Feature

Budaya Melayu (6): Komoditas Perdagangan dan Penyebaran Budaya Minangkabau

2 Mins read

Ranah Minangkabau kaya dengan sumber daya alam. Misalnya di Pasaman. Di pinggiran sungai Muar dan Langsek merupakan pusat tambang emas yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat. Emas merupakan salah satu sumber daya alam yang turut menopang perekonomian masyarakat Minangkabau. Jika emas menjadi sumber daya alam yang dimiliki orang-orang Rantau, maka kawasan pedalaman (darek) merupakan penghasil lada dan kopi.

Lewat jalur perdagangan, penduduk pedalaman berinteraksi dengan orang-orang rantau, bahkan dengan para pedagang dari berbagai negara. Seperti pedagang dari Tamil (India Selatan) dan Gujarat. Menurut keterangan H. Agus Salim, pada abad 7-8 M, orang-orang Sumatra dan Jawa sudah terlibat aktif dalam perniagaan di Kanton (Tiongkok), sebuah pusat perdagangan yang dimonopoli oleh orang-orang Islam (Burhanuddin Daya, 1995: 35). 

Proses interaksi masyarakat Minangkabau tidak hanya dalam bentuk perdagangan, tetapi lebih jauh berkaitan dengan aspek adat-istiadat. Sebab, orang-orang darek dan rantau diikat dalam kesatuan geografis, sosiologis, dan kultural. Dengan demikian, adat-istiadat masyarakat setempat dapat dilestarikan secara turun-temurun dalam kesatuan Alam Minangkabau.

Jalur Perdagangan

Memasuki abad ke-14 M, Rantau Pesisir memegang peran penting dalam sistem perdagangan emas. Kota Barus, Tiku, Pariaman, dan Bayang merupakan pelabuhan pengekspor lada dan emas yang dikenal di kalangan pedagang Asia Barat. Kota-kota pantai inilah menjadi pelabuhan transit membawa komoditas dagang menuju ke pulau Jawa.

Sementara Selat Malaka menjadi pusat pelabuhan internasional yang turut mempengaruhi kemajuan kawasan Minangkabau. Para pedagang muslim dari Persia, Tamil (India Selatan), dan Gujarat meramaikan sistem perdagangan rempah-rempah dan emas di kawasan ini.

Sampai memasuki tahun 1511, Minangkabau menjadi incaran bagi kolonial Portugis (Rusli Amran, hlm. 77-78). Di kawasan pedalaman, terutama di Kamang dan Tanjung (Luhak Agam), merupakan penghasil lada terbesar di Nusantara sejak abad ke-17 M. Sementara komoditas kopi telah menggeser emas dan lada di kawasan pedalaman.

Baca Juga  Budaya Melayu (1): Legenda Adu Kerbau dan Asal-Usul Orang Minang

Penyebaran Budaya Minang

Seiring dengan kemajuan sistem perdagangan, baik di pedalaman (darek) maupun di pesisir (rantau), kebudayaan Minangkabau terus menyebar. Komoditas emas, lada, dan kopi mulai merambah ke kawasan lain, seperti di Riau, Jambi, Bengkulu, Jawa, Maluku, Sulawesi Tengah, dan lain-lain (lihat Gamawan Fauzi, “Budaya Merantau Orang Minang.” Posmetro Padang, 11-12 Oktober 2008).

Proses penyebaran budaya Minangkabau juga bisa terjadi ketika beberapa kelompok sosial kalah bersaing secara politik dengan kelompok lain. Kemunculan gerakan Padri (akhir abad ke-18) yang secara politik berseberangan dengan kelompok adat turut mendukung proses penyebaran budaya Minang.

Peran Tuanku Tambusai (Hamka, 2008: 228), sambil menyebarkan agama Islam, beliau turut memperkenalkan budaya Minang di Dalu-dalu. Atau peran Tuanku Rao yang menyebarkan agama Islam di Rao dan Mandailing sambil tetap berpegang teguh pada adat-istiadat Minangkabau. Dengan cara demikian, budaya Minangkabau menyebar ke kawasan-kawasan lain. (Bersambung)

Editor: Yahya

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds