Fikih

Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin?

2 Mins read

Pada dasarnya semua orang dapat menjadi pemimpin, perempuan tidak semuanya lemah, ia ibarat sebuah bangunan yang kokoh dan merupakan fondasi yang berstruktur kuat. Bahkan di zaman dulu pun Nabi kita tidak pernah melarang secara utuh ketika perempuan ingin menjadi pemimpin.

Dilansir dari Republika, contoh perempuan yang menjadi pemimpin; pertama, Ratu Bilqis. Selain parasnya yang jelita, dia adalah seorang pemimpin bijaksana. Dia sukses memimpin rakyatnya sehingga mereka makmur dan sejahtera.

Kedua, Asiyah binti Muzahim. Asiyah adalah seorang perempuan yang dipuji karena kemandirian dan ketegasan imannya dalam melawan raja zalim, Raja Firaun. Ketiga, Siti Maryam, seorang perempuan terbaik sepanjang masa.

Namun semakin berkembangnya zaman di Indonesia sendiri diawali dengan sosok seorang perempuan yang berjuang khususnya dalam pergerakan emansipasi wanita yaitu R.A Kartini dampaknya sekarang telah banyak dirasakan.

Keberadaan wanita kini mulai dihargai dan disetarakan walaupun masih banyak pro dan kontranya. Sejak 15 abad yang silam, Al-Qur’an telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, Al-Qur’an memberikan hak-hak kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki.

Hak Perempuan Menjadi Pemimpin

Di antaranya dalam masalah kepemimpinan, Al-Qur’an memberikan hak kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin, sebagaimana hak yang diberikan kepada laki-laki. Faktor yang dijadikan pertimbangan dalam hal ini hanyalah kemampuannya dan terpenuhinya criteria untuk menjadi pemimpin.

Jadi, kepemimpinan itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi juga bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan, bahkan bila perempuan itu mampu dan memenuhi criteria yang ditentukan, maka ia boleh menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau kepala Negara). Masalah ini disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 71.

Baca Juga  Pertama dalam Sejarah, PBNU Libatkan Perempuan dalam Struktur Kepengurusan

Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong (pemimpin) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 71)

Berdasarkan penjelasan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an tidak melarang perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, dokter, pengusaha, hakim, dan menteri, bahkan sebagai kepala Negara sekalipun.

Namun, dengan syarat, dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum dan aturan yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan sunnah. Diantara penyebab timpangnya hubungan laki-laki dan perempuan yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan ini antara lain mitos-mitos yang disebarluaskan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum laki-laki.

Sebaliknya, tentang perempuan adalah mitos-mitos yang melemahkan kaum perempuan. Laki-laki selalu digambarkan sebagai makhluk yang cerdas, kuat, tidak emosional. Sementara perempuan adalah mahkluk yang lemah, bodoh, emosional dan tidak mandiri.

Fatwa Ulama

Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma‟ruf Amin, mengatakan bahwa MUI Pusat belum pernah mengeluarkan fatwa tentang larangan perempuan menjadi pemimpin. Kepemimpinan wanita baik di level pemimpin tingkat atas (imamat al udhma) ataupun tingkat bawah.

Sebab, persoalan kepemimpinan perempuan termasuk masalah yang diperselisihkan diantara ulama. “Terjadi perbedaan pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang”. Sekalipun kelak dibahas di MUI, maka hasil akhirnya bisa dipastikan terjadi perbedaan, dapat disimpulkan Kedudukan pemimpin perempuan dalam Islam sampai saat ini masih menuai pro dan kontra. Ada yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin, sebaliknya ada juga yang tidak membolehkan.

Baca Juga  Tidurnya Orang Berpuasa: Ibadah atau Dosa?

Akan tetapi mayoritas ulama lebih banyak yang tidak membolehkan. Perbedaan pendapat mengenai pemimpin perempuan tersebut muncul karena beberapa faktor, baik karena faktor berbedanya penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadist, Ijma’ dan Qiyas, maupun karena budaya patriarki yang belum hilang dari masyarakat, serta mitos-mitos kejadian manusia mengenai perempuan itu sendiri. pada intinya, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam menduduki kursi kepemimpinan.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa IAIN Samarinda
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds