Sebelum membahas budaya dan karakter bangsa, bahasan tentang fitrah manusia menarik untuk disinggung. Manusia diciptakan dengan fitrah sebagai makhluk sosial yang memiliki harkat dan martabat. Memiliki harkat berarti manusia memiliki derajat, mutu, nilai, atau kekuatan dalam berkehidupan. Dan memiliki martabat berarti manusia memiliki harga diri.
Hal ini menunjukan bahwa manusia selain berperan sebagai makhluk individu, ia juga merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan bantuan orang lain. Ia juga mampu untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain.
Oleh sebab itu, untuk menjadi manusia yang memiliki harkat dan martabat yang baik, maka manusia perlu memiliki jati diri. Jati diri tersebut kemudian berinteraksi atau dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya luhur bangsa sehingga membentuk karakter. Yang mana karakter tersebut akan membentuk perilaku seseorang.
Budaya dan Karakter Bangsa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional telah merumuskan 18 nilai karakter ideal. Karakter-karakter tersebut terdiri atas religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan dan nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Selain itu, Kementerian Agama melalui Dirjen Pendidikan Islam juga mencanangkan nilai karakter dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad sebagai tokoh agung yang paling berkarakter. Karakter-karakter tersebut adalah adalah jujur, dapat dipercaya, menyampaikan kebenaran, serta menyantunkan kata dan perbuatan.
Akhirnya, kesemua karakter-karakter tersebut akan ditanamkan dalam diri peserta didik di tiap-tiap sekolah atau madrasah yang dibinanya. Hal tersebut dilakukan sebagai sebagai upaya membangun karakter bangsa.
Akhlak dan Karakter
Konsep manusia atau bangsa yang berkarakter dalam perspektif pendidikan Islam sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Bahkan, pendidikan karakter merupakan misi utama yang menjadi amanat dakwah Rasulullah Muhammad.
Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam hadis dari Abu Hurairah yang artinya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. Dalam penegertian ini, istilah karakter disandingkan dengan akhlak. Karena puncak karakter seorang muslim adalah takwa, dan indikator ketakwaan adalah terletak pada akhlak atau karakternya.
Dalam persepektif pendidikan Islam, konsep budaya dan karakter bangsa memiliki makna untuk mengembangkan nilai-nilai yang ada pada diri manusia. Nilai budaya dan karakter tersebut nantinya akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan mencerminkan sikap manusia yang nasionalis dan religius.
Karena dengan adanya kehidupan beragama, maka hidup manusia akan terarah dan memiliki makna. Hal itu nantinya yang akan menjadikan manusia mengerti akan tujuan hidupnya. Dan dengan mengetahui tujuan hidup, manusia akan menjalani hidupnya sesuai dengan bimbingan, arahan, dan petunjuk Alquran serta Hadis agar dapat sampai kepada Tuhan.
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, serta berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesemuanya itu harus dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter juga memiliki fungsidalam berbangsa, yakni: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berfikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultural; dan (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan Budaya dan Karakter dalam Islam
Ada tiga poin penting yang diajarkan Islam dalam kaitannya dengan pendidikan budaya dan karakter. Ketiga poin penting tersebut adalah:
Pertama, keteladanan. Prinsip keteladanan dalam Islam telah diterapkan oleh Rasulullah dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam usaha mengemban risalahnya, beliau telah menjadi uswah hasanah atau contoh yang baik.
Sehingga penanaman nilai budaya dan karakter dapat diterima dan diterapkan dengan mudah oleh para pengikutnya saat itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat al-Ahzab ayat 21 berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia yang banyak menyebut Allah.”
Kedua, pembelajaran. Implementasi pembelajaran budaya dan karakter bangsa dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan baik di satuan pendidikan formal, informal maupun non formal. Hal ini dimaksudkan sebagai pendukung utama kegiatan keteladanan yang tersebut di atas. Karena proses belajar itu tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Jika kita melihat pohon yang tumbuh tinggi kemudian diterpa angin. Semakin tinggi pohon tersebut tumbuh maka semakin kencang pula angin yang menerpanya. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa semakin tinggi keimanan seseorang. Maka ujian dan tantangan yang dihadapinya akan semakin besar dan berat.
Makna lebih luas lagi ketika sebuah negara memiliki sumber daya manusia yang cerdas, hebat dan sumber daya alam yang melimpah. Tentu negara tersebutakan menghadapi tantangan-tantangan yang besar dan berat juga.
Maka, tugas kita dari masa ke masa adalah menjadikan kegiatan belajar sebagai bagian dari budaya dan setiap orang harus memiliki rasa candu terhadap belajar. Tugas ini tidak akan berhenti di satu generasi, namun akan terus berlanjut ke generasi-generasi berikutnya.
***
Ketiga, pembudayaan. Nilai-nilai luhur dan akhlak yang tinggi haruslah dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga kebahagiaan bisa dirasakan oleh setiap unsurnya.
Mengimplementasikan apa yang kita dapatkan dari proses belajar tersebut adalah bagian dari membudayakan nilai-nilai keilmuan dan sosial. Sebab setelah ada proses pembelajaran, maka harus ada output yang dihasilkan. Sehingga budaya yang kita hasilkan adalah hasil cipta, karya dan karsa untuk memenuhi taraf hidup menuju kehidupan yang lebih baik.
Kita tidak ingin seperti burung atau hewan lainnya yang dari masa ke masa membuat sarang dengan bentuk seperti itu terus menerus. Apabila rusak atau gagal, tidak ada percobaan perbaikan yang dilakukannya. Sesuatu yang sma terus yang dihasilkannya. Oleh karena itu, kita perlu belajar dan membudayakan hasil dari belajar tersebut.
Mengikuti Syariat Islam
Terakhir, hendaknya budaya-budaya dan karakter-karakter yang diajarkan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari haruslah sesuai dengan syariat Islam. Tak lupa juga menjauhi serta meninggalkan budaya-budaya yang mengantarkan kita semua kepada kesyirikan.
Sebab dosa syirik adalah dosa besar. Karena sejatinya hakikat manusia ingin hidup bahagia, tidak hanya di dunia namun juga di akhirat. Salinglah memberi dan mengambil teladan yang baik dari orang lain. Selamat belajar dan membudayakan hasil belajar!
Editor: Rifqy N.A./Nabhan