Siapa yang tidak kaget dengan keadaan karena pandemi saat ini? Mungkin tak pernah terlintas dipikiran dan tak pernah menjadi bahasan dalam obrolan di warung kopi. Salah satu yang bakal kaget adalah laki-laki yang hendak menikah, sudah berumah tangga, mempunyai istri, terlebih bagi yang sudah dikarunia anak.
Posisi sebagai sosok ayah tentu akan sangat diuji dengan keadaan ini, baik dari mentalitas kepemimpinan sebagai seorang suami untuk kemampuannya menjaga stabilitas keluarganya. Dari masjid ke masjid, pada setiap mimbar jum’at saya sering menyampaikan soal ini. “Bahwa salah satu penyebab terbesar ketimpangan sosial pada seorang anak adalah karena dia mengalami krisis nasihat dan keteladanan dari ayahnya”.
Peran Ayah Setelah Menikah
Disamping peran vital seorang ibu, juga harus dibarengi dengan hadirnya sosok ayah yang berjiwa kesatria, yang mampu berdialog dengan baik bersama anaknya. Menurut hasil penelitian di Universitas Ummul Qura Mekkah bahwa, “dari 30 juz Al-Quran itu setidaknya terdapat 14 Ayat yang menceritakan tentang dialog antara orang tua dengan anaknya. Perbandingan dialog antara ayah dan Ibu dengan dengan anaknya ialah 13:1”.
Dari hasil penelitian tersebut kita mengetahui bahwa, seorang ayah sangat penting untuk membangun komunikasi yang baik dengan anaknya. Baik itu dengan berbicara secara langsung ataupun berupa contoh keteladanan dalam perbuatannya sehari-hari. Dan kabar buruk nya, banyak generasi banci saat ini.
Hal tersebut bisa jadi karena kurangnya jiwa maskulinitas dari seorang ayah, lantaran sejak kecil seorang anak lebih dekat dengan perempuan. Indikasinya dapat kita lihat dari segi pendidikannya waktu TK atau PAUD. Guru Perempuan nyaris hampir seluruhnya dan jarang sekali ada guru laki-laki. Hal inilah yang mesti kita sadari bahwa pentingnya peran seorang ayah dalam membangun keluarga yang baik dan menyiapkan generasi.
Keluarga: Langkah Awal Membangun Negara
Sebab, suatu entitas masyarakat tidak mungkin baik jika terdiri dari sekumpulan keluarga yang berantakan, tidak terkelola dengan petunjuk kehidupan (Buka QS. 2:2). Begitupun halnya dalam ranah negara. Alih-alih menginginkan suatu negara yang maju dan sejahtera, tetapi dalam ruang lingkup kecil semisal keluarga, banyak orang yang gagal.
Hal ini dikarenakan kurang memperhatikan dan tak tahu cara mengelolanya. Padahal kita sama-sama tahu keluarga menjadi entitas terkecil dari suatu negara, pun dalam suatu komunitas besar bernama umat manusia. Sehingga bagi mereka yang sudah memutuskan untuk membangun keluarga di bulan syawal ini, perlu mempersiapkan kekokohan mentalnya. Disamping kemampuan ekonomi untuk menafkahi. Agar tidak menambah persoalan antar satu dengan yang lain.
Bukan hanya itu, pengetahuan dan keterampilan agama seperti menjadi imam dan khatib semestinya menjadi hal yang lumrah bisa dilakukan laki-laki. Terlebih sebelum menjadi seorang suami bahkan sebelum dikarunia anak yang kemudian menuntutnya menjadi ayah yang amanah.
Inilah kemudian yang menjadi PR besar bagi mereka yang kebelet nikah, terlebih di bulan syawal ini. Lantaran melihat postingan sosial media penuh dengan berita pernikahan dan ucapan “Sakinah, Mawaddah, Warrahmah” ramai bersliweran dari teman dekat sampai kerabat jauh.
Tidak ada yang salah dengan ucapan itu. Tiga kata sederhana yang mewakili rasa turut bahagia melihat teman atau sahabatnya menikah. Ucapan selamat dan doa menjadi bentuk hadiah terbaik yang bisa diberikan kepada mereka yang menikah dimasa pandemi ini.
Berpikir Seribu Kali tentang Menikah
Adanya fenomena ini, alih-alih terlintas untuk segera menikah. Bagi saya sendiri justru lebih banyak berpikir seribu kali dan merenung dalam kesunyian. Karena jauh-jauh hari sudah saya sadari bahwa nikah bukan perkara mudah. Apalagi jika hanya bermodal cinta dan materi semata.
Ada banyak hal yang mesti dipelajari dan dipersiapkan dibalik sekadar membayangkan terlihat mesra dalam pesta sehari, misalnya. Kekhawatiran itupun juga yang mengantarkan saya semasa masuk kuliah untuk memilih prodi “Hukum Keluarga Islam”. Sebagaimana persiapan menuju pernikahan itu sendiri. Barang tentu saya menyadari, perjalanan kuliah tidak seindah ekspektasi waktu masih menjadi siswa.
Akan tetapi saya begitu sepakat dengan perkataan Menteri Agama (1971-1978) Prof. Dr. H. Mukti Ali yang diposting akun IG @ibtimes.id beberapa hari yang lalu. Bahwa membangun negara yang kuat, makmur dan bahagia. Salah satu langkah awal ialah dimulai dari keluarga.
Berbicara tentang pernikahan, ada salah seorang kawan saya yang mengatakan “nikah itu bagi saya adalah peristiwa yang sakral dan radikal”. Mengapa bisa sakral dan radikal? Sakral karena tentu berada dalam ikatan agama. Sebab, itu sudah konsekuensi dari keyakinan yang kita buat serasional mungkin. Dan tentunya akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Lalu mengapa bisa radikal?
Bagaimana tidak, sang lelaki dituntut untuk memilih satu orang perempuan dari sekian banyak yang ada untuk menjadi pendamping hidupnya, begitupun sebaliknya. Itu kan radikal sekali, kendati masih ada ruang untuk lebih. Misalnya, dalam Islam masih diberi peluang untuk mempunyai istri lebih dari satu, asal tidak melebihi empat isrti (QS: 4: 3).
Namun kita tidak begitu perlu masuk dalam pergulatan debat panjang soal ini. Lebih-lebih sampai menguras energi banyak, bahkan nyinyir kepada mereka yang tak sefaham dan sejalan dengannya. Sebab, sampai kiamat pun tidak akan selesai dalam perkara hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Kembalikan saja kepada tiap-tiap individu yang berhak menentukan hidupnya, selagi tahu porsi dan sejauh mana ia mau dan mampu memepertanggung-jawabkannya.
Nikah Bukan untuk Bercerai
Tingkat perceraian di Indonesia termasuk tinggi. Mirisnya, yang marak terjadi bukanlah laki-laki yang menceraikan isterinya (talak). Melainkan perempuan sendiri yang meminta dilepas dari suaminya (khuluk), inilah penyebab yang paling tinggi.
Apa sebab demikian? Karena ketidakbecusan laki-laki menjadi suami. Menikah yang sekadar bermodalkan dengkul. Mengira membangun keluarga hanya sebatas memberi makan saja, sebenarnya tidaklah demikian. Keluarga yang ideal mesti mapan secara ekonomi, juga paham cara mengelola keluarga sesuai aturan agama. Terlebih ditengah keadaan krisis seperti sekarang ini.
Sebab perkara nikah bukan sekedar bermodalkan kerja dan cinta. Tetapi seorang lelaki mesti mempelajari juga bagaimana agar berperan menjadi orang tua yang amanah. Selain itu, juga mesti mengerti cara mengelola keuangan keluarga, paham psikologi perempuan sehingga tahu cara memperlakukannya dengan baik.
Bila perlu, hingga ilmu reproduksi pada perempuan pun menjadi penting untuk dipelajari. Semoga bagi mereka yang kebelet nikah di tengah pandemi ini, mempersiapkannya dengan baik. Agar tidak ada celah untuk terjadinya perceraian setelah menikah. Sebab nikah bukanlah untuk cerai, tetapi untuk membangun keluarga yang “Sakinah, Mawaddah, Warrahmah”.
Editor: Nirwansyah/Nabhan