Feature

Bung Karno adalah Muhammadiyah

4 Mins read

Gerombolan massa memadati jalan-jalan di kota Blitar pada 22 Juni 1970, mereka menungu kedatangan iring-iringan jenazah yang datang dari Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Ribuan orang datang tidak hanya dari Blitar, namun juga dari seluruh Indonesia untuk mengantar kepergian sang Pahlawan Nasional yang juga merupakan salah satu kader terbaik Muhammadiyah ke peristirahatan terakhirnya.

Saking cintanya mendiang terhadap Muhammadiyah, sebelum akhir hayatnya beliau pernah berwasiat bahwa kelak ketika beliau meninggal agar kerandanya diselimuti panji-panji Muhammadiyah. Cerita itu dikisahkan sendiri oleh cucu tercintanya yang sekarang menjabat sebagai pimpinan DPR RI, Puan Maharani.

Kader Muhammadiyah yang meninggal 50 tahun yang lalu itu adalah Sukarno. Dikenal sebagai tokoh pergerakan yang nasionalis, membuat Bung Karno sering dilupakan sebagai kader Muhammadiyah. Bahkan mungkin, mayoritas warga Muhammadiyah sendiri tidak mengetahuinya.

Bung Karno adalah Muhammadiyah?

Puan Maharani menceritakan wasiat kakeknya itu dalam seminar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, dalam lawatannya ke Madrasah Mualimat Yogyakarta pada April 2018 lalu, ia mengatakan bahwa trah keluarganya selalu dekat dengan Muhammadiyah. Kakek dan neneknya merupakan kader Muhammadiyah, begitu pula dengan keluarga neneknya.

“Jadi memang kedekatan keluarga kami ini dengan keluarga besar Muhammadiyah sudah melekat jauh-jauh hari sebelumnya, jadi tidak ngaku-ngaku. Karena betul kami ini keluarga Muhammadiyah,” kata Puan dalam kunjungan kerja ke Madrasah Mualimat Yogyakarta.

Perkenalan Bung Karno dengan Muhammadiyah dimulai ketika ia masih belajar di wisma milik Hadji Oemar Said Tjokroaminoto di kawasan Gang Peneleh No. VII, Genteng, Surabaya. Kala itu, pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan sering bepergian dari Yogyakarta ke Surabaya untuk untuk bertukar pikiran dengan tokoh pergerakan lain dan sekaligus mengajar murid-murid Tjokroaminoto.

Baca Juga  Abdul Mu'ti: Pemerintah Jangan Melanggar Kebebasan Berkeyakinan

Termasuk tiga muridnya yang paling terkenal, yaitu Sukarno, Semaun, dan Kartosuwiryo, yang mana ketiganya kelak akan dikenal sebagai tokoh pergerakan dengan jalannya masing-masing. Sukarno muda yang masih berusia 16 tahun saat itu, sangat haus akan ilmu pengetahuan, lalu menjadi santri bagi K.H. Ahmad Dahlan.

Kedekatan dengan Muhammadiyah Ketika Diasingkan

Sukarno semakin dekat dengan Muhammadiyah ketika ia diasingkan di Bengkulu pada tahun 1938 sampai 1942. Sebagaimana ditulis dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007), Sukarno menceritakan bahwa setelah dipindah dari Ende, Flores ke Bengkulu, dirinya ditemui oleh tokoh Muhammadiyah setempat yaitu Hasan Din.

Sukarno yang dikenal karena intelektualitasnya diminta oleh Hasan Din untuk menjadi guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Dan pada saat itu juga, Sukarno resmi menjadi kader Muhammadiyah. Di Bengkulu juga ia mulai berkenalan dengan salah seorang anggota Aisyiyah yang juga merupakan anak dari Hasan Din bernama Fatmawati. Ialah yang kelak kita kenal sebagai istri Sukarno dan penjahit bendera Merah Putih.

Pada saat di Bengkulu itu juga, Sukarno dipercaya sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah. Hasan Din memercayai Sukarno sebagai guru karena menganggap visinya sama dengan visi Muhammadiyah akan Islam berkemajuan.

Jalan pemikiran Sukarno itu ia ketahui salah satunya dari korespondensi Sukarno dengan Ahmad Hasan, seorang tokoh Persatuan Islam yang tinggal di Bandung. Buah pemikiran korespondensi ini masih dapat kita baca dalam buku Dibawah Bendera Revolusi.

Yang mana dari tulisan itu, dapat kita simpulkan bahwa Sukarno mempunyai pandangan Islam yang modernis dan berkemajuan, sama seperti visi Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran Sukarno tentang gerakan Islam waktu itu agaknya masih relevan sampai sekarang.

Bung Karno dan Islam Sontoloyo

Tahun 1940 ia menulis tentang Islam Sontoloyo, sebuah kritik bagi orang-orang yang melakukan perbuatan tidak terpuji dengan dalih agama. Kala itu ia membaca sebuah berita tentang seorang guru ngaji yang memperdaya murid-murid perempuannya agar mau disetubuhi.

Baca Juga  Politik Kebangsaan Muhammadiyah: Pelopor Nasionalisme Indonesia

Berita itu dimuat pada surat kabar Pemandangan pada tahun 1940. Sukarno menjelaskan modus dari sang guru itu adalah dengan mengaku tidak dapat mengajar murid-murid perempuannya karena bukan muhrim, dan harus dinikahi dulu agar bisa diajar.

Karena sudah menganggap sah dan halal, maka sang guru memanfaatkan hal itu untuk melakukan tipu daya dan mencabuli gadis-gadis tersebut. Sukarno sangat mengecam perbuatan tersebut, karena tidak hanya mengotori gadis-gadis malang yang tidak berdosa, namun juga mengotori agama Islam di mana hukum fiqih dipermainkan begitu saja.

Sungguh kalau reportase di surat kabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah disini kita melihat Islam Sontoloyo,” tulis Sukarno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi bab Islam Sontoloyo (1965).

Jalan Pemikiran Islam Sukarno

Satu hal yang harus dipahami mengenai jalan pikiran Sukarno terhadap Islamisme adalah bahwa ia melihat Ideologi Islam sebagai Ideologi Pembebasan. Pemikiran Sukarno terhadap Islamisme ini banyak dipengaruhi oleh tulisan tokoh-tokoh intelektual Islam pada akhir abad ke-19, seperti Syeikh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani.

Waktu itu, terdapat tiga ideologi besar yang berkembang pesat di Indonesia, yakni Islamisme, Marxisme, dan Nasionalisme. Walaupun ia membingkai kerangka berpikir dan jalan perjuangannya dengan Nasionalisme, namun Sukarno juga menganggap bahwa Islamisme dan Marxisme juga merupakan ideologi pembebasan yang sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme.

Dengan djalan yang djauh kurang sempurna, kita mentjoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri djajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain.” demikiam pendapat Sukarno dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (2015).

Idenya yang ditulis tahun 1933 itu bisa jadi merupakan embrio pemikiran Sukarno mengenai dasar negara, dan aksi masa di mana dalam perjuangan melawan imperialisme harus diadakan konsensus antar golongan.

Baca Juga  Belajar Filsafat, Siapa Takut!

Presiden RI pertama tersebut mengutarakan pandangannya, bahwa para pemikir dan aktivis Islamisme seharusnya tidak menjadi Islam yang kolot dan mau berkooperatif dengan gerakan lain. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa dalam beberapa prinsip, Islamisme memiliki kesamaan dengan Nasionalisme dan Marxisme itu sendiri.

Islamisme Menurut Sukarno

Islamisme, kata Sukarno, harus menyatukan gerakannya dengan kaum nasionalis, karena dalam Islam sendiri dikenal ajaran tentang membela tanah air. Begitu pula dengan Marxisme. Bagi Sukarno, Islam dan Marxisme mempunyai satu musuh yang sama, yaitu kapitalisme dan imperialisme.

Keduanya, bagi Sukarno, merupakan ideologi yang membela kebenaran dan kaum-kaum tertindas. Selain itu, Islam dalam anggapannya juga mempunyai semangat internasionalisme yang menjangkau semua bangsa di dunia melewati batas-batas negara.

Demi memahami cita-cita Bung Karno terhadap persatuan antar golongan, ada baiknya kita melihat pemikirannya dari sisi yang jarang terlihat. Sisi religius Sukarno adalah sebuah pemikiran panjang tentang Ketuhanan dan pertaliannya dengan perjuangan bangsa Indonesia. Ia merupakan salah satu putra terbaik Muhammadiyah, dan ia patut untuk dikenang atas cintanya terhadap organisasi itu.

Editor: Zahra

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds