Penggunaan simbol agama memang bagian dari strategi pemasaran. Munculnya gejala perkotaan akibat politik pembangunanisme Orde Baru, memicu lahirnya kelas muslim urban sejak era 1990an. Mereka pada umumnya bekerja dalam sektor ekonomi non-pertanian. Mereka bisa berasal dari pekerja swasta, pegawai negeri atau buruh pabrik. Tingginya hasrat penegasan identitas keislaman, dibarengi oleh kuatnya makna psikologis agama, membuat mereka mudah menjadi target bisnis berlabel “syariah” atau “halal”. Di samping itu, problem ekonomi pas-pasan mendorong mereka menaruh kepercayaan tinggi pada peluang-peluang yang digaransi oleh simbol agama.
Tidak ada yang salah. Orang Islam memang tumbuh dalam komitmen yang khas. Mereka tidak mungkin minum alkhohol atau makan daging babi atau anjing. Mereka membentuk kesadaran yang tinggi, mulai dari bangun hingga tidur. Dalam keadaan sulit air pun mereka tetap tayamum (bersuci dengan debu dan sejenisnya) ketika hendak beribadah. Beberapa di antara mereka ada yang melebihkan atau memantaskan anjuran dalam menjalani aspek “rukun Islam”. Semuanya demi apa yang mereka yakini sebagai “syariah” yang bermakna “suatu jalan atau oase untuk mencapai sang Maha Pemilik Kehidupan”.
Bisnis “Syariah” dan “Islami” Juga Beresiko
Bisnis-bisnis fiktif berlabel syariah bukan cuma merugikan secara finansial, tapi juga menjadi beban psikologis yang berdampak panjang. Pertama, simbol agama punya peran penting dalam kesehatan mental tiap penganutnya yang taat. Simbol agama merupakan bagian dari cara para penganutnya memahami dan bahkan memaklumi proses hidupnya masing-masing. Mereka terbiasa hidup dalam kerangka simbol agama, yang bisa kita sebut atau ganti katakanlah dengan ideologi atau jalan hidup (way of life). Keyakinan manusia pada simbol-simbol eksternal merupakan bagian yang juga punya peran dalam menundukkan, mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan sosial, ekonomi dan politik. Merusak kerangka itu berarti kita merusak satu pegangan kesadaran dan komitmen sosial yang lebih besar.
Kedua, banalitas penggunaan simbol agama merupakan gejala krisis ekonomi dan politik. Kebanyakan orang mungkin menganggap kemunculan simbol agama di ruang publik merupakan gejala “radikalisasi” atau “benturan peradaban”. Saya tidak terlalu setuju, begitu pula dengan kebanyakan antropolog yang lama meneliti Islam. Tampilnya agama secara mencolok terutama dalam praktik ekonomi neokapitalis dan kekuasaan politik, merupakan alarm dekadensi masyarakat. Jadi, munculnya hasrat yang mendalam pada agama punya hubungan dengan kekacauan kehidupan politik akibat transformasi ekonomi besar-besaran (the great transformation).
Kita bisa mengecek itu pada masa-masa tumbuhnya ideologi-ideologi ekstrim keagamaan baik pada abad pertengahan maupun era modern di Eropa, Timur Tengah dan Asia. Hampir semua ideologi ekstrim itu merupakan ekses dari masa-masa perang, skandal politik, korupsi dan kerusakan lingkungan. Jadi jangan terburu-buru menganggap korban perumahan syariah merupakan korban atas hasrat keagamaan. Itu jelas bisa menjauhkan kita pada kesimpulan yang lebih penting.
Bisnis fiktif berbau syariah diperkirakan akan terus terjadi. Kasus di Bandung atau Banten barangkali termasuk yang sudah terbongkar. Ketika saya sedang di Manado awal Desember ini, saya mendengar cerita yang sama dari tetangga saya bahwa mereka baru saja ditawarkan perumahan syariah bebas riba cukup dengan uang 40 juta. Perumahan itu akan dibangun pada tahun kedua setelah pembayaran dilakukan. Meskipun belum terbukti, saya mencium bau yang serupa dengan kasus di Banten.
“Syariah” itu Menjual
Akar persoalan komodifikasi syariah itu makin tampak pasca tahun 2005 dengan meningkatnya model politik formal berbau “syariah”. Setelah Orde Baru memperbaiki relasi dengan kekuatan muslim tahun 1990an, aspirasi kelompok muslim kian terdengar dan mendorong munculnya ruang publik Islam. Tayangan TV menjual “fasting time” selama bulan Ramadhan.
Kawasan pertokoan memajang fashion “Islami”. Politikus yang tak mahir mengurus manajemen kota atau ekonomi kolektif, beralih ke perda-perda syariah sebagai bentuk pelarian atas inkapabilitas kemampuan pengelolaan publik dan kebijakan taktis. Dalam kasus tertentu, perda syariah dibuat untuk menyamarkan praktik korupsi kepala daerah. Kementerian yang mengelola kehidupan beragama pun terlibat dalam praktik suap dan korupsi.
Membaca kasus bisnis fiktif perumahan syariah menggiring saya pada satu buku lama tentang filsafat budaya dan komunikasi. Joseph Heath dan Andrew Potter menulis buku berjudul “Radikal itu Menjual: Budaya Perlawanan atau Pemasaran?”. Ini buku yang provokatif. Buku ini mengulas bagaimana ekspresi alternatif atau simbol kultur subversif justru bisa dirangkul menjadi budaya massa. Mengapa sikap atau pandangan kultur yang kita anggap ekslusif-ideologis bisa menjadi selayaknya barang produksi massal?
***
Bisnis syariah entah itu betulan atau fiktif, bukan pertanyaan utama. Poinnya adalah mengapa bisnis berlabel “syariah” berhasil menggaet minat konsumen? Heath dan Potter menjelaskan bahwa ekspresi budaya subversif alih alih mengancam sistem dominan, justru bisa berubah atau menjadi bagian dari sistem dominan. Dalam sudut pandang perspektif inu, bisnis berlabel “syariah” barangkali tidak se-khas yang kita bayangkan. Bisnis tetap bisnis, dengan semua resiko dan gangguan yang harus ditanggung konsumen.
Tapi mengapa “syariah” itu tetap laris dalam pasar bisnis? Saya kira kuncinya ada pada cara kita sebagai konsumen mempersepsikan komoditas. Bagi konsumen muslim sangatlah penting memastikan bahwa ia bisa mendapat komoditas dengan harga yang pas sekaligus menghindarkan diri dari beban moral melanggar prinsip agama. Ambil contoh misal ada seorang calon pembeli rumah. Ia menemui dua pengembang yang menawarkan harga dan fasilitas properti yang serupa. Tapi yang satunya menambah label “Perumahan Islami” sedangkan yang satunya tidak. Mana yang akan dipilih selaku konsumen muslim? Jawabannya jelas.
Satu-satunya alasan mengapa label “syariah” itu sangat penting setelah harga, jelas terletak pada persepsi kita atas etika agama itu sendiri. Kita membeli yang berlabel “syariah” berarti kita menghargai persepsi kita atas etika yang baik, bermoral dan terpuji. Komitmen baik itu sayangnya tidak berlaku bagi penyelenggara bisnis. Bagi mereka tidak ada etika yang lebih tinggi kecuali “menghasilkan laba sebesar-besar dari modal yang sesedikit-dikitnya”.