Puisi

Burdah: Puisi Favorit Rasulullah Saw

4 Mins read

Syair merupakan kebanggaan terbesar bangsa Arab pada masa jahiliyah atau pra-Islam, sehingga turunlah Al-Qur’an sebagai mukjizat bagi baginda Nabi Muhammad Saw. Sebagai salah satu bentuk tantangan kepada bangsa Arab juga sebagai bukti bahwa yang disampaikan Rasulullah Saw merupakan wahyu dari Tuhan, bukan syair buatan manusia. Dalam surat Al-Baqarah Allah berfirman: “Dan jika kalian dalam keraguan atas apa yang kami turunkan atas (Muhammad) hamba kami, maka buatlah surat yang serupa dengannya, dan panggillah sekutu kalian selain Allah jika kalian mengetahui.”

Burdah: Syair yang Direstui Rasulullah

Keunggulan Al-Qur’an dibandingkan dengan syair manusia yang menjadi kebanggaan bangsa Arab juga ditegaskan dalam surat Yasin ayat 69, “Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair tidaklah layak baginya. Al-Qur’an tidak lain adalah pelajaran dan kitab yang jelas.” Jika Al-Qur’an turun sebagai i’jaz atau pembuktian akan rendahnya syair yang dibanggakan bangsa Arab, apakah lantas bersyair dan membuat syair dilarang dalam syariat Islam? Apalagi jika hal tersebut dibandingkan dengan mukjizat Nabi Musa, ketika tongkatnya berubah menjadi ular untuk menunjukkan batilnya ular buatan para penyihir Fir’aun.

Syekh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas adalah dalil bahwa Al-Qur’an bukan syair dan Muhammad bukan penyair, sebab unsur sastra Al-Qur’an berada di level yang berbeda. Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga memberikan penjelasan bahwa di antara syair ada yang masyru’ atau sesuai dengan syariat karena beberapa syair memuat pesan-pesan hikmah dan kebaikan.

Bahkan Rasulullah Saw pernah mendengarkan syair yang dibuat untuknya dan pada setiap bait beliau mengatakan, “teruskan!” Di antara syair yang diperdengarkan dan mendapatkan “restu” Rasulullah Saw adalah syair burdah karya Ka’b bin Zuhair.

Burdah sendiri dalam bahasa Arab berarti selimut atau jubah, dalam sejarah Islam ada dua syair burdah yang keduanya ditujukan untuk memuji Rasulullah. Burdah pertama adalah burdah haqiqi karya Ka’b bin Zuhair, dan burdah kedua adalah burdah majazi yang ditulis oleh Imam Bushiri. Kedua syair tersebut diberi nama burdah, karena ada peristiwa pemberian jubah atau selimut dari Rasulullah. Perbedaannya Ka’b mendapatkan burdah dari baginda Nabi secara langsung setelah ia membacakan syairnya, sedangkan al-Bushiri mendapatkan burdah saat bertemu Rasulullah dalam mimpinya.

Baca Juga  Pesan Keadilan Rasulullah dalam Penegakkan Hukum

Burdah Ka’b Bin Zuhair

Burdah haqiqi juga dikenal dengan sebutan syair Banat Su’ad, lantaran sebagaimana tradisi syair Arab jahiliyah, Ka’b memulai syairnya dengan ghazal atau metafor seorang lelaki yang ditinggalkan Su’ad kekasihnya untuk menggambarkan kerinduannya kepada Rasulullah Saw.

Ka’b sendiri lahir dari keluarga penyair, Zuhair ayahnya merupakan salah satu penyair tersohor pada masa jahiliyah. Ka’b tumbuh dalam lingkungan yang peduli dengan sastra bersama saudaranya, Bujair. Yang kemudian Bujair masuk Islam lebih dahulu daripada Ka’b. Kepiawaian Ka’b dalam syair bahkan diakui oleh amiul mukminin Umar bin Khattab, ia menyebut Ka’b sebagai asy’aru an-nas, orang yang paling pandai bersyair.

Kisah Ka’b bermula dari surat yang dikirimkan Bujair kepadanya ketika Rasulullah pulang dari Thaif pada tahun 8 H. Dalam surat itu Bujair memperingatkan agar Ka’b segera masuk Islam agar mendapatkan perlindungan dari Rasulullah, namun Ka’b justru membalasnya dengan syair yang merendahkan Rasulullah SAW. Setelah mendapatkan surat balasan, Bujair membacakan isi surat tersebut kepada Rasulullah, dan beliau menimpali bahwa isi surat tersebut hanya dusta dan penulisnya adalah pendusta.

***

Tidak putus asa, Bujair kembali mengirim balasan surat untuk Ka’b saudaranya. Surat balasan dari Bujair berisi peringatan tentang hari akhir dan agama pagan yang dianut masyarakat jahiliyah termasuk Ka’b tidak akan bisa menyelamatkannya. Surat ini kemudian menjadi titik balik pandangan Ka’b, ia yang sebelumnya membenci Muhammad justru berbalik membuat syair memuji Rasulullah SAW, yang dilatar belakangi rasa bersalah dan keinginannya untuk bertaubat dan menunjukkan keinginannya memeluk agama Islam.

Ka’b kemudian pergi ke Madinah dan mendatangi Rasulullah Saw setelah shalat subuh dengan pakaian yang menyembunyikan mukanya. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah Saw seandainya Ka’b bin Zuhair datang kepadamu untuk menyatakan taubat, apa engkau akan menerimanya?” Rasulullah menjawab, “Tentu saja!” Ka’b kemudian mengaku dan menunjukkan dirinya. Seketika sahabat menyadari pria tersebut adalah penyair yang sudah merendahkan Rasulullah SAW, beberapa orang Anshor kemudian menghunuskan pedangnya pada Ka’b, namun Rasulullah Saw mencegah mereka.

Baca Juga  Cinta Kepada Allah, Teladan Muhabib Abu Handzalah

Setelah suasana mereda Ka’b kemudian membacakan 55 bait syair yang diawali dengan kalimat banat su’ad. Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa kepiawaian Ka’b dalam merangkai kata membuat Rasulullah takjub dan memberikan burdah kepadanya sebagai hadiah, terutama saat Ka’b membaca bait:

إِنَ الرَسُوْلَ لَنُوْرٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ # مُهَنَدٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ مَسْلُوْلُ

Sungguh Rasulullah merupakan cahaya yang menjadi suluh penerang

Layaknya pedang terbaik di antara pedang-pedang Allah

Burdah Imam Bushiri

Syair burdah kedua yang ditulis oleh Imam Bushiri lebih masyhur di masyarakat daripada syair pertama yang umumnya hanya diketahui dan dipelajari pelajar dan akademisi. Beberapa kelompok masyarakat menjadikan pembacaan syair burdah ini sebagai salah satu tradisi keagamaan, terutama pada bulan maulid. Terlepas dari pengaruhnya terhadap spiritualitas pembacanya, kita tidak bisa memandang sebelah mata syair burdah ini dari segi sastranya. Burdah Imam Bushiri telah menginspirasi banyak penyair Arab modern, salah satunya penyair kawakan Ahmad Syauqi yang mengakui kelihaian Imam Bushiri sebagai penyair dengan burdahnya.

Imam Bushiri atau Muhammad bin Sa’id bin Hamad bin as-Shinhaji lahir di salah satu desa Bani Suef, Mesir, tahun 1213. Ia tumbuh dan dibesarkan di desa Bushair yang kemudian menjadi nisbat julukannya al-Bushiri. Masa mudanya dihabiskan dengan menuntut ilmu berguru pada ulama-ulama besar pada masa itu seperti Abu Hayyan al-Gharanathi dan Fathuddin al-Andalusi.

Bushiri dewasa kemudian hidup di tengah masyarakat yang sibuk dengan pergolakan politik dan keinginan duniawi. Hal ini tidak sesuai dengan hatinya yang cenderung untuk mengamalkan kesalehan dengan taqarrub pada Allah, sehingga ia kemudian berhijrah ke kota Alexandria untuk menekuni tasawuf di bawah bimbingan gurunya, Abu Abbas al-Mursi.

***

Pada suatu ketika Bushiri mengalami sakit parah yang sulit untuk disembuhkan. Dalam keputusasaan itu, Bushiri menggantungkan harapan satu-satunya pada kecintaan dan kerinduannya pada Rasulullah Saw. Ia kemudian menulis syair untuk memuji Baginda Nabi Saw, selepas itu ia beristirahat dan dalam mimpinya Rasulullah hadir untuk memberikan burdah kepadanya. Ketika terbangun Bushiri dikejutkan dua hal. Pertama, penyakitnya tiba-tiba telah hilang. Kedua, karena ada orang asing yang kemudian meminta diajari syair yang telah ia tujukan untuk Rasulullah, padahal syair tersebut baru selesai dan belum ia beritahukan kepada siapapun.

Baca Juga  Hijrah Rasulullah (3): dari Pengejaran Suraqah Hingga Motif Hijrah Ummul Qaish

Burdah Imam Bushiri tersusun dari 160 bait yang terbagi dalam sepuluh pasal, tujuh pasal bercerita tentang Rasulullah, satu pasal pembuka yang berupa ghazal, satu pasal penutup berbentuk munajat dan satu pasal khusus untuk nasihat tentang hawa nafsu. Salah satu bait nasihat yang barangkali sering kita dengarkan adalah:

وَالنَفْسُ كَالطِفْلِ إِنْ تٌهْمِلْهُ شَبَ عَلَى # حُبِ الرَضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ

Nafsu itu bagaikan anak kecil, jika kau biarkan ia terus menetek ia tidak akan mau lepas dari ibunya, dan ketika kau paksa untuk disapih maka ia akan mampu melepaskan diri dari ibunya.

Editor: Soleh

Moh Sayidulqisthon Nururrohman
7 posts

About author
Alumni jurusan Akidah Filsafat Universitas AL-Azhar yang sedang menempuh studi magister Akidah FIlsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berprofesi sebagai guru dan pembimbing di pesantren MBS Tuban, desainer grafis lepas dan penulis lepas.
Articles
Related posts
Puisi

Sanggu Guti Ru

1 Mins read
Sanggu Guti RuKarena kau tahu manusia tertatih saat bayiKau tuntun mereka ke ufuk timurMenjumpai Sang Surya agar tulang tulang tak rapuh melemah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *