Masa kejayaan Muhammadiyah secara keseluruhan di Minangkabau dimulai sejak Indonesia merdeka (1945). Yang aktif bukan saja pemimpinnya, tapi juga seluruh anggota Muhammadiyah menurut bidangnya masing-masing. Misalnya, Majelis Pengajaran, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), Ibu-ibu di Aisyiyah, remaja putri di Nasyiatul Aisyiyah, dan lain-lain.
Pada masa itu yang menjadi pimpinan tertinggi Muhammadiyah di Minangkabau adalah Buya Hamka. Pada waktu itu, sudah banyak ulama di Minangkabau yang diberi kepercayaan sebagai pejabat RI, antara lain Buya Saalah Jusuf Sutan Mangkuto menjadi Bupati Solok, Boeya Oedin Kurai Taji diangkat sebagai Bupati Rengat (Indragiri, Riau), Buya Malik Ahmad menjadi Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah, Buya A. Malik Siddik jadi wedana di Payakumbuh, dan D.P St Alimin jadi wedana di Suliki.
Maka tepat sekali masa itu, pucuk pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat atau istilah bahasa Belandanya Consul Hoofdbestuur jatuh ke tangan Buya Hamka. Hamka muda yang saat itu masih berusia 38 tahun telah sukses menjadi Panitia Kongres Muhammadiyah ke-28 di Kota Medan.
Yang menarik adalah kesaksian hidup Hj. Rosma Djanin (87 tahun) seorang aktivis Aisyiyah Kubang mengenai kunjungan Buya Hamka dan Boeya Oedin ke ranting. Dulu, pimpinan Muhammadiyah Sumatera Tengah sering berkunjung ke ranting-ranting yang jauh dari Padang Panjang. Satu hal yang jarang ditemukan pada masa kini.
Buya Hamka dan Boeya Oedin ada dua sampai tiga kali turun ke setiap ranting, seperti di Andaleh, Batuhampar, Kubang, Simalanggang, dan lain-lain. Padahal, transportasi waktu itu sulit.
Selain kedua orang ini juga pernah ikut Buya AR Sutan Mansur, Buya Duski Samad, Buya Zas, Buya Zulkarnain, Malik Ahmad, A. Malik Siddik, DP Sati Alimin, Rasjid Nur, dan lain-lain. Biasanya, aktivis-aktivis Muhammadiyah tersebut, kenang Hj. Rosma, dijemput ke markas Daerah Muhammadiyah Payakumbuh di Bunian kemudian naik sado ke ranting-ranting.
Pada tahun 1947 Buya Hamka dan Buya Oedin datang ke Kubang, Payakumbuh. Waktu itu Hamka berpidato di hadapan kader Aisyiyah dan Muhammadiyah. Ratusan simpatisan organisasi modernis ini telah berkumpul di tempat yang telah ditentukan.
Mendamaikan Friksi
Maksud kedatangan Hamka dan Buya Oedin saat itu adalah menjernihkan konflik di tubuh Masyumi. Terdapat friksi di tubuh partai bulan bintang tersebut, yakni antara Masyumi yang anggota dari Muhammadiyah (Masyumi-Mhd) dan Masyumi dari anggota Majelis Islam Tinggi (Masyumi-MIT).
Gesekan antara Masyumi-Mhd dan Masyumi-MIT rupanya telah membias pada dua barisan laskar di bawah naungan Masyumi, yakni Tentara Hizbullah yang didukung Muhammadiyah dan Barisan Sabilillah yang didukung organisasi pimpinan Syech Moh. Jamil Djambek itu.
Mengetahui ada konflik seperti itu, Buya Oedin yang tampil berpidato sebelum Hamka dengan suara lantang menegaskan, dialah yang membawa Masyumi dari Jawa ke Minangkabau. Moh. Natsir berpesan kepada pendiri Muhammadiyah Kurai Taji itu, untuk menjaga kekompakan di antara umat Islam. “Masyumi tempat kita berpolitik dan berjuang. Sedangkan Muhammadiyah tempat kita beramal,” Buya Oedin mengingatkan.
Buya Oedin menekankan, tak ada Masyumi-Mhd dan tak ada Masyumi-MIT. “Masyumi adalah satu, musuh bersama adalah Belanda, NICA, dan tentara sekutu Inggris. Hizbullah dan Sabilillah pergi mencari syahid ke medan perang Padang Area,” kata Buya Oedin.
Editor: Arif dan Nabhan