Suku Minangkabau adalah salah satu dari ratusan suku bangsa di Indonesia. Mereka berasal dari propinsi Sumatra Barat. Di propinsi yang terletak di bagian barat tengah Pulau Sumatra ini, suku Minangkabau merupakan etnik mayoritas selain Batak Mandailing dan Mentawai.
Suku Minangkabau merupakan keturunan bangsa Deutero-Melayu (Melayu Muda). Bangsa Deutero-Melayu berasal dari Vietnam Utara atau Tiongkok Selatan. Mereka bermigrasi secara besar-besaran pada Zaman Perunggu. Bangsa Deutero-Melayu merupakan generasi kedua setelah bangsa Proto-Melayu yang bermigrasi ke kawasan Asia Tenggara pada Zaman Batu (Neolitikum).
Suku Minangkabau tergolong sub ras Melayu. Mereka serumpun dengan orang-orang Melayu di Semenanjung (Malaysia), Deli, Riau, Jambi, Palembang, Kalimantan, dan lain-lain. Secara etnik, mereka telah disatukan lewat silsilah nenek moyang yang sama. Bahasa mereka juga serumpun (Isjoni, 2007: 21).
Bahasa dan Ragam Dialek
Bahasa Minangkabau memang berbeda dengan bahasa Melayu, tetapi dalam berbagai segi tampak identik. Kedekatan hubungan antara bahasa Minang dengan bahasa Melayu sewaktu kita mendengar urang awak mengucapkan kata “rumpuik.” Dalam bahasa Melayu, “rumpuik” diucapkan dengan kata “rumput.” Contoh ini menunjukkan betapa dekat hubungan antara kedua bentuk bahasa ini.
Setiap kebudayaan selalu menempati ruang dan waktu. Karena itu, kebudayaan selalu dinamis. Begitupun bahasa, ia selalu berkembang. Termasuk bahasa Minangkabau (baso urang awak) berkembang berdasarkan dialek yang berbeda-beda. Anda jangan pernah mengira jika dialek bahasa Minangkabau seragam.
Sekalipun urang awak selalu terikat dalam tradisi dan struktur alam Minangkabau, tetapi dialek bahasa di sebuah nagari berbeda dengan nagari lain. Beberapa model dialek Minangkabau sebagai berikut: dialek Mandailing Kuti Anyie, Padang Panjang, Pariaman, Ludai, Sungai Batang, Kurai, dan Kuranji.
Baso Urang Awak
Sekalipun banyak dialek dalam bahasa Minangkabau, tetapi terdapat satu dialek yang dianggap sebagai bahasa baku, yaitu dialek Padang. Dialek ini dikenal dengan Baso Padang atau Baso Urang Awak.
Baso urang awak serumpun dengan bahasa Melayu. Yaitu, bahasa yang biasa dipakai oleh orang-orang Malaysia, Deli, Riau, Jambi, Palembang, dan Kalimantan. Bahkan, bahasa Indonesia yang dipakai saat ini termasuk dalam kategori bahasa Melayu.
Menurut Isjoni (2007), sejarah pembentukan bahasa nasional Indonesia berawal dari bahasa Melayu yang ditambah dengan bahasa-bahasa lain di daerah-daerah. Tetapi dalam kenyataannya, sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1945), proses pengayaan bahasa Indonesia tidak banyak menyerap unsur-unsur dalam bahasa Melayu.
Bahasa dan Politik Nasional
Kepentingan politik atau kebijakan nasional RI sejak tahun 1960-an menyebabkan bahasa Indonesia lebih banyak menyerap bahasa-bahasa lain di luar bahasa Melayu. Apalagi ketika Malaysia menyatakan merdeka. Kebijakan politik Soekarno yang amat terkenal, “ganyang Malaysia”, menyebabkan peran bahasa Melayu tidak begitu signifikan dalam proses pengayaan bahasa Indonesia.
Memasuki era rezim Orde Baru, bahasa Indonesia sudah makin jauh dari induknya. Kepemimpinan Soeharto adalah representasi dari kemenangan budaya Jawa. Secara otomatis, kosa kata dalam bahasa Jawa banyak yang diserap ke dalam bahasa nasional Indonesia.
Orang-orang Melayu di Malaysia, Deli, Riau, Jambi, Palembang, dan Kalimantan memiliki bahasa yang serumpun, yakni bahasa Melayu. Mereka tidak akan kesulitan jika saling berinteraksi, sekalipun menggunakan bahasa masing-masing. Walaupun sudah sedikit berubah dengan dialek yang berbeda-beda, pada dasarnya bahasa mereka serumpun.
Sistem Kekerabatan
Masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan yang dirunut berdasarkan garis sang ibu (matrilinial). Terus terang, sistem kekerabatan semacam ini kelihatan unik dan langka. Sistem kekerabatan yang berlaku di Indonesia pada umumnya dirunut berdasarkan garis sang ayah (patrilinial). Sementara sistem kekerabatan yang dianut oleh suku Minangkabau justru sebaliknya.
Masyarakat Minangkabau berbasis klan (menurut masyarakat setempat disebut suku). Beberapa suku di Minangkabau seperti, suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak, dan lain-lain.
Konon, beberapa keluarga dari suku yang sama tinggal dalam satu rumah yang disebut Rumah Radang (Rumah Bogonjong). Suku-suku di Minangkabau terus berkembang hingga saat ini.
Sistem Pemerintahan
Struktur pemerintahan di kawasan darek cukup unik. Kawasan darek yang terdiri atas tiga luhak, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota memiliki struktur politik yang cukup populer dalam teori pemerintahan modern. Peran luhak menjadi semacam “federasi” bagi nagari-nagari di Alam Minangkabau. Luhak dipimpin oleh penghulu. Sedang raja Minangkabau sebatas simbol pemersatu (lihat Sjafri Sairin, ”Demokrasi dalam Perspektif Kebudayaan Minangkabau” dalam www.melayuonline.com., 28 April 2008).
Kekuasaan politik di kawasan Luhak berada di tangan para penghulu. Sedangkan raja berperan sebagai simbol pemersatu. Raja baru mendapatkan kekuasaannya di kawasan rantau.
Kawasan luhak dipegang oleh para penghulu. Luhak terdiri atas nagari-nagari sebagai unit pemerintahan otonom. Nagari merupakan bentuk pemerintahan terkecil dalam sistem adat Minangkabau. Menurut Sjafri Sairin (2008), luhak merupakan “federasi” yang bersifat aspiratif dan konsultatif dari pemerintahan nagari. Adapun nagari-nagari memiliki otoritas untuk mengurus diri sendiri.
Warisan Imam Bonjol
Setelah agama Islam masuk ke ranah Minangkabau, sistem pemerintahan nagari-nagari melibatkan tiga kekuatan politik: ulama, umara, dan cerdik pandai (intelektual). Menurut Silfia Hanani (2004), sistem pemerintahan semacam ini dikenal dengan tripartit yang terintegrasikan antara kelompok ulama, umara, dan cerdik pandai dalam musyawarah untuk mencapai kata mufakat.
Sedangkan menurut Sjafnir Aboe Nain Kando Marajo (2008), sistem tripartit merupakan keberhasilan Tuanku Imam Bonjol yang berusaha mensinergikan ajaran Islam dengan budaya Minangkabau. Sistem kepemimpinan yang melibatkan agamawan, pemimpin politik, dan cadiak pandai disebut Tungku Tigo Sajarangan atau Tali Tigo Sapilin.
Keberhasilan Tuanku Imam Bonjol dalam membentuk negara Islam bersendi agama di Bonjol (akhir abad ke-18) melahirkan wajah budaya baru bagi suku ini. Sekalipun menganut sistem budaya matrilinial, orang-orang Minangkabau adalah pemeluk agama Islam yang kuat. Pandangan hidup, “Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”, merupakan warisan dakwah Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau. (Bersambung)
Editor: Yahya