Buya Syafii Maarif | Sekarang siapa yang tidak mengenal Buya Syafii Ma’arif, setelah kepergiannya pada Jum’at, 27 Mei 2022, kurang dari 4 hari menjelang hari Miladnya ia pergi untuk pulang kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga Buya mendapat tempat terbaik disisinya.
Dalam hal peran kebangsaan siapa yang tidak tahu bagaimana sepak terjang Buya Syafii ini. Beliau sampai pada umur senjanya ikhlas mengabdikan dirinya untuk Negara dan PP. Muhammadiyyah sebagai Ketua Umum pada tahun 1998- 2005.
Jabatan dan tanggungjawab yang Buya pegang di ujung senjanya menjadi pengawal Pancasila di BPIP (Badan Pengarah Ideologi Pancasila) dan sebagai Penasehat MK (Mahkamah Konstitusi).
Oleh karenanya sebenarnya beliau berhak dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata. Namun karena beliau sudah membeli lahan makamnya di pemakaman Khusnul Khotimah Kulonprogo, maka tidak bisa terlaksana.
Buya Syafii adalah mutiara berharga yang dimiliki Muhammadiyah, dan ia adalah salah satu tokoh Muhammadiyah yang oleh santri-santri Nahdhliyyin di Kyai-kan. Pemikiran, jejak kehidupan, dan kearifannya lah yang membuat santri Nahdhiyyin menghormati beliau.
Penulis sendiri adalah Santri NU yang pernah menjadi marbot Masjid Nogotirto di dekat kediaman mendiang Buya Syafii Maarif dari tahun 2018- 2021.
Kalau melihat bagaimana khazanah keislaman yang men-tradisi di kalangan Muhammadiyyah sebenarnya sudah maklum bahwa doktrin- doktrin sufistik tidaklah dominan, sedikit banyak mungkin ada dalam khasanah pemikiran Ibnu Taimiyah yang memang semi-sufistik.
Tidak seperti di kalangan Nahdhliyyin yang memang syarat nuansa sufistik. Maklum sekali karena rujukannya saja Imam Ghozali, Junaid Al- Bahgdadi, Yazid Al- Busthomi, Ibnu Athoillah Assakandary, dan masih banyak lagi.
Tasawuf Menurut Buya Syafii Maarif
Penulis suatu ketika menyempatkan diri untuk bertanya kepada Buya Syafii perihal ajaran Tasawuf. Penulis memang memiliki rasa penasaran yang tinggi tentang bagaimanakah Buya memahami Tasawuf.
Seusai Jama’ah Maghrib di Masjid Nogotirto penulis menyalami beliau dan kemudian duduk di bawah. Sedangkan Buya duduk di kursi khusus yang biasa digunakan untuk sholat. Saat itu langsung penulis ajukan pertanyaan sebagai bahan diskusi bakda Maghrib saat itu. Buya, bagaimanakah Buya memandang ajaran Tasawuf?
Mungkin beliau sudah amat tahu arah pertanyaan yang penulis ajukan, jawaban beliau amatlah singkat. “Kalau tetanggamu kesulitan, kamu kalau ingin membantunya kan harus pakai uang kan? Jadi yang terpenting adalah hati kita tidak tergantung pada harta” tutur Buya amat singkat.
Setelahnya penulis jadi teringat dengan penjelasan Guru penulis ketika di Pondok Pesantren. Sangat membekas sekali dalam benak penulis ketika dahulu masih belajar kepada Kyai Hasan Mlangi. Beliau juga menuturkan bahwasanya untuk menyikapi gejolak hati yang mudah terperdaya oleh dunia beliau dawuh: “Sing penting atimu ra kumantil-mantil karo dunyo” (yang penting hatimu tidak bergantung pada keduniaan).
Jawaban singkat namun itu menjadi indikasi kesuksesan seorang muslim sejati. Maka di situlah perjumpaan pertama ke-Nahdhliyyinan saya dengan ke-Muhammadiyyahan Buya Syafii Ma’arif.
Pernah juga ketika awal-awal tinggal di Masjid Nogotirto, penulis dengan terus terang berkata kepada Buya, “Buya, saya santri NU”. Beliau hanya menjawab, “Sudah gak papa. Sama saja kan?” jawabnya singkat sekali. Seolah beliau memang tidak ada masalah dengan perbedaan yang ada antara Muhammadiyah-NU.
Tradisi Sowan Buya Syafii Maarif
Jika kita mengenal tradisi sowan-sowan dalam tradisi Nahdliyyin. Sesepuh NU dalam menerima tamu-tamu juga dari berbagai kalangan tidak hanya dari kalangan sendiri saja. Bahkan, lintas agama yang ingin sowan pun akan diterima dengan baik.
Ini adalah indikasi sikap tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan. Di Masjid Nogotirto dekat kediaman Buya Syafii adalah saksi di mana beliau hampir setiap habis maghrib menerima tamu dari berbagai kalangan.
Sebagai pelayan di masjid tentu paham siapa saja yang datang sowan kepada beliau. Di antara yang paling sering adalah: Gus Ulil Abshar Abdalla sekalian dan santri-santri Mu’allimin Yogyakarta, dosen-dosen UIN Sunan Kalijaga, umat Kristiani, Hindu, Budha, dan lain-lain.
Sikap Toleran Buya Syafii Maarif
Gus Mus juga pernah bertamu di rumahnya ketika tamunya adalah nonmuslim bahkan Buya Syafii dan tamunya tersebut berebut untuk bersikap toleransi. Yang mana, Buya mempersilahkan langsung masuk ke dalam masjid. Namun, mereka juga menolaknya untuk bisa bertemu di luar masjid saja atau diserambi.
Di sini adalah titik pertemuan kedua penulis dengan Buya Syafii bahwasanya sebagai umat Islam yang baik harus memiliki sikap toleransi yang lebih besar daripada mereka umat nonmuslim.
Bukan tanpa alasan, penulis berkaca pada cerita lama dari Kyai Zainal krapyak ketika menyikapi adanya kuburan nonmuslim di tengah-tengah pemakaman Muslim.
Saat itu Mbah Zainal sebagai mushohih dalam acara Bahtsul Masail yang di adakan NU Yogyakarta perihal kasus tersebut.
Beliau merevisi hasil dari diskusi yang menyimpulkan bahwa harus diadakan pembongkaran dan pemindahan makam nonmuslim tersebut. Alhasil, makam pun tidak dibongkar.
“Qolbun Salim” adalah salah satu terma yang di ulang-ulang Buya dalam setiap pembicaraannya. Maknanya adalah “hati yang selamat”. Sebagai muslim yang sejati dalam menyikapi sesuatu hal, tidaklah cukup hanya dengan pancaindera saja namun juga harus dengan “Qolbun Salim” kacamata atau prespektif jitu agar tidak terbudak oleh hawa nafsu. Mungkin inilah salah satu formula kehidupan Buya yang menjadi sederhana.
Yang terakhir, yang bisa kita ambil belajar dari mendiang Buya Syafii Maarif ini adalah agar menjadi bahan renungan bersama, agar kita semakin arif dalam menyikapi kehidupan ini.
Saya yakin bahwa hal-hal unik ini juga termasuk formula tersendiri yang dimiliki Buya Syafii Maarif sehingga beliau menjadi seorang tokoh, cendekiawan, dan ulama yang banyak dikagumi orang. Wallohu a’lamu.
Editor: Yahya FR