Sejak memasuki alam kemerdekaan (1945), kawasan Minangkabau (Sumatra Barat) merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran putra-putra Minang turut menentukan arah bagi proses pembangunan bangsa pada masa awal kemerdekaan hingga memasuki masa pembangunan.
Sebut saja tokoh Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Yamin, Hamka, Mohammad Natsir, atau Haji Agus Salim. Selain nama-nama ini, masih banyak lagi putra Minang yang berjasa besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Peran-peran politik putra-putra Minang cukup strategis dalam mempertahankan budaya Melayu sebagai identitas nasional. Menjelang kemerdekaan RI, proses pencarian identitas budaya bangsa Indonesia mulai menemukan bentuknya.
Orang Minang dan Nasionalisme Keindonesiaan
Bermula dari Tan Malaka, dua tahun sebelum mendeklarasikan Partai Republik Indonesia (PARI) pada tahun 1927 di Bangkok (Thailand), tokoh Minang ini telah menulis buku, Menuju Republik Indonesia. Inilah gagasan pertama bentuk negara Indonesia yang dicetuskan oleh putra Minang.
Memasuki masa kolonial, bermula ketika Mohammad Hatta dan beberapa tokoh nasional ditangkap oleh Belanda, pada tahun 1912, putra Minang ini memanfaatkan pidato politik pembelaan atas dirinya di pengadilan Den Haag. Dalam pidato tersebut, Hatta mengungkapkan komitmen kebangsaan Indonesia yang subtansinya tidak terikat oleh unsur agama ataupun kedaerahan tertentu. Inilah konsep kebangsaan Indonesia yang pertama kali dicetuskan oleh seorang putra Minang.
Berawal dari pidato Bung Hatta ini, secara berangsur-angsur konsep dan komitmen kebangsaan Indonesia mulai terbentuk. Konsep bangsa Indonesia tidak berdasarkan atas agama atau kedaerahan tertentu.
Pembaruan Pendidikan dan Kesusastraan
Dalam bidang agama dan pendidikan, putra-putra Minang telah menyumbangkan gagasan besar dalam rangka pembaruan Islam dan pendidikan agama. Kasus Sumatra Thawalib merupakan titik awal sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dari kasus ini pula lahir konsep baru pendidikan Islam di Indonesia (Burhanudin Daya, 1995: 35).
Gerakan kesusastraan baru mulai muncul pada tahun 1918, ketika terbit sekitar 40 surat kabar di Indonesia. Pada tahun 1925 telah terbit sekitar 200 media massa. Memasuki tahun 1928 sudah terbit sekitar 400 media massa di Indonesia. Bersamaan dengan maraknya iklim penerbitan di Indonesia, putra-putra Minang mempelopori gerakan kesusastraan baru yang kemudian dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka (1908) (baca M.C. Ricklefs, 2005: 382-383).
Lahirnya gerakan kesusastraan baru ini menjadi titik awal lahirnya bahasa nasional Indonesia. Salah satu tokoh sentral dalam gerakan sastra ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Dialah yang sangat berjasa dalam memajukan kesusastraan dan bahasa Indonesia lewat Angkatan Balai Pustaka.
Orang Minang dan Politik Orde Lama
Memasuki era Orde Lama, kebijakan pusat yang tidak mampu mengakomodasi aspirasi-aspirasi masyarakat Sumatra, khususnya di Sumatra Barat. Dampaknya, masyarakat Sumatra kecewa sampai timbul pergolakan pada tahun 1950. Pergolakan ini membawa sejumlah implikasi sosial bagi masyarakat Minangkabau. Sebab, mereka merasa telah dikalahkan oleh rezim Soekarno.
Secara berangsur-angsur, kebudayaan Melayu juga mulai disingkirkan dari khazanah kebudayaan Indonesia. Apalagi setelah Soekarno berseteru dengan Malaysia, yang secara etnologis masih serumpun dengan Minang.
Kebijakan “Ganyang Malaysia!” membawa dampak yang cukup besar dalam menentukan corak kebudayaan Indonesia berikutnya. Jika pada mulanya bahasa Indonesia banyak menyerap kosa-kata Melayu, dalam perkembangan berikutnya justru bahasa nasional semakin jauh dari induknya.
Orang Minang dan Politik Orde Baru
Memasuki era Odre Baru, khazanah kebudayaan Melayu yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau mulai tersingkir kembali. Sistem pemerintahan nagari-nagari di Minangkabau tidak berfungsi karena digantikan oleh sistem pemerintahan desa berdasarkan Undang-undang (UU) No. 5 tahun 1979.
Inilah kesalahan Rezim Orde Baru yang lebih menonjolkan kekuatan politik Jawa, tetapi sekaligus mengabaikan budaya lokal. Lewat UU No. 5 tahun 1979 ini, Orde Baru berusaha menghapus sistem pemerintahan adat di Minangkabau yang sudah berjalan berabad-abad lamanya.
Lewat kebijakan pemerintah yang menggantikan sistem pemerintahan adat dengan sistem pemerintahan desa, secara perlahan-lahan Suku Minangkabau digiring supaya menginggalkan adat peninggalan leluhur. Tidak sedikit budaya Minangkabau yang hampir hilang atau dilupakan oleh generasinya sendiri. Para penghulu atau pemuka adat tidak dapat memainkan peran-peran mereka dalam melestarikan warisan para leluhur.
Orang Minang Pasca Reformasi
Angin segar berhembus setelah memasuki era Reformasi (1998). Undang-undang otonomi daerah berusaha menghidupkan kembali sistem pemerintahan bernagari. Bak gayung bersambut, kebijakan ini lantas direalisasikan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) No 9 tahun 2000.
Budaya Minang yang khas telah mewarnai khazanah kebudayaan bangsa Indonesia. Tradisi rantau, masakan Padang, pantun, gurindam, pepatah petitih, dan lain-lain adalah budaya khas dari ranah Minang. Istilah “rantau” yang berasal dari budaya Minang kemudian diadopsi dalam Bahasa Indonesia untuk menunjukkan sebuah aktivitas bepergian jauh ke tempat lain untuk mengadu nasib. Masakan Padang sudah terkenal di seluruh Indonesia karena memang sangat khas rasanya.
Dengan membaca data-data historis di atas, maka saya bisa mengambil kesimpulan jika sejarah Minangkabau adalah sejarah orang-orang hebat! Tidak dapat dipungkiri, kontribusi masyarakat Minangkabau dalam proses pembangunan bangsa sangat besar.
Sejarah Orang-orang Besar
Sejarah telah mencatat, dari kawasan ini telah lahir ulama-ulama besar. Misalnya Abdurrauf Singkil, Syaikh Burhanuddin, Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, dan lain-lain. Bahkan, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiy, salah seorang ulama keturunan Minangkabau, pernah menjadi Imam Besar di Masjidil Haram (Makkah).
Sastrawan-sastrawan kondang juga pernah lahir dari kawasan ini. Sebut saja Hamzah Fansuri, Sutan Sati, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Buya Hamka, dan lain-lain. Mereka adalah para pujangga yang telah mewarnai khazanah kesusastraan nusantara.
Dalam proses merebut kemerdekaan RI, ranah Minangkabau juga telah melahirkan pemimpin-pemimpin besar. Mereka adalah Rasuna Said, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, dan lain-lain.
Bahkan, putra-putra Minang berhasil meraih sukses di luar negeri. Seperti Tan Sri Norma Abas, wanita pertama yang menjadi hakim besar Malaysia, dan Yusof Ishak, presiden pertama Singapura. Di Indonesia dan Malaysia, di samping bangsa Tionghoa, orang-orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha sukses. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain. (Habis)
Editor: Yahya