Fikih

Islam Juga Hadir dalam Dunia Disabilitas

3 Mins read

Difabel Menurut Islam

Difabel dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan berbeda dengan kebanyakan orang lainnya. Asal kata dari difabel yaitu different ability atau kemampuan yang berbeda. Dengan pendefinisian tersebut, suatu hal yang penting perlu dipahami bahwa mereka bukan berarti tidak normal ataupun tidak sempurna. Karena pada dasarnya, tidak ada standar kenormalan dan kesempurnaan yang hanya dilihat dari kebanyakan manusia saja, terlebih soal fisik.

Allah telah berfirman dalam QS. At-Tin: 4-6 bahwa Ia telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Lalu, Ia mengembalikan manusia dalam kerendahan kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Ayat di atas juga senada dengan hadis bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim)

Dari ayat dan hadis di atas sudah dapat diketahui bahwa kesempurnaan manusia bukan dilihat dari fisik yang tidak memiliki standar kesempurnaan. Tetapi kesempurnaan manusia dilihat dari hati dan juga perbuatannya.Dan itupun yang berhak menilai hanyalah Tuhan.

Dengan memahami hal-hal tersebut, maka pandangan terhadap para penyandang disabilitas bukan lagi melihat mereka dengan pandangan tidak normal dan tidak sempurna, tetapi akan melihat dengan pandangan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan, kekurangan, dan juga kemampuan yang berbeda. Hal tersebut akan muncul keadilan dan kesetaraan tanpa adanya diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.

Fikih Difabel dalam Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi umat Islam terbesar yang ada di Indonesia. Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah telah membentuk Fikih Difabel yang mana hal ini bertujuan agar para penyandang disabilitas juga memiliki aksesibilitas dalam hal ibadah ataupun muamalah dengan mudah. Hal tersebut juga sesuai dengan salah satu amanat Muktamar ke-48 Muhammadiyah yaitu pentaan ruang publik yang inklusi dan adil.

Baca Juga  Cinta Rasulullah: Tak Pandang Fisik, Ramah terhadap Penyandang Disabilitas

Terdapat tiga bagian penting dalam fikih difabel ini, bagian pertama yaitu nilai-nilai dasar (al-qiyaam al-asaasiyyah) yang berisikan ketauhidan bahwa segala bentuk makhluk adalah sebaik-baik ciptaan dari Allah. Bukan hanya tentang ketauhidan, tetapi dalam prinsip ini ditegaskan pula bahwa penyandang disabilitas juga memiliki kesamaan hak dalam mendapat keadilan, berkontribusi, dan juga dalam menjaga kemashlahatan pribadi baik berupa agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan yang mana hal tersebut menjadi bentuk Islam yang rahmatan lil’alamin.

Selain nilai-nilai dasar, dalam fikih difabel juga memuat prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah) bahwa setiap manusia itu mulia, memiliki kesamaan, dan kesetaraan di hadapan Allah dan adanya larangan untuk melukai segala unsur lahir ataupun batin yang melekat pada manusia, hal tersebut sesuai dengan QS. Al-Isra: 33 dan 70.

***

Prinsip nilai umum juga menjelaskan tentang inklusivisme yang merujuk pada QS. Al- Hujurat:13, bahwa manusia harus memiliki sifat keterbukaan tanpa membedakan agama, ras, bentuk fisik, atau perbedaan lainnya. Adanya berbagai macam perbedaan tersebut tidak lain adalah bertujuan untuk membangun kesepahaman dan keharmonisan bukan permusuhan serta perselisihan.

Dalam prinsip pedoman praktis (al-ahkam al-fari’iyyah) disebutkan adanya hak asasi yang telah dijamin dalam Convention on The Right of Person with Disability oleh PBB tahun 2003 dan juga undang-undang nomor 8 tahun 2016, yang memuat nilai untuk menjaga dan menghormati para difabel dengan setara, partisipasi, inklusi, dan aksesibilitas bagi difabel.

Selain itu juga, adanya hak hidup bermartabat dengan setiap orang memiliki harga diri dan juga tingkat harkat kemanusiaan. Lalu adanya dorongan bagi seluruh manusia juga melalui pengembangan riset dan teknologi untuk mendukung adanya fasilitas yang dapat meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Baca Juga  Bau Mulut Saja Dilarang ke Masjid, Apalagi Corona

Realita Penerapan Fikih Difabel

Dengan diputuskannya fikih difabel, hal itu sudah menjadi langkah awal adanya keadilan dan kesamaan hak bagi penyandang disabilitas. Tetapi fikih tersebut harus dapat diaplikasikan agar aksesibilitas bagi difabel dapat terwujud. Contohnya dalam hal ibadah, perlu adanya tuntunan salat bagi teman tuli ataupun Al-Qur’an bahasa isyarat seperti yang telah diterbitkan oleh Kemenag dan juga Al-Quran braille ataupun audio bagi teman difabel netra.

Selain tentang tatacara ritual, tempat ibadahpun juga harus mengaplikasikan fikih tersebut agar ramah difabel. Seperti masjid yang memiliki jalan miring (ramp) sebagai akses pengguna kursi roda. Bagi para teman tuli, juga perlu diberikan fasilitas berupa running text ataupun juru bahasa isyarat (JBI) ketika adanya khutbah ataupun kajian keagamaan. Begitu pula perlu adanya guiding block yang terpasang secara strategis agar memudahkan bagi para difabel netra untuk mengetahui jalan menuju suatu tempat.

Selain memberikan akses beribadah, fikih difabel juga dapat diaplikasikan pada kehidupan secara luas seperti dalam hal pendidikan. Para penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan. Kini sudah mulai muncul adanya pendidikan inklusi di dalam sekolah ataupun perguruan tinggi. Contohnya SMA 10 Muhammadiyah Surabaya (SMAMX) dan juga UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah  menerima dan memberikan akses pendidikan bagi difabel.

***

Di kedua sektor pendidikan tersebut, selain diberi fasilitas pendidikan yang ramah difabel seperti perpustakaan yang memiliki difabel corner pada UIN Sunan Kalijaga, mereka juga diberikan ruang untuk menggali dan mengembangkan potensi menjadi sebuah prestasi. Bahkan, di SMAMX memberikan fasilitas berupa Griya Layanan Difabel, begitu juga Pusat Layanan Difabel (PLD) di UIN Sunan Kalijaga. Dengan dikembangkannya pendidikan inklusi, hal tersebut akan mendukung kesetraan dan juga kesamaan hak bagi para penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan.

Baca Juga  Catatan Pemilu 2024: Masih Belum Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

Selain itu, kini telah terselenggara adanya konser musik yang menyediakan juru bahasa isyarat agar para teman Tuli dapat turut menikmatinya. Begitupun kegiatan-kegiatan besar seperti Muktamar ke-48 Muhammadiyah & ‘Aisyiyah dan beberapa acara televisi sudah memberikan akses bagi difabel tuli. Hal tersebut perlu terus ditingkatkan agar para penyandang disabilitas mendapatkan kemudahan dalam mengakses berbagai fasilitas. Begitu juga tentang fikih difabel yang harus terus diperluas dan juga dapat diterapkan dalam kehidupan untuk memudahkan akses bagi difabel yang mana hal tersebut sudah menjadi hak mereka untuk mendapatkannya.

Editor: Yahya FR

Kemal Pasha Wijaya
15 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *