Bully, atau perundungan, termasuk juga pelecehan terhadap anak-anak di sekolah, jangan pernah dianggap enteng. Itulah mengapa saya sangat emosional saat rapat dengan dewan guru di sekolah Aslan kemarin. Suara saya bahkan agak meninggi saat orang tua pelaku menganggap perundungan alias bully yang dilakukan anaknya ke teman sekelasnya, sebagai candaan anak-anak biasa.
Buat saya, kalau kepala anak benjol, memar, kuping tergores mengeluarkan darah akibat terbentur meja, kaki atau tangan keseleo, bisa saya pahami sebagai bentuk candaan anak-anak laki. Kadang mereka memang sering kelewatan kalau bermain. Tapi kasusnya kali ini berbeda.
Entah kapan peristiwa itu terjadi. Aslan bercerita pernah 2 kali perlakuan tak senonoh itu dilakukan oleh temannya ke temannya yang lain. Supaya yakin, saya minta Aslan menceritakan ulang 3 kali peristiwa itu kepada saya dan ambu. Sampai saya yakin kalau peristiwa ini benar adanya.
Ternyata, kisah yang diterima Bu Guru juga sama. Ibu korban tak kuasa menahan tangis saat rapat berlangsung. Sementara, ayah pelaku terus keukeuh, bergeming, menganggap itu kenakalan anak yang biasa. Tidak ada unsur bully di sana. Terlalu jauh dari kategori bully, katanya.
Itu yang membuat saya dan sebagian peserta rapat kesal. Buat kami, problem bully ini harus mendapatkan perhatian serius dari orang tua, guru, kepala sekolah, dan komite sekolah. Sekecil apa pun tindakan itu.
Paling penting lagi, jangan pernah menganggap anak kita selalu benar, sedangkan pengakuan orang lain pasti keliru. Sebagai orang tua, kita perlu mencari tahu fakta di luar, menyusun cerita yang berserakan, mengapa anak kita berani melakukan tindakan bully ke temannya.
***
Ini perkara serius yang perlu ditangani segera, sebab dampaknya sudah nampak sekali ke korban. Sudah sekitar 2 pekan katanya korban uring-uringan saat mau masuk gerbang sekolah. Minggu lalu, korban malah sempat menangis saat sampai di gerbang sekolah.
Sang Ibu mengantarnya sampai ke kelas, sebab selalu waswas di dalam kelas selama pelaku masih bersekolah di tempat yang sama. Saat yang sama, orang tua korban kebingungan lantaran sang anak tak berani bercerita secara detail mengenai peristiwa itu.
Seolah ada yang mengawasinya hingga tak berani bercerita dengan gamblang. Terakhir, korban hanya bisa menangis di depan kelas saat kami rapat Sabtu kemarin lusa.
Semalam, saya dikabari, fobianya semakin meninggi. Ini info dari psikolog yang mendampinginya. Itu berarti dia semakin tak mau sekolah. Traumanya semakin berat. Situasi inilah yang harus dipikirkan dewan guru, kepala sekolah, dan komite.
Orang tuanya tengah berusaha menguatkan sang anak. Selanjutnya adalah tugas pihak sekolah. Sebab, kalau situasi ini dibiarkan, dianggap enteng, tak ada jaminan kasus lain akan terjadi lagi di kemudian hari.
Lagian pola perundungan ini yang saya tahu selalu melingkar. Pelaku di hari ini, bisa jadi merupakan korban perundungan teman-temannya di masa lalu. Begitu seterusnya. Ini semacam lingkarang setan yang harus disudahi. Caranya, tindak mereka, jangan ada perasaan tak enak, tak tega. Ini soal masa depannya juga.
Sebagai orang tua, saya ingin sekolah benar-benar menjadi tempat yang ramah bagi anak-anak, sehingga proses transfer ilmu dan akhlak berlangsung dengan baik.
Satu hal yang perlu kita camkan bersama: jangan pernah menganggap enteng kejadian bully (perundungan) atau pelecehan sekecil apa pun. Apalagi menganggap sikap korban sebagai “LEBAY”. Sikap ini sama dengan sekali minim empati.
Kita perlu bertindak bersama. Jangan pernah memberi simpati kepada pelaku, meskipun masih kecil, dari sana muncul ajakan untuk melupakan dan memaafkan saja. Yang perlu diberi simpati adalah korban. Dia harus bangkit dan percaya diri lagi; harus nyaman dan aman saat belajar di kelas. Ini harus dijamin pihak sekolah!