Manfaat Agama
Buat Apa Kita Beragama? – Agama diturunkan sebagai penanda kebermaknaan. Ia, kendati eskatologis dalam terminologi Weber, tetap dibutuhkan sebagai penuntun umat manusia menaja kehidupan di muka bumi.
Kehadirannya seyogianya suluh yang memandu, sekaligus memelopori adanya keterhubungan substansial dengan Sang Pencipta. Untuk menuju keterhubungan substantif itu, berarti ada upaya glorifikasi terhadap ajaran agama.
Glorifikasi, sebagaimana memuliakan, berusaha meletakkan ajaran adiluhung agama dalam segenap tindak tanduk keberagamaan kita. Ajaran adiluhung itu berkelindan pemuliaan martabat manusia di atas segalanya. Inilah yang mesti diaktualisasikan di tengah realitas keberagamaan kita mutakhir. Menilik aspek kemanusiaan sebagai upaya memaknai kehadiran agama.
Buat Apa Kita Beragama ?
Berusaha menyajikan permenungan kelindan agama dengan manusia. Renungan komparatif ihwal dinamika manusia dengan agamanya diulik sebagai evaluasi sikap keberagamaan.
Pelbagai kasus beragama berusaha ditilik dan dimaknai secara reflektif. Kristalisasi pemikiran dalam buku pun bertaut pengalaman empiris kala agama disikapi sebagai tujuan akhir oleh sebagian pemeluknya.
Dari sini, Abdillah mulai menyentil pertanyaan esensial ihwal eksistensi agama. Sepenggal pertanyaan agama untuk siapa? Akan membuka gerbang terhadap pemaknaan religiusitas umat manusia di tengah kemodernan. Secara eksplisit, manusia lah yang membutuhkan agama. Tuhan yang Maha Berkecukupan itu tak membutuhkan agama.
Karena agama diperuntukkan bagi umat manusia, ia seyogianya tidak diberhalakan. Namun dijadikan alat dan jalan menuju Tuhan. Pemaknaan agama semacam ini pada muaranya akan memantik relung kesadaran umatnya untuk senantiasa berperilaku baik pada sesama. Dengan kata lain, agama hadir dalam ruang pemaknaannya yang begitu subtil. Yang tidak serta-merta tekstual-eksklusif.
Inilah yang berusaha ditilik Abdillah. Bahwa kehadiran agama dimaknai sebagai jalan ikhtiar manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan lewat seperangkat ajaran adiluhung nya.
Ketika agama dimaknai sebagai jalan, manusia akan melaluinya dengan penuh khidmat mengejawantahkan sikap cinta kasih tak berpamrih apa pun, kecuali niat mulia karena Tuhan.
Sebaliknya, memaknai agama sebagai tujuan akhir hanya akan melahirkan ruang bagi narasi ekstremitas beberapa kalangan terhadap agama. Di titik ini, hasrat memberhalakan agama kian tak tertangguh kan.
Agama menjadi identitas diri yang harus dibela mati-matian demi keselamatan diri dan kelompok. Ia tidak lagi menjadi sumber kedamaian dan ketenangan batin, tetapi telah menjelma menjadi sumber konflik dan perpecahan (Hal-36).
Yang tampak pada realitas semacam ini ialah sikap keberagamaan yang hanya bertumpu pada kulit luar, belum menyentuh sisi substantifnya. Sebuah representasi dari corak sikap beragama yang tekstual-ekslusif. Yang hanya memandang yang tampak sebagai suatu kebenaran final. Tak ada penundukan ego dalam beragama semacam ini. Yang ada hanya fanatisme buta dengan memprovokasi sebagai jalan ikhtiarnya.
Akibat Kesalahan Memahami Agama
Kesalahan memaknai agama semacam ini bagi Abdillah membuat manusia tersungkur ke dalam tubir mengerikan radikalisme. Realitas mutakhir keberagamaan kita telah menunjukkan bagaimana radikalisme itu beranak-pinak.
Dengan segala hasrat mendudukkan dominasi agamanya di ruang publik, mereka rela memoles citra agama dengan wajahnya yang begitu sangar, penuh ketakutan, dan sesekali menebar teror.
Untuk itu, Abdillah dalam buku berulang kali menyentil persoalan krusial kehidupan beragama kita. Mulai dari radikalisme, fanatisme, hingga ejawantah perilaku-perilaku keberagamaan yang destruktif. Kesemuanya ditilik secara objektif nan reflektif tanpa harus menghadirkan bejibun argumentasi teoretis.
Pembaca justru disuguhi renungan kemanusiaan sebagai evaluasi sikap keberagamaan. Hal ini tentu menemukan relevansinya dengan kondisi keberagamaan mutakhir. Gagasannya yang bertumpu pada corak beragama yang kontekstual-inklusif itu membuat renungan kemanusiaan yang disajikan terasa begitu sublim.
Di sinilah dendang nilai kemanusiaan menemukan momentumnya. Beragama bagi Abdillah tidak hanya semata melaksanakan ritus suci keagamaan, lebih esensial lagi beragama adalah berperilaku sebagai manusia yang utuh dan berguna.
Di balik agama terdapat nyanyian luhur kemanusiaan yang mesti teraktualisasi di segenap lini praksis manusia. Itulah sejatinya esensi dari beragama.
Dengan kata lain, beragama kita hanya menjadi sebatas keimanan semu tanpa adanya keluwesan hati memikirkan aspek kemanusiaan. Dalam kemanusiaan, umat beragama bisa merenung dan memikirkan lelaku hidup yang baik berpamrih nilai persatuan dan persaudaraan.
Suatu ikhtiar merekatkan hubungan antar sesama manusia yang mesti kita tunai dalam beragama. Dengan demikian, kita tidak hanya sebatas saleh secara ritual, tapi juga saleh secara sosial.
Akhirnya, tanpa berpretensi menggunakan metode penulisan ilmiah dengan pakem yang ketat, penulis justru membuat komparasi sederhana ihwal cara beragama seseorang.
Membandingkan cara beragama yang kontekstual-inklusif dengan tekstual-eksklusif. Tak ada tendensi subjektivitas di sini, sebaliknya unsur objektivitas dengan mengedepankan corak beragama yang kontekstual-inklusif justru menemukan pijakannya dengan renungan kemanusiaan.
Editor: Yahya FR