Imam Syafi’i – Umat Islam Indonesia tentu tidak asing dengan sosok Imam Syafii. Salah satu imam madzhab fikih yang menjadi rujukan terutama masyarakat Indonesia. Imam Syaf’i lebih dikenal sebagai sosok yang ahli fikih dibanding keilmuan lainnya, semisal tafsir. Ia adalah pendiri Madzhab Syafi’i. Mazhab ini cukup banyak dianut Islam di Indonesia, bahkan bisa dibilang mayoritas di Indonesia.
Dalam menjelaskan biografi Imam Syafi’i perlu diketahui nama lengkapnya, yaitu Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusayy bin Kilab. Nama Syafi’i diambilkan dari nama kakeknya, Syafi’i dan Qusayy bin Kilab adalah juga kakek Nabi Muhammad SAW. Pada Abdul Manaf nasab Asy-Syafi’i bertemu dengan Rasulullah SAW. Djazuli, Imu Fiqih 2005, h. 129.
Jika dilihat dari namanya, ia masih tergolong kerabat dari Rasulullah saw. melalui klan Quraisy dari Bani Muthalib yang mana merupakan kakek Rasul.
Imam Syafii dilahirkan pada tahun 150 H, di tengah – tengah keluarga miskin di Palestina sebuah perkampungan orang-orang Yaman. (M Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta, Teras, Cet. ke- 1, 2003, h. 86.)
Pada usia dua tahun, ibunda Imam Syafi’i Fatimah binti Ubaidillah Al Azdiyah membawa pulang beliau ke tanah airnya. Imam Syafi’i adalah seorang anak yatim sejak masih di dalam kandungan. Di Mekkah, Imam Syafi’i dibesarkan oleh ibunya dengan sederhana dan bahkan serba kekurangan.
Pengembaraan Ilmu Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dikenal rajin berkelana demi mencari ilmu. Imam Syafi’i banyak menghabiskan waktunya di Masjidil Haram untuk mempelajari bermacam ilmu agama (ulumuddin) seperti ilmu fikih, Alquran, Hadis, dan bahasa. Pada usia tujuh tahun, Imam Syafi’i dapat menghafal Alquran sebanyak 30 juz dengan lancar dan fasih.
Setelah selesai mempelajari Al-qur’an dan hadits, asy-Syafi’i melengkapi ilmunya dengan mendalami bahasa dan sastra Arab. Untuk itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung dengan Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah, asy-Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik. (Lahmuddin Nasution: 2001, 17).
Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik. Dalam catatan biografi Imam Syafi’i, pada usia sepuluh tahun, ia telah mampu menghafal kitab Muwatha yang disusun oleh Imam Malik. Dari kecintaannya pada kitab tersebut kemudian melangkahkan kakinya ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik.
Untuk meningkatkan keilmuannya, Imam Syafi’i memohon izin pada Imam Malik untuk menuntut ilmu kepada Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, dan ulama-ulama lainnya di Iraq. Tak hanya restu, Imam Malik bahkan mengantarnya hingga ke Baqi dan membekali uang Imam Syafi’i. Di usianya yang ke-15, keilmuan Imam Syafi’i sudah setaraf seorang mufti.
Dalam catatan biografi Imam Syafi’i, ia telah menuntut ilmu ke berbagai daerah. Selain Mekkah, Madinah, dan Iraq. Selain itu juga ke Baghdad, Persia, Yaman, hingga Mesir. Setelah lima tahun tinggal di Mesir kemudian kondisi Imam Syafi’i mulai sakit-sakitan. Pada akhirnya imam besar Sunni itu wafat di usia 55 tahun (tahun 204H), yaitu hari kamis malam jum’at setelah shalat maghrib, pada bulan Rajab, bersamaan dengan tanggal 28 juni 819 H di Mesir (M .Bahri Ghazali dan Djumaris: 1992, 79).
Khazanah Mazhab Fikih Syafi’i
Peninggalan khazanah keilmuan Imam Syafi’i pada Islam Sunni yaitu adanya mazhab Syafi’i yang dasar-dasarnya meliputi lima hal: Alquran, Hadis, Ijmak, Qiyas, dan Istidlal. Mazhab Syafi’i juga dikenal dengan adanya pemahaman qaulul-qadim dan qaulul jadid.
Mudahnya, kitab-kitab karangan Imam Syafii di bidang fikih terdiri dari dua kategori: pertama, kitab yang memuat qaul qadim, untuk kitab ini yang mendokumentasikan tidak banyak. Hanya ada satu buah kitab saja yang terkenal dengan judul al-Hujjah.
Kedua, kitab yang memuat qaul jadid. Kitab ini banyak diabadikan pada empat karya besarnya: al-Umm, al-Buwaiti, al-Imla’, dan Mukhtashar Muzani. Empat kitab ini merupakan kitab induk yang memuat nas dan kaidah-kaidah pokok Imam Syafi’i yang disajikan sebagai pedoman di dalam memahami, mengkaji, dan mengembangkan mazhab.
Menurut Nurcholis Madjid, Imam Syafi’i (w. 204 H/819 M), menjadi perumus pertama Prinsip-prinsip Yurisprudensi (ushūl al-fi qh) di bidang Hukum (syariat). Kehadiran Imam Syafii menjadi tuntunan berpikir rasional dan sistematis pada ilmu agama Islam.
Imam Syafii juga melahirkan kitab al-Risalah dan al-Umm. Menurut Muhammad Misbah, Imam Syafi’i telah menafsirkan banyak ayat-ayat al-Quran meskipun tidak utuh 30 juz. Penafsirannya lebih banyak pada ayat-ayat hukum, sebagaimana kapasitasnya sebagai ahli fikih.
Dalam menafsirkan al-Quran, imam Syafi’i banyak mengunakan al-Quran, Sunnah, perkataan para sahabat dan para imam. Selain itu, beliau juga banyak menafsirkan ayat dengan qiyas dan syair-syair Arab.