Belum ada tokoh bangsa yang ditulis di harian Kompas yang kematiannya seperti dirayakan. Benar kata pepatah manusia mati meninggalkan nama. Buya meninggalkan bukan hanya nama, tetapi juga dedikasi, integritas, cinta yang utuh kepada bangsanya.
Dulu ia seorang yang kuat dalam menegakkan argumen pentingnya negara Islam. Setelah pulang dari Amerika dan berguru kepada cendekiawan asal Pakistan, Fazlurrahman pemikirannya berubah 180 derajat. Ia merefleksikan secara mendalam dan menyerap ajaran gurunya itu. “Jalan formalisme negara Islam hanya akan menemui satu hal: kegagalan” ujarnya.
Totalitas hidupnya dalam mencintai Indonesia ia wujudkan dalam gagasan yang ia tulis melalui buku-bukunya dan kontribusi nyata melalui gerakan Muhamadiyah yang ia cintai. Ia pernah jatuh tersungkur di titik nadir dengan ujian yang hampir sebagian besar rakyat Indonesia mengalaminya : didera kemiskinan akut. Buya tidak tumbang, ia tegak sebagai pendekar dan kesatria. Ujian yang datang kepadanya membuat kita ingat tidak setiap orangtua mampu menahan kesedihan kehilangan kedua anaknya karena faktor kemiskinan.
Buya melanjutkan derap hidupnya dengan menapaki jalan pengetahuan yang sunyi dan sepi. Buku-buku dari berbagai khazanah ia lahap. Ia pertajam analisanya untuk menganalisa persoalan bangsa ini. Bahasanya kalem, tetapi meninju. Kritiknya tajam tetapi anti sinisme. Buya disegani karena lakunya seiring dengan yang ia tulis dan ucapkan. Satu kata antara nurani dengan laku kesehariannya.
Keseharian-kesehariannya menampakkan seorang yang amat bersahaja. Ia tidak peduli kata orang tentang baju yang dipakainya. Ia lebih memilih kesederhanaan yang menjaga nurani dan juga mentalitasnya sebagai “manusia merdeka”.
Sebagai pemimpin ormas terbesar di Indonesia ia jarang tampil dengan pencitraan. Sikap dan laku sebagai “orang biasa” justru membuatnya makin disegani dan dihormati.
***
Tanggungjawab dan juga beban yang diembannya dilakukan dengan penuh totalitas dan pengabdian yang tulus. Segala bantuan dan uang yang mengalir untuk dirinya ia salurkan untuk kepentingan organisasinya. Buya bukan orang yang aji mumpung dalam bahasa orang Jawa. Ia justru membawa organisasi yang dipimpinnya ke kancah mancanegara. Ia merindukan bangsa yang bersatu, kuat dan bergandeng bersama tanpa syak wasangka.
Ia menjadi garda depan melawan ekstrimisme maupun terorisme. Ia pun menegakkan panji anti negara Islam dan menulis buku bersama Gus Dur bertajuk Ilusi Negara Islam yang membuat kalangan Islam kanan kebakaran jenggot.
Buya menyadari penuh Islamnya adalah Islam yang rahmatan lil ngalamin. Ia sadar islam rahmah tidak bisa tidak harus terdepan dalam mengentaskan kemiskinan dan peduli masalah kemanusiaan. Melalui Muhammadiyah yang ia cintai dan Maarif Institute yang ia dirikan ia mencoba bergerak dan menjadi mujahid yang melawan sesuatu yang mengusik nurani dan kemanusiaan.
Musuh dan pembencinya tidak membuatnya berhenti untuk menegakkan panji Islam yang penuh rahmat. Banyak kalangan lintas agama menjadi sahabatnya dalam kerja kemanusiaan. Melalui Maarif Award ia angkat orang-orang yang bekerja untuk kemanusiaan dan kesatuan bangsa ini ke dalam panggung sejarah keteladanan dan kebangsaan.
Menjadi pejabat dan orang lingkaran pemerintahan membuatnya tetap tawadu’ serta konsisten dalam sikap dan laku hidupnya yang jauh dari hingar bingar dunia jabatan dan harta. Ia memilih menepi menjadi resi dan hidup dalam kegelisahan yang tak berkesudahan sebagai seorang intelektual yang asketis.
Dalam rentang usia yang panjang itu, Buya mendedah ribuan jejak keteladanan dari keluarga, lingkungan masyarakatnya sampai bangsa dan negaranya. Layak bila ia menyandang gelar—guru bangsa.
Ia telah menunaikan tugasnya sebagai manusia yang autentik dan paripurna bagi bangsa dan negaranya.
Editor: Yahya FR