IBTimes.ID, Jakarta – Tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama, politik, dan aktivisme lintas iman, Gus Dur juga dikenal dengan kepeduliannya terhadap isu kesetaraan perempuan. Hal ini tercermin dalam kebijakan yang ia buat semasa kepemimpinannya, juga spirit pemikirannya yang terus dirawat oleh figur-figur di sekitarnya. Salah satunya ialah Husein Muhammad atau Buya Husein, tokoh agama yang juga dikenal sebagai pemikir feminis Islam.
Dalam Konferensi Pemikiran Gus Dur yang diselenggarakan oleh Jaringan GUSDURian pada Jum’at (29/8/25), sosok yang akrab disapa Buya Husein itu menyampaikan pandangannya tentang Gus Dur dan keadilan gender.
Buya Husein mengawali pemaparannya dengan gagasan pluralistik yang mendasari sikap dan kebijakan Gus Dur. Ia mengutip, “Semua agama adalah jalan menuju Tuhan dan semuanya memimpin manusia menuju moralitas.”
Menurutnya, semua agama berbagi visi yang sama untuk memimpin manusia ke jalan hidup utama dengan kehidupan sosial yang baik, penuh rasa persaudaraan, cinta, dan kasih sayang serta adil. Visi inilah yang kemudian memampukan agama mengambil peran sebagai basis etika sosial dan moral.
Dalam praktiknya, Buya Husein menyampaikan, Gus Dur memiliki beberapa gagasan utama yang kemudian ia terapkan dalam keseharian dan kepemimpinannya. Salah satunya adalah pandangan yang menempatkan perempuan sebagai sosok setara, terhormat, dan berdaya.
Ia membacakan penggalan puisi Maulana Jalaluddin Rumi yang dapat diartikan sebagai:
“Perempuan diciptakan dari cahaya Tuhan. Dia bukan sekadar kekasih. Bahkan, bukan sekadar makhluk. Perempuan adalah kreator.”
Buya Husein menerangkan bahwa semua manusia lahir dari seorang perempuan. Sesungguhnya, perempuan memiliki kontribusi signifikan terhadap kehidupan. Perempuan sebagai ibu tidak hanya perihal mengandung dan melahirkan, tetapi juga sering kali merawat, membesarkan, dan bahkan menginspirasi. Melalui pemaknaannya yang mengakui perempuan sebagai sosok yang setara, terhormat, dan berdaya, Buya Husein mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana kita dapat memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa perlakuan yang adil terhadap perempuan sejalan dengan visi agama yang telah dipaparkan Buya Husein di awal. Tidak ada satupun agama yang mencita-citakan diskriminasi dan ketimpangan. Semua agama mengarahkan umatnya pada penghormatan dan keadilan.
Mengakui perempuan sebagai sosok yang setara, terhormat, dan berdaya lantas menjadi bagian dari nilai-nilai luhur yang diajarkan agama. Kepekaan gender dan sensitivitas terhadap ketidakadilan lantas menjadi sesuatu yang perlu seseorang miliki sebagai bagian dari kesempurnaan beragama.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Abu Bakar Ar-Razi yang Buya Husein kutip dalam pemaparannya. Menurut Ar-Razi, manusia dihadirkan ke dunia untuk menggunakan akalnya dalam mencari kebenaran, memahami alam, dan memajukan kehidupan sosial. Tujuan hidup manusia adalah untuk memulihkan jiwa dari sikap abai, hasrat duniawi yang destruktif, dan korupsi moral. Dengan demikian, penggunaan akal untuk menolak diskriminasi gender bukan hanya wujud utuh sebagai umat beragama, tetapi juga tuntutan eksistensial sebagai manusia.
(Nurma/Soleh)

