Ada yang unik dari bangunan rumah orang Minangkabau yang sepintas bagian atapnya menyerupai tanduk, tepatnya tanduk kerbau. Dalam legenda masyarakat setempat, tanduk kerbau memang berhubungan dengan asal-usul suku bangsa ini. Legenda “adu kerbau” sangat populer di kalangan orang Minangkabau yang dapat menjelaskan asal-usul nenek moyang meraka.
Legenda Adu Kerbau
Dalam sebuah legenda yang diyakini oleh masyarakat Minangkabau, pada zaman dahulu (diperkirakan sekitar abad ke-13), seorang utusan dari tanah Jawa pernah menyerang kerajaan Melayu dan meminta pengakuan atas kekuasaannya di sana (Lihat ”Suku Minangkabau” Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Pada waktu itu, masyarakat setempat belum menggunakan nama Minangkabau sebagai identitas kultural. Mereka masih menyebut diri sebagai “bangsa Melayu” (Isjoni, Orang Melayu di Zaman yang Berubah, hlm. 21).
Konon, orang-orang Minangkabau pada waktu itu merasa yakin jika peperangan tersebut tidak dapat dimenangkan. Pada akhirnya, mereka menempuh jalur diplomatis. Kepada utusan dari tanah Jawa ditawarkan supaya “adu kerbau” yang menurut adat Minangkabau, adu kerbau sama dengan “adu kehormatan.”
Mendengar tantangan semacam ini, utusan dari tanah Jawa menganggap enteng. Dia menganggap remeh tantangan ini. Lantas, utusan dari Jawa menyediakan seekor kerbau gemuk nan ganas yang didatangkan dari tanah asalnya. Sementara masyarakat setempat hanya mampu menyediakan seekor anak kerbau yang kelaparan. Konon sudah dua hari anak kerbau itu tidak menyusu kepada induknya. Tetapi tanduk anak kerbau sudah diruncingkan terlebih dahulu.
Sewaktu dilepas, anak kerbau langsung lari menghampiri kerbau gemuk itu sambil menyeruduk. Mungkin kerbau gemuk itu dikira induknya. Anak kerbau yang dua hari belum menyusu itu menyeruduk bermaksud hendak menyusu. Tetapi karena tanduknya sudah diruncingkan, justru perut kerbau gemuk nan ganas milik utusan dari tanah Jawa malah koyak bersimbah darah. Kerbau gemuk nan ganas itu pun lari kalah.
“Jadi perang tak berakhir juga. Jadi, kami usulkan untuk adu saja kerbau,” kata Datuk Bandoro Panjang. “Oleh pihak penyerang dicarilah kerbau yang terbesar di daerahnya ditempatkan di tengah ladang. Orang sini hanya anak kerbau yang sedang menyusu. Karena kerbau yang sudah dua hari tak minus susu, dia lari mengejar susu ibunya. Jadi, perut kerbau besar itu robek dan dia lari,” demikian kisah pemuka adat Minang ini (Lihat “Adu Kerbau Adu Kehormatan” www.solok-selatan.com., 23 Juli 2005).
Lewat legenda adu kerbau ini, orang-orang Minangkabau menang melawan utusan dari tanah Jawa. Konon, dari legenda inilah kemudian dikenal kata “Minangkabau.” Berasal dari dua kata: “minang” (menang) dan “kabau” (kerbau). Minangkabau berarti “kerbau menang” atau “kemenangan sang kerbau.”
Perlu diketahui, ini hanya sebuah legenda. Bisa benar dan bisa juga keliru. Kalaupun benar, maka itu hanya suatu kebetulan saja. Kalaupun keliru, maka itu wajar sekali. Namanya saja legenda atau cerita rakyat.
Rumah Gadang dan Tanduk Kerbau
Sekalipun kisah dalam legenda ini tidak dapat menjadi bukti sejarah yang kuat untuk mengungkap asal-usul nama Minangkabau, namun dalam tradisi masyarakat setempat dikenal pola Rumah Gadang (Bogonjong) dan pakaian Tanduak Kabau (Tanduk Kerbau).
Rumah Gadang adalah milik masyarakat adat Minangkabau. Ada yang unik dari pola rumah ini. Di bagian atapnya tampak menyerupai bentuk tanduk. Tepatnya, bentuk tanduk kerbau yang dibuat meruncing ke atas.
Begitu juga pakaian khas perempuan Minangkabau, Baju Tanduak Kabau. Pakaian khas ini dilengkapi dengan semacam topi yang polanya membentuk tanduk kerbau. Namanya saja Tanduak Kabau (Tanduk Kerbau).
Pola Rumah Gadang atau Rumah Bogonjong dan baju Tanduak Kabau yang mirip tanduk kerbau seakan-akan sedang membenarkan kisah dalam legenda masyarakat Minangkabau ini. Peninggalan budaya leluhur berupa pola Rumah Gadang dan baju Tanduak Kabau merupakan bukti-bukti peninggalan sejarah yang paling otentik untuk mengungkap asal-usul nama Minangkabau.
Sampai saat ini, masyarakat Minangkabau masih melestarikan tradisi adu kerbau yang merupakan simbol “adu kehormatan.” Jika masyarakat setempat menggelar pentas adu kerbau, puluhan warga memadati arena pertandingan. Di tengah lapangan terlihat dua ekor kerbau kekar saling berhadapan. Kerbau yang memenangkan pertandingan ini ditetapkan sebagai sang juara.
Bagi pemilik kerbau yang memenangkan pertandingan ini, namanya bakal terkenal. Seiring dengan naiknya popularitas sang kerbau, nama pemiliknya juga turut menikmati popularitas ini. Kerbau tersebut menjadi simbol prestise bagi keluarga. Barangkali secara ekonomis nilai jual kerbau sang juara ini bakal naik menjadi mahal.
Bangsa Melayu
Dalam mengkaji sejarah Minangkabau, para sejarawan memang tidak bisa mengabaikan begitu saja legenda-legenda masyarakat setempat. Memaksakan diri mengkaji sejarah Minangkabau berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan modern yang positivistik (empiris dan rasional) akan menjadi terasa sia-sia. Sebab, suku Minangkabau punya tipe pola pikir tersendiri. Mereka juga memiliki pola tradisi tersendiri.
Pola pikir bangsa Melayu cenderung mistik. Mereka menempatkan norma-norma adat peninggalan leluhur secara sakral. Nenek moyang bangsa Melayu adalah bangsa Proto-Melayu dan Deutero-Melayu yang bermigrasi dari kawasan Vietnam utara atau Tiangkok selatan. Gelombang migrasi bangsa Proto-Melayu pada Zaman Neolitikum (Zaman Batu), sementara bangsa Deutero-Melayu pada Zaman Perunggu.
Penelitian Steven Olson (2004) bisa membantu dalam memahami proses migrasi bangsa-bangsa terdahulu dalam menjelajahi berbagai kawasan di dunia. Salah satu di antaranya ialah gelombang migrasi secara besar-besaran pada sekitar 40.000 tahun yang silam, ketika manusia-manusia modern mendiami kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina). Diperkirakan, pada era inilah nenek moyang orang-orang Melayu masuk ke kawasan Asia Tenggara.
Bangsa-bangsa terdahulu melakukan migrasi secara besar-besaran dalam rangka bertahan hidup. Inilah salah satu peninggalan bangsa-bangsa terdahulu yang tetap dilestarikan hingga saat ini. Peninggalan leluhur ini kemudian dilestarikan dengan baik oleh orang-orang Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Isjoni (2007: 15-21), bangsa Melayu sudah dikenal dalam catatan Kerajaan China yang menyebut istilah “Moleyoe.” Catatan ini berdasarkan perjalanan biksu I Tsing yang pernah mengunjungi tanah Melayu sampai dua kali, yaitu tahun 671 M dan 685 M. Sekalipun biksu I Tsing tidak menyebutkan secara eksplisit di mana letak tanah Melayu, tetapi penemuan sumber sejarah ini tidaklah sia-sia. Setidak-tidaknya, lewat catatan pelancong asal China ini sudah dapat ditemukan gambaran awal tentang keberadaan orang-orang Melayu.
Dalam catatan Tome Pires, konon dibuat antara tahun 1512-1515, disebutkan bahwa “Melayu” adalah nama sebuah daerah. Menurut informasi berdasarkan catatan Tome Pires ini, tanah Melayu berada di bagian selatan Palembang. Informasi Tome Pires diperkuat lewat catatan seorang pegawai Portugis yang menyebutkan bahwa tanah Melayu tidak jauh dari Palembang. Menurutnya, nenek moyang pendiri Malaka (Parameswara) berasal dari tanah Melayu ini.
Kajian tentang sejarah melayu terus menemukan informasi-informasi baru. Pada abad ke-17 dan puncaknya abad ke-19, nama Melayu sudah digunakan untuk menyebut rumpun bahasa Melayu (Melayu Austronesia) dan ras manusia. Bangsa Melayu terdiri dari kelompok ras Palaeo Melanesoid, Deutero Melanesoid, dan Melayu. Khusus untuk kategori ras Melayu meliputi berbagai sub ras, seperti Melayu Semenanjung, Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Minangkabau, Melayu Jambi, Melayu Palembang, Melayu Kalimantan, dan sebagainya.
Menurut budayawan WS. Rendra (2001: 3-4), nenek moyang bangsa Melayu sudah memiliki kebudayaan yang mapan. Misalnya, karakteristik bangsa Proto-Melayu punya hukum adat yang sakral. Sebelum mereka mengenal tulisan, hukum adat diwariskan secara turun-temurun lewat tradisi lisan.
Dalam struktur sosial mereka dikenal pemangku adat dan raja. Mereka juga punya pawang yang membacakan mantra-mantra. Adapun bangsa Deutero-Melayu memiliki tradisi meditasi. Kadang mereka juga minta pertolongan kepada para pawang dalam mencari solusi untuk mengatasi berbagai persoalan hidup. Peran pawang inilah, menurut WS. Rendra, di kemudian hari menjadi pujangga atau sastrawan.
Dalam hal kepercayaan, baik bangsa Proto-Melayu maupun Deutero-Melayu, memiliki kesamaan dalam hal pandangan hidup. Sejak dahulu, mereka sudah mengenal konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, di samping kepercayaan terhadap hal-hal yang bernuansa mistis (animisme, dinamisme). Dengan demikian, bangsa Melayu tergolong bangsa yang religius (Lihat ”Budaya Melayu”, khususnya pada konsep ”Tentang Tuhan (Pencipta)” dalam www.melayuonline.com).
Hingga saat ini, bangsa Melayu masih melestarikan tradisi peninggalan leluhur. Salah satu sub-ras Melayu adalah suku Minangkabau. Karena memiliki latarbelakang sejarah yang sama, maka karakteristik suku Minangkabau tidak jauh berbeda dengan bangsa Melayu. (Bersambung)
Editor: Yahya