Feature

Bukan yang Terpilih dan Terbaik

3 Mins read

Tidak sedikit yang bilang bahwasanya saya merupakan orang yang beruntung saat ini. Saya bekerja di lembaga riset LIPI di mana tidak sedikit orang ingin bekerja di tempat itu dan saya kuliah di salah satu kampus terbaik dengan urutan nomor 11 dunia dan nomor 1 di Asia, yaitu NUS. Namun, di tengah rasa pujian itu, ada satu hal yang saya jarang cerita, bahwa saya mendapatkan posisi itu bukanlah orang yang sangat diharapkan untuk mendapatkannya. Saya merupakan orang kedua atau biasa disebut cadangan.

Saat ada pengumuman peneliti LIPI pada 21 Oktober 2010, saya dinyatakan tidak diterima. Jangan bayangkan kondisi saya biasa saja. Saat itu hati saya begitu remuk redam. Ana Diana sedang hamil sekitar 5 bulan. Saat usia kehamilannya beranjak 7-9 bulan, ia harus berhenti dari tempat pekerjaannya, mengingat ia hanya pegawai kontrak. Sementara itu, saya adalah pengangguran yang tidak lelah mencari pekerjaan di tengah zaman belum ada ojek online.

Pada 10 November 2010, tiba-tiba masuk panggilan dalam telepon genggam ke HP saya yang seringkali baterainya copot. Ya, saya mendapatkan panggilan untuk memenuhi berkas sebagai peneliti LIPI, menggantikan orang yang mengundurkan diri karena ia diterima sebagai dosen di UPI Bandung. Hati saya berbuncah. Tangisan istri yang begadang ketika saya tidak diterima pada dua bulan sebelumnya ternyata berbuah manis saat itu.

Mengingat itu, saya selalu bilang kepada istri saya. “Ayah ini bukan orang terbaik bunda, hanya sebagai cadangan. Karena itu, kita harus lebih banyak bersyukur. Salah satu bentuk syukurnya adalah bekerja sekeras mungkin karena telah mencapai posisi ini”, ujar saya dengan penuh rasa terima kasih kepada Allah.

Baca Juga  Bapak Radikalisme itu Bernama Ibn Taimiyyah (?)

Selama di LIPI, yang saya pikirkan adalah terus menulis dan menulis. Ini sebagai bentuk rasa syukur karena anak Betawi dari pinggiran Jakarta Timur di mana encang-encang saya menjadi objek riset studi paramiliter FBR, diberikan kesempatan bekerja ke jantung peradaban yang disebut orang-orang pintar.

Setidaknya, butuh waktu 8 tahun bagi saya untuk sampai posisi peneliti Madya di LIPI pada tahun 2018. Sebelumnya pada tahun 2016, sebenarnya persyaratan saya sudah lengkap. Namun, ada satu dokumen yang dianggap gagal. Selama 2 tahun (2016 dan 2017) inilah kekurangan itu saya coba penuhi. Bagi saya mencapai posisi itu tidak hanya penting menambah penghidupan meringankan bayar KPR bulanan, selain itu sebagai bentuk rasa syukur saya bekerja dalam lembaga riset yang sedikit pun tidak pernah saya bayangkan sejak saya kecil dan bahkan saat kuliah S2.

Saat pengumuman penerimaan mahasiswa S3 PhD NUS di Malay Studies, saya diterima sebagai mahasiswa tapi tidak diterima sebagai orang yang mendapatkan beasiswa. Beasiswa penuh yang saya perjuangkan ternyata telah diisi oleh orang lain.

Meskipun demikian, saya kemudian diikutkan untuk mendapatkan beasiswa bebas SPP. Namun, karena sudah yakin akan sulit membiaya hidup selama kuliah di Singapura. Beasiswa SPP itu tidak saya ambil. Saya berikan kepada kesempatan orang yang lebih membutuhkan. Ada teman yang menyarankan untuk mengambilnya dan kemudian mencari skema lain pembiayaan. Namun, tekad saya bulat. Lebih baik cari beasiswa lain saja, dan memulai dari nol.

Sebulan setelah saya menolak beasiswa SPP itu, tiba-tiba saya mendapatkan tawaran kembali, dengan pertanyaan yang menarik, “Wahyudi, apakah kamu masih tertarik untuk mendapatkan beasiswa ini?”, ujar seorang perempuan melalui email. Tanpa keraguan saya menjawab iya. Ana Diana langsung tersenyum mendapatkan kabar ini. Beberapa hari kemudian, surat tawaran itu datang saya. Ya, saya akhirnya diterima sebagai beasiswa penuh di Malay Studies, National University of Singapore (NUS).

Baca Juga  Daftar Lima Pesantren Besar di Jawa Barat

Sama seperti diterima bekerja di LIPI bahwa saya bukanlah orang yang terpilih dan terbaik. Saya sekedar cadangan yang mengalami keberuntungan dan berkah saja. Karena itu, apapun kekurangan dalam proses beasiswa, saya selalu mengingatkan kepada diri saya dan istri bahwasanya itu semua harus patut disyukuri. Selain menerima dengan ikhlas, juga harus belajar lebih maksimal. Ini bukan sebagai pembuktian bahwasanya seorang cadangan seperti saya layak mendapatkan tempat, melainkan bentuk syukur karena diberikan tempat.

Rasa syukur inilah yang perlu saya usahakan untuk tetap berkarya dan terus bersungguh-sungguh untuk menetapkan hati menyelesaikan jalan panjang S3 ini. Ya, ada rasa kangen yang tak terperi kepada Alesha dan Ziki. Apalagi, saat mereka tiba-tiba menangis menyatakan rindu yang terdalam kepada saya. Ada rasa bersalah kepada istri karena tidak menemaninya dalam mengurus rumah sekaligus anak-anak kami.

Namun, pengorbanan yang saya lakukan ini adalah bentuk cerminan kepada mereka bahwasanya ayah mereka adalah lelaki yang tak takluk terhadap nasib. Satu-satunya mengangkat derajat keluarga adalah dengan pendidikan tinggi ini sekaligus menjaga mimpi-mimpi kecil untuk Alesha dan Ziki. Selain itu, dengan melihat isu lebih besar, siapa yang mau membiayai kuliah S3 selama 4 tahun dengan total membayar sekitar di atas lebih 3 miliar? Mengingat ini, yang saya bisa lakukan adalah kemudian tetap bersyukur sambil terus membaca dan menulis.

Selain itu, saya harus menginsyafi diri bahwasanya saya adalah seorang cadangan. Seperti dalam kesebelasan sepak bola, sebagai seorang cadangan, saya harus bekerja lebih keras agar dianggap layak menggantikan pemain utama sekaligus juga bersiap untuk menjadi cadangan kembali saat pemain utama sudah pulih dan dalam kondisi performa terbaiknya.

Baca Juga  Pentingnya Menyemai Filsafat dalam Diri Anak-anak

Sebagai cadangan, yang perlu dilakukan adalah terus belajar dan belajar sambil memegang prinsip, “saya ini bukan siapa-siapa”. Jikalaupun posisi saya dianggap istimewa, saya tetap percaya dan memegang kalimat Buya Syafi’i bahwasanya saya bisa “ketepian pantai, hanya karena belas kasihan ombak”. Tidak lebih dan kurang.

Editor: Yusuf

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds