dan metode penafsiran Al-Qur’an pada kosakata manusia, Bintu al-Syathi’ menerapkan metode munasabah dalam penafsiran bentuk huruf wawu al-qasam (wawu untuk sumpah). Ia mengumpulkan sumpah-sumpah yang menggunakan huruf wawu dengan seksama, seperti wa al-duha (Demi waktu pagi hari sebelum tengah hari), wa al-lail (Demi waktu malam), dan wa al-fajr (Demi waktu fajr). Semua kata terkait sumpah menunjukkan materi dan objek konkret yang ada bendanya.
Kesimpulan Bintu al-Syathi’: sumpah yang menggunakan huruf wawu di dalam Al-Qur’an hanya berfungsi sebagai alat retorika. Objek sumpah digunakan Al-Qur’an untuk menarik perhatian atas gejala lain yang serupa, abstrak dan bersifat ruhaniyah. Bintu al-Syathi’ menolak pendapat bahwa bentuk sumpah menggunakan huruf wawu dengan objek sumpah gejala alam adalah bentuk pengagungan. Padahal Allah swt. Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa yang tidak perlu pengagungan dari makhluk-Nya.
Sebagai penutup, hal lain yang penting untuk diketahui tentang Bintu al-Syathi’ adalah kerendah-hatian dan keengganannya berpolemik. Sebagaimana Muhammad Abduh, Bintu Syathi’ sengaja menghindari pembicaraan bila terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir. Kendati demikian, demi mencapai objektifitas penafsiran, istilah asbab al-nuzul (sebab turunnya wahyu) misalnya, bagi Bintu al-Syathi’, sebenarnya tidak lebih dari sekedar suatu kejadian yang berhubungan dengan teks Al-Qur’an.
Dalam hal ini, ia menganut suatu prinsip kaidah terkenal dari para ahli hukum Islam, bahwa ketentuan suatu perkara itu berdasarkan atas keumuman lafaz teks, bukan karena sebab khusus tertentu. Wallaahu a’lam.