Review

Bahasa Akhlak dari Buku Dawuh Tongkat Mbah Kakung

2 Mins read

“Penderitaan yang engkau kasihkan kepadaku, aku balas dengan kebahagiaan” Demikian yang dikatakan Mbah Yai biasa Agus Novel dalam bukunya “Tongkat Mbah Kakung” memanggil guru dari kakeknya. Dalam bukunya “Tongkat Mbah Kakung”, Agus Novel Mukholis menuliskan kisah tentang keluarganya dan tentang wejangan-wejangan sepeninggalan kakeknya (Mbah Kakung).

Wejangan yang sarat dengan nilai-nilai budi pekerti yang kemudian dijadikanya sebagai motivasi dalam hidup, dan disebarluaskan kepada khalayak umum dalam bentuk buku, tak lain sebagai salah satu sarana dakwahnya selain sebagai seorang guru.

Mbah Yai merupakan guru dari Mbah Kakung (kakek Agus Novel Mukholis) beliau adalah seorang ulama yang alim billah dan memiliki sifat bi ahklaqi Rasulullah Saw. Mbah Yai bukan tipe orang yang peduli perkara “penderitaan”  dunia, selama tidak ada hubunganya dengan Tuhannya, ya bah bah kono.

Konsep “menderita” menurut Mbah Yai tidak sama dengan konsep menderita yang kebanyakan kita tafsirkan. Kehilangan uang seratus ribu atau ketika mendapat nilai matematika 50 sudah membuat kita menderita. Begitulah kita sebagai manusia biasa dan Jika di kategorikan ke dalam sistem kasta iman kita adalah selevel sudra, tingkatanya paling bawah. Namun bagi Mbah Yai menderita itu adalah ketika kita jauh dari Allah Swt, serta terhalang untuk mencintai Rasululah. Subbahanallah.

Dari pengalaman hidup, beliau banyak sekali mendapat cacian, disakiti, dimaki oleh teman-temanya bahkan oleh keluarga terdekat sekalipun. Namun sangking alim billahnya beliau, kepada orang-orang yang tidak menyukai, beliau selalu berucap Mugi-mugi kuwalat sae. Gampangnya kita bisa bilang “kamu kasih aku penderitaan, aku kasih kamu kebahagiaan” mungkin bentuknya bisa tentang doa keselamatan, kelancaran rezeki, didekatkan hidayah dan lain sebagainya.

Baca Juga  Tujuh Hak Tetangga Menurut Kitab Taysirul Kholaq
***

Istilah Mugi mugi kuwalat sae adalah berasal dari Bahasa jawa yang merujuk pada arti doa keselamatan. Meskipun makna kuwalat sendiri didefinisikan sebagai suatu hal yang kurang baik atau celaka, tapi dengan penambahan sae perefleksiannya menjadi hal kebaikan. Mari kita telisik lagi perihal sisi makna baik dari kata kuwalat ini. Kita kaitkan dalam ilmu agama, jika dipahami asal mula istilah tersebut berasal dari kata quwalah atau sering kita sebut sebagai kalimat hauqalah, yakni La hauwla wa la quwwata illa billah.

Pernyataan menurut Imam as-Syadzili, Sayyid Muhammad bin al-Alawy al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Abwab al-Faraj, kalimat tersebut bermakna sebuah bentuk penolakan segala keburukan yang menimpa seorang hamba. Begitulah kita sebagai manusia yang gemar memandang sesuatu hanya dari sekelebat mata, tanpa mencari tau makna sesungguhnya. Sungguh berbeda bukan dengan ulama seperti Mbah Yai ini, beliau memandang sesuatu yang maknanya buruk, justru menjadikan hal itu sebagai sebuah makna kebaikan.

Maka tepatlah kemudian Mbah Yai dengan akhlaknya yang disinari dengan cahaya keilahian kemudian membalas segala bentuk “penderitaan” dengan balasan, “Mugi-mugi kuwalat sae”. Sungguh pemikiran beliau tidak se-cethek pemikiran manusia zaman sekarang yang sedikit keseleo saja sudah banyak sambat. Tidak pula seperti kita yang berbuat baik hanya kepada seseorang yang juga baik kepada kita, dan berlaku buruk atau acuh kepada seseorang yang juga berbuat buruk atau menyakiti kita.

Sebagai seorang ulama, bukan tidak mungkin jika Mbah Yai meneladani ahklak tersebut dari Rasulullah Saw, karena tidak ada lagi sosok teladan bagi para mubalig dalam menyebarkan nilai-nilai islam rahmatan lil ‘alamin, dengan penuh kegigihan, rendah hati dan dengan penuh kesabaan kecuali hanya Rasulullah Saw.

Baca Juga  Cerita untuk Kalian yang Malu Menemui Psikiater
***

Kita pasti sering mendengar kisah Rasulullah ketika menghadapi kaum kafir Quraisy, dilempari batu, diludahi dan disakiti psikisnya secara bertubi-tubi. Namun tidak membuat Rasulullah marah ataupun berhenti untuk menyerukan dakwahnya. Bagi beliau tidak ada beda rasanya. Ini adalah kualitas ahklak selevel langit bahkan lebih tinggi atau tidak ada batasnya.

Disakiti ataupun tidak disakiti orang lain bukan menjadi persoalan bagi mereka hamba Allah yang khawasul khawas. Karena yang difikirkan mereka hanyalah ketaatan kepada Tuhanya, maka segala bentuk cacian serta makian, sikap mereka tetap sama tidak ada rasa benci sedikitpun dalam hatinya. Semoga kita bisa meneladani ahklak ini dalam kehidupan sehari-hari dan lebih bisa menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah Swt. Karena dengan kita cinta kepada-Nya maka akan semakin sempit pula ruang kebencian yang akan tumbuh dalam diri kita.

Nimas Yuhyih Wakindiyah
2 posts

About author
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Articles
Related posts
Review

Resensi Buku: Kedewasaan Beragama

1 Mins read
Sinopsis Di tengah dunia yang terus berubah dengan segala kompleksitas masalahnya, agama semestinya menjadi semacam oase di tengah padang tandus. Agama menjadi…
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *