Perspektif

Mencari Keadilan Hukum Novel Baswedan

3 Mins read

Tuntutan satu tahun penjara, atas terdakwa penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan, hingga merusak matanya, telah menciderai wajah hukum di Indonesia. Hukum seolah tak kuasa menegakkan keadilan, sungguh mengkahwatirkan jika dibiarkan.

Pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut 1 tahun penjara atas perbuatan terdakwa mengundang respon publik. Respon bermuncul dari berbagai kalangan seperti pengamat, akademisi, KPK, yayasan hukum dan bahkan dari korban yaitu Novel Baswedan.

Keadilan Hukum yang Hilang

Publik mempertanyakan, dimana sesungguhnya wajah keadilan hukum di Indonesia. Idiom “hukum tumpul ke atas, tajam kebawah” seolah telah membudaya. Seolah menegaskan bahwa hukum dapat dipesan oleh mereka yang ‘kuat’ sebagaimana ungkapan Siti Fadilah baru-baru ini “Lembaga hukum kadang-kadang masih dipakai untuk sesuatu kekuatan tertentu.”

Wajar saja publik saat ini merasa curiga, ada kekuatan dibalik lembaga hukum. Sebagaimana yang terlihat saat ini, tentang penuntutan kasus penyiraman atas Novel Baswedan, JPU hanya meminta tuntutan satu tahun penjara. Sebagaimana yang di ungkap oleh Novel kasus perkara ini hanya sebatas ‘formalitas’.

Perjalanan drama panjang mencari keadilan sejak 11 April 2017 (3 tahun) dinilai tak sebanding dengan tuntutan JPU. Akibat serangan subuh oleh dua terdakwa, novel harus kehilangan salah satu mata kirinya. Novel selama ini terkenal sebagai penyidik senior KPK yang menangani kasus-kasus besar dugaan korupsi.

Ini bukan perkara Novel Baswedan, namun perkara menegakkan keadilan dan masa depan Indonesia.  Keadilan harus menjadi sumber kekuatan moral bangsa, bukan kekuatan yang lain. Sebagaimana sila kedua pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukum Indonesia harus mencerminkan humanisme, keadilan dan beradab. Hukum tanpa keadilan, sama saja menjerumuskan bangsa kelembah kehancuran.

Baca Juga  Nostalgia 1998, Akankah Mahasiswa (Kembali) Menang?

Walaupun belum ada putusan hakim, setidaknya penyelesaian kasus novel dapat menjadi pembelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia. Dimana mencari keadilan dinegara berasas hukum ini ternyata masih teramat sulit. Jangan sampai, hukum menjadi tak berwibawa, sebab akan merusak tatanan negara secara terstruktur.

Mengabaikan Norma

Kasus Novel memberi pertanda bahwa penegakan hukum di Indonesia sulit mencari keadilan. Berikut ini, beberapa hal yang dinilai tidak memberikan unsur keadilan dalam penyelesain kasus Novel Baswedan. Meminjam bahasa dari Bapak Novel Baswedan, hukum yang compang-camping, asal-asalan, mengabaikan norma.

Pertama, menciderai kemanusiaan. Kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel baswedan adalah bentuk pertanda mengabaikan kemanusiaan. Pelaku sebagai anggota kepolisian republik Indonesia, tentu memahami dan paham akibat hukum atas perbuatannya. Menyiram air keras merupakkan bentuk teror yang menimbulkan ketidakamanan dan kenyamanan. Kekerasan sangat mengganggu ketertiban, dan tentu ini melanggar nilai kemanusiaan. Novel harus kehilangan penglihatan dari mata kirinya akibat penyiraman air keras oleh pelaku ke wajah Novel.

Kedua, merusak logika dan nalar. Tuntutan yang dibacakan oleh JPU telah merusak logika dan nalar. Perbuatan penganiayaan hingga menciderai korban secara permanen namun hanya dituntut dengam satu tahun penjara. Korban harusnya mendapatkan hukuman yang berat sebagai bentuk rasa keadilan. Jika tuntutan ini dikabulkan, tentu akan merusak tatanan kehidupan. Orang dengan mudah melakukan aksi kekerasan dengan dalih tidak sengaja dan dituntut satu tahun penjara.

Bagaimana mungkin dalih kooperatif, perbuatan tidak sengaja, dan berlaku sopan menjadi dalih meringankan tuntutan. Padahal menurut pasal, seharusnya minimal 12 tahun penjara, sebagaimana kasus penyiraman air keras pada pemandu dangdut di mojokerto 2017 lalu. Jika demikian, tentu dikahwatirkan akan muncul beragam aksi yang sama, sebagai bentuk perlawanan terhadap pegiat anti korupsi. Sungguh sangat membahayakan jika demikian.

Baca Juga  Selain Kesalehan Ritual dan Sosial, Kesalehan Digital Juga Tak Boleh Terlupakan

Ketiga, hilangnya moral penegak hukum. Menurut Artidjo diatas hukum itu ada yang tertinggi yaitu moral. Moral ini adalah kata hati yangvtulus dan murni serta jernih, sehingga segala perkara putusan yang terbukti bersalah dan dalam kasus berat seharusnya diberlakukan vonis berat pula. JPU seolah kehilangan nurani, sehingga mata batinnya dan rasa kemanusiaannya tumpul, membuat tuntutan tak mengandung unsur keadilan.

Keempat, keadilan tak bekerja. Pada akhirnya, tuntutan satu tahun penjara untuk pelaku mengabaikan fakta dan menimbulkan ketidakadilan dalam penegakan hukum. Mencari keadilan menjadi amat sulit, karena hukum tidak berdaulat, hukum tidak bergerak sebagaimana mestinya. Bahkan ada kekuatan lain dibalik penegakan hukum, tentu sangat ironis.

Akibat Kasus Novel Baswedan

Berulang kali presiden menyampaikan akan memerangi korupsi dan tidak memberi ampun kepada siapa saja yang berani berbuat korup di lembaga pemerintahan. Bentuk penyerangan terhadap novel, menjadi pertanda institusi negara merasa terganggu dwngan aksi-aksi yang dilakukam KPK selama ini.

Jika benar hakim memutuskan putusan sesuai dengan JPU tentu ini akan menciderai komitmen pak Jokowi dalam upaya memberantas korupsi dan juga tentunya tentang rasa kemanusiaan. Sebab dari awal Presiden memerintahkan kepada polri untuk mempercepat kasus dengan meminta membentuk tim mengusut tuntas kasus penyerangan Novel Baswedan.

Institusi polri yang telah diciderai oleh pelaku, menjadikan institusi ini kehilangan kepercayaan dari masyarakat, sebagai pengayom, pelindung masyarakat. Pemecatan tidak berbanding dengan apa yang dilakukan oleh pelaku. Apalagi hanya sekadar mendapatkan tuntutan satu tahun penjara. Tuntutan JPU telah merendahkan institusi polri sebagai bagian dari penegakan hukum.

Kasus Novel Baswedan harus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, bahwa hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, para aparat penegak hukum harus bermoral dan berintegritas. Begitu juga bahwa, kasus penyerangan ini menandakan ada pihak-pihak yang merasa terganggu oleh agenda oemberantasan korupsi.

Baca Juga  Mempertahankan Benteng Terakhir dari Serangan Covid19

Tuntutan satu tahun penjara bagi pelaku penyiraman air keras kepada novel mengandung kejanggalan, tak masuk akal, menciderai moral dan kemanusiaan. Hakim harus menimbang dengan hati nurani, bahwa tuntutan harus adil dengan hukuman yang setimpal.

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *