Sebagian kalangan umat Islam melaksanakan salat dengan membaca mushaf Alquran, terutama di salat-salat yang panjang seperti salat tarawih dan tahajjud. Ada yang meletakkan mushaf di depannya agar mudah dibaca, ada juga yang memegang dengan salah satu tangannya.
Sedangkan mayoritas umat Islam menggunakan hafalan dalam membaca Alquran ketika salat dan tidak memegang atau membuka mushaf. Lalu, bagaimana Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah memandang hal tersebut?
Setidaknya ada 3 pandangan ulama dalam melihat fenomena tersebut. Pertama, melarangnya dengan alasan bahwa orang yang shalat sambil membawa mushaf, membolak-balik halaman mushaf, melihat mushaf, dan seterusnya adalah gerakan yang terlalu banyak, padahal itu bukan bagian dari salat.
Sementara itu juga tidak diperlukan ketika salat, sehingga hal ini merusak salatnya. Orang yang sedang mengerjakan salat sebenarnya sedang menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang yang sedang salat, wajib menjaga ketenangan dan khusyu’ (menundukkan diri).
Ketenangan dan khusyu’ (menundukkan diri), sangat diperlukan dalam menghadap Allah agar dapat mencapai apa yang menjadi tujuan salat, yaitu rahmat, maghfirah, dan hidayah dari Allah. Oleh sebab itu Allah sangat menganjurkannya dalam firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” [QS. al-Mu’minun [23]: 1-3]
Dijelaskan pula dalam sebuah hadis, apabila mengerjakan salat, hendaklah dilakukan dengan konsentrasi seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala berada di hadapannya:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pada suatu hari Nabi keluar kepada orang-orang, kemudian datanglah kepadanya seorang laki-laki, lalu berkata: Apakah iman itu? Nabi bersabda: Iman ialah percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, akan bertemu dengan-Nya, utusan-utusan-Nya, dan percaya kepada hari kebangkitan. Ia berkata: Apakah Islam itu? Nabi bersabda: Islam ialah menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat fardhu dan puasa pada bulan Ramadhan. Ia berkata: Apakah ihsan itu? Nabi bersabda: Menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu …” [HR. al-Bukhari]
Kedua, yaitu membencinya dengan alasan orang yang salat sambil memegang, membawa, dan membaca mushaf khawatir termasuk tasyabbuh (menyerupai) dengan ahli kitab.
Ketiga, boleh. Pandangan inilah yang dipilih dan dipedomani mayoritas ulama dengan alasan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:
[عَن ابْنِ أَبِي مُلَيكَةَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ الْمُصْحَفِ [رواه البخاري
“Diriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha. pernah diimami oleh budaknya yang bernama Dzakwan dan dia membaca dari mushaf.” [HR. al-Bukhari secara Muallaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf]
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya berpandangan bahwa orang yang shalat sambil membawa dan membaca mushaf tidak ada larangan, terlebih jika dibutuhkan ketika seorang imam ragu dengan bacaannya.
Seperti sering kita temukan pada shalat malam ketika Ramadhan yang panjang bagi seseorang, khususnya imam, yang khawatir terjadi kesalahan bacaan al-Quran atau tidak hafal.
Hanya saja, Majelis Tarjih dan Tajdid menggarisbawahi bahwa jika orang tersebut berusaha untuk menghafalkannya akan lebih utama, sehingga tidak perlu membawa al-Quran ketika shalat atau menjadi imam. Tentu dengan syarat tidak banyak gerakan yang tidak berhubungan dengan shalat yang dapat membatalkan dan tidak terjaganya kekhusyu’an shalat.
Walaupun membawa dan membaca mushaf ketika shalat tidak ada larangannya, jangan sampai pelaksanaannya justru memberatkan atau menyusahkan, karena Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya:
[فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ … [المزمّل: 20
“… Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran …” [QS. al-Muzammil [73]: 20]
Pandangan di antara ulama yang membenci orang salat sambil membaca mushaf karena khawatir termasuk tasyabbuh (menyerupai) dengan ahli kitab dianggap sebagai pandangan yang tidak berdasar oleh Majelis Tarjih dan Tajdid.
Membaca al-Quran terlalu jauh untuk disebut meniru ahli kitab, apalagi dibandingkan seperti membaca kitab/buku-buku lainnya. Hal ini karena membaca al-Quran termasuk amal salat, sementara kitab/buku-buku lain tidak termasuk bagian salat. Sebagaimana kita boleh membaca buku umum yang bermanfaat dan itu tidak termasuk tasyabbuh (menyerupai) terhadap ahli kitab, maka membaca al-Quran lebih layak untuk tidak disebut meniru kebiasaan orang kafir.
Reporter: Yusuf
Sumber: fatwatarjih.or.id & Majalah Suara Muhammadiyah No. 6, 2015