Orang-orang Minangkabau yang merupakan sub-ras bangsa Melayu, memiliki kehalusan dalam hal budi bahasa. Mereka mewariskan tradisi Melayu dalam melestarikan hukum adat. Suku Minangkabau mendokumentasikan sejarah dan hukum adat lewat kehalusan budi bahasa dalam bentuk pantun-pantun atau puisi-puisi. Bagi sebagian kalangan peneliti sastra, karya-karya adat Melayu bernilai sastra tinggi di samping bernuansa magis.
Tradisi-tradisi peninggalan nenek moyang suku Minangkabau memang banyak yang mengandung unsur magis. Pantun dan puisi menjadi media paling efektif untuk mendokumentasikan sejarah dan norma-norma adat peninggalan leluhur. Siapa saja yang meneliti sejarah Minangkabau harus mengkaji cerita-cerita dalam tambo (lihat Fadlillah, “Dekonstruksi Tambo Minangkabau” dalam www.unand.ac.id., 13 Januari 2006).
Budaya Tambo
Tambo adalah cerita rakyat Minangkabau. Dalam tradisi masyarakat setempat, kedudukan tambo dapat disejajarkan dengan kosmogoni, yang menggambarkan tentang asal-usul nenek moyang, uraian tentang adat, dan norma-norma sosial. Darinya, masyarakat Minangkabau mempelajari sejarah dan norma-norma adat peninggalan para leluhur.
Bagaimanakah cara masyarakat Minangkabau mewariskan tambo?
Menurut Sjafnir Aboe Nain Kando Marajo (2008: 15), pada mulanya tambo disampaikan secara lisan. Budaya peninggalan leluhur ini diwariskan dari generasi ke generasi menggunakan bahasa Minangkabau. Bahasa Minangkabau serumpun dengan bahasa Melayu, tetapi bentuk pengujarannya sediki berbeda. Sebagai contoh perbedaan bentuk pengucapan dalam bahasa Melayu dan Minangkabau, kata “rumput” (Melayu) diucapkan “rumpuik” (Minang).
Setelah kedatangan kolonial Belanda di Minangkabau (1823), tambo ditulis dengan bahasa Arab Melayu dengan judul “Undang-undang Minangkabau.”
Bagi sebagian peneliti sejarah, tambo merupakan sumber data sejarah yang unik. Menurut Silfia Hanani (2004), tambo merupakan sumber data sejarah yang bisa menjelaskan proses penyebaran penduduk Minangkabau.
Karakter tambo unik dan agak mengandung unsur magis. Tambo merupakan kumpulan cerita (carito) sejarah Minangkabau yang ditulis dalam bentuk sebuah kitab. Tambo inilah yang menjadi dokumen adat secara baku bagi masyarakat Minangkabau.
Kaum Padri Menghilangkan Sumber Sejarah
Selain lewat tambo, sejarah Minangkabau dapat dilacak lewat beberapa patung dan prasasti peninggalan zaman raja-raja Pagarruyung. Namun, sejak masa gerakan Padri (akhir abad ke-18), keberadaan bukti-bukti peninggalan bersejarah di Minangkabau banyak yang dimusnahkan. Hanya tinggal sedikit bukti-bukti bersejarah yang tersisa dan hingga kini masih dilestarikan dengan baik (Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, hlm. 21).
Kaum Padri memang yang paling bertanggung jawab atas hilangnya sumber-sumber sejarah Minangkabau, terutama dalam bentuk prasasti dan patung-patung peninggalan Kerajaan Pagarruyung. Mereka dikenal kurang toleran terhadap budaya lokal. Sebab mereka adalah penganut Wahhabi, sebuah aliran pemikiran Islam yang radikal di Arab Saudi (Buya Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, hlm. 201).
Menurut pandangan mereka, keberadaan patung-patung atau tempat-tempat pemujaan sisa-sisa peninggalan agama Hindu di Minangkabau tidak bisa ditolerir. Dengan landasan kemurnian akidah agama (Islam), mereka sengaja melakukan pemusnahan terhadap patung-patung yang dianggap sebagai jalan yang bakal menjerumuskan kepada kemusyrikan. (Bersambung)
Editor: Yahya