Di berbagai media, hampir setiap hari kita melihat para tokoh mencomot secuil data dan fakta dari penelitian ilmiah untuk membenarkan keyakinan maupun kepentingan mereka. Baik untuk keyakinan religus, kepentingan politik , ekonomi. dan lain-lain. Padahal, itu sangatlah berbahaya. Hal tersebut bukan saja akan merusak nalar kita sebagai manusia, tapi juga menghancurkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sayangnya, itu yang kerap kali kita saksikan di Indonesia.
Metode
Ilmu pengetahuan adalah upaya manusia untuk memahami alam, sehingga ia bisa meramalkan apa yang akan terjadi dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Sumbangan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia tidak dapat diragukan lagi. Kita menikmatinya setiap hari, mulai dari kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain-lain.
Melihat hal itu, kita sering bertanya, apa yang membuat ilmu pengetahuan begitu istimewa sehingga ia sangat mudah dipercaya oleh banyak orang di berbagai belahan dunia?
Hal terpenting dari ilmu pengetahuan adalah metode penelitian ilmiah. Inti dari metode penelitian ilmiah adalah upaya sistematik dan berkelanjutan untuk menemukan obyektivitas, yakni kebenaran yang bisa diakui lepas dari keyakinan pribadi ataupun pandangan pribadi dari orang yang menyatakannya.
Pola berpikir semacam itu lahir dari semangat filsafat modern yang berkembang di Eropa. Tokohnya yang ternama adalah Francis Bacon. Ia menegaskan, bahwa semua pemahaman kita haruslah diuji dalam eksperimen, sehingga tingkat kebenarannya bisa dipastikan.
Hasil dari eksperimen tersebut harus juga bisa diuji oleh orang-orang lainnya dari ranah keilmuan yang sama. Jika banyak dari peneliti bisa menguji hasil dari eksperimen tersebut, dan sampai pada hasil yang sama, maka pandangan tersebut bisa dianggap sebagai pandangan obyektif.
Pola semacam itu, membawa hasil yang sangat luar biasa. Komunitas para ilmuwan menjadi semacam komunitas yang mengontrol dirinya sendiri. Memang, kerap kali terjadi perdebatan keras di antara para ilmuwan. Penyebabnya adalah karna data dan fakta yang sama sering dibaca dan dimengerti dengan cara yang berbeda. Tapi dari perdebatan semacam itulah penemuan yang berguna bisa lahir.
Penemuan tersebut kerap kali begitu mengguncang, karena menawarkan sudut pandang baru yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Obyektivitas
Ilmu pengetahuan mencoba mengungkap kebenaran yang bersifat obyektif, yakni bisa dibuktikan melalui eksperimen oleh orang lain. Kebenaran semacam ini tidak tergantung pada kekuasaan apapun. Siapapun bisa melihat dan menyatakannya, dan tetap diakui sebagai benar.
Hanya ada sedikit kebenaran ”obyektif” di alam ini yang telah ditemukan oleh ilmu pengetahuan, misalnya bahwa matahari itu panas, bumi itu tidak datar, dan bahwa manusia itu terdiri dari komponen DNA. Pernyataan-pernyataan kebenaran lainnya masih terbuka untuk dialog dan diskusi lebih jauh.
Kebenaran obyektif tentu berbeda dengan kebenaran subyektif, yakni kebenaran yang kita yakini secara pribadi seturut dengan latar belakang kita.
Kita tidak bisa membuat orang lain memiliki keyakinan yang sama dengan kita. Kita hanya bisa memaksanya, kerap kali dengan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan mental.
Keyakinan imani di dalam agama adalah salah satu bentuk kebenaran subyektif. Kamu bisa tidak setuju dengan aborsi. Namun, kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk juga tidak setuju dengan aborsi. Tidak ada orang yang akan memaksamu untuk aborsi. Namun, jika kamu membuat hukum untuk melarang aborsi, maka kamu memaksakan kebenaran subyektifmu pada orang lain. Ini adalah kekerasan, atau totalitarianisme di dalam politik.
Ilmu pengetahuan juga berkembang pesat, karena orang berani berbicara dan berpikir berbeda. Orang menolak untuk tunduk dan patuh pada kebenaran yang telah dipercaya secara umum, baik oleh budaya maupun tradisi. Diskusi dan dialog pun terjadi, sehingga penemuan-penemuan baru yang berguna bisa muncul. Orang hidup di dalam kebebasan berpikir dan berpendapat yang mendorong peradaban manusia untuk maju ke depan.
Untuk Indonesia
Harus kita akui bahwa iklim ilmiah belum berkembang di Indonesia. Banyak orang masih malas berpikir kritis dan melakukan eksperimen untuk membuktikan pendapatnya. Orang lebih percaya pada gosip dan hoaks, daripada nalar yang kritis dan tercerahkan.
Kita juga belum bisa membedakan antara kebenaran subyektif dan kebenaran obyektif. Kita mencampurkan keduanya. Akibatnya, kita memaksa orang untuk sejalan dengan keyakinan pribadi kita. Kita akhirnya menjadi bangsa yang totaliter, terutama terhadap orang-orang yang memiliki sudut pandang berbeda. Saat melihat kekacauan, kita cenderung memilih diam, tunduk, dan patuh.
Kita belum berani merumuskan pemikiran dan berpendapat secara mandiri. Kita lebih senang tidak berpikir, dan menyandarkan diri pada pandangan-pandangan lama yang berpijak pada budaya, tradisi, dan pandangan para tokoh yang sesat. Alhasil, kita masih menjadi bangsa terbelakang hampir di semua bidang.
Kita juga seringkali menggunakan argumen-argumen ilmiah untuk membenarkan kepentingan politik, religius maupun ekonomi kita. Partai politik mengobarkan sentimen agama untuk meraih dukungan semu. Perusahaan membawa label-label agama untuk menipu konsumen. Para agamawan berkoar soal kesucian untuk mengisi kantong pribadi dengan setumpuk uang.
Hal-hal tersebut tentu harus kita hentikan. Sebab jika dibiarkan maka orang akan hidup dalam suasanan tertekan, karena tak mampu berpikir dan berpendapat sejalan dengan nuraninya.
Melihat berbagai hal diatas, sepertinya kita perlu mengakui bahwa Indonesia tidak hanya masih kurang berinvestasi di dalam penelitian ilmiah, tetapi juga di dalam pembentukan budaya dan mental ilmiah.
Percuma kita punya peralatan canggih dan gedung bagus, tapi kita masih hidup dalam budaya ketakutan, dan patuh buta pada pandangan-pandangan lama. Sebaliknya, gubuk sederhana akan menjadi laboratorium yang sempurna, jika diisi dengan orang-orang yang terbuka, kritis, analitis dan berani menantang pandangan-pandangan lama.