Ranah Minangkabau kaya dengan sumber daya alam. Misalnya di Pasaman. Di pinggiran sungai Muar dan Langsek merupakan pusat tambang emas yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat. Emas merupakan salah satu sumber daya alam yang turut menopang perekonomian masyarakat Minangkabau. Jika emas menjadi sumber daya alam yang dimiliki orang-orang Rantau, maka kawasan pedalaman (darek) merupakan penghasil lada dan kopi.
Lewat jalur perdagangan, penduduk pedalaman berinteraksi dengan orang-orang rantau, bahkan dengan para pedagang dari berbagai negara. Seperti pedagang dari Tamil (India Selatan) dan Gujarat. Menurut keterangan H. Agus Salim, pada abad 7-8 M, orang-orang Sumatra dan Jawa sudah terlibat aktif dalam perniagaan di Kanton (Tiongkok), sebuah pusat perdagangan yang dimonopoli oleh orang-orang Islam (Burhanuddin Daya, 1995: 35).
Proses interaksi masyarakat Minangkabau tidak hanya dalam bentuk perdagangan, tetapi lebih jauh berkaitan dengan aspek adat-istiadat. Sebab, orang-orang darek dan rantau diikat dalam kesatuan geografis, sosiologis, dan kultural. Dengan demikian, adat-istiadat masyarakat setempat dapat dilestarikan secara turun-temurun dalam kesatuan Alam Minangkabau.
Jalur Perdagangan
Memasuki abad ke-14 M, Rantau Pesisir memegang peran penting dalam sistem perdagangan emas. Kota Barus, Tiku, Pariaman, dan Bayang merupakan pelabuhan pengekspor lada dan emas yang dikenal di kalangan pedagang Asia Barat. Kota-kota pantai inilah menjadi pelabuhan transit membawa komoditas dagang menuju ke pulau Jawa.
Sementara Selat Malaka menjadi pusat pelabuhan internasional yang turut mempengaruhi kemajuan kawasan Minangkabau. Para pedagang muslim dari Persia, Tamil (India Selatan), dan Gujarat meramaikan sistem perdagangan rempah-rempah dan emas di kawasan ini.
Sampai memasuki tahun 1511, Minangkabau menjadi incaran bagi kolonial Portugis (Rusli Amran, hlm. 77-78). Di kawasan pedalaman, terutama di Kamang dan Tanjung (Luhak Agam), merupakan penghasil lada terbesar di Nusantara sejak abad ke-17 M. Sementara komoditas kopi telah menggeser emas dan lada di kawasan pedalaman.
Penyebaran Budaya Minang
Seiring dengan kemajuan sistem perdagangan, baik di pedalaman (darek) maupun di pesisir (rantau), kebudayaan Minangkabau terus menyebar. Komoditas emas, lada, dan kopi mulai merambah ke kawasan lain, seperti di Riau, Jambi, Bengkulu, Jawa, Maluku, Sulawesi Tengah, dan lain-lain (lihat Gamawan Fauzi, “Budaya Merantau Orang Minang.” Posmetro Padang, 11-12 Oktober 2008).
Proses penyebaran budaya Minangkabau juga bisa terjadi ketika beberapa kelompok sosial kalah bersaing secara politik dengan kelompok lain. Kemunculan gerakan Padri (akhir abad ke-18) yang secara politik berseberangan dengan kelompok adat turut mendukung proses penyebaran budaya Minang.
Peran Tuanku Tambusai (Hamka, 2008: 228), sambil menyebarkan agama Islam, beliau turut memperkenalkan budaya Minang di Dalu-dalu. Atau peran Tuanku Rao yang menyebarkan agama Islam di Rao dan Mandailing sambil tetap berpegang teguh pada adat-istiadat Minangkabau. Dengan cara demikian, budaya Minangkabau menyebar ke kawasan-kawasan lain. (Bersambung)
Editor: Yahya