Inspiring

Abû Zahrah, Penggagas Usul Fiqh Lintas Mazhab

3 Mins read

Pada abad ke-19 Masehi, beberapa tokoh pembaru menyadari bahwa salah satu sebab dari kemunduran Islam adalah anggapan bahwa pintu ijtihâd telah tertutup. Mereka bersikeras menegaskan bahwa penutupan ijtihâd tidak pernah ada dan tak ada orang yang berhak menutupnya.

Hal itu pernah diungkapkan oleh Rifâ‘ah Râfi‘ al Tahtâwî (w.1873 M) di Mesir pada pertengahan pertama abad ke-19 M. Dan kemudian secara tegas diungkap oleh Jamâl al-Dîn al-Afghânî (w. 1897 M), Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M), Ahmad Khân (w.1898 M) dan lain-lain pada pertengahan abad ke-19 Masehi.

Pada abad ke-20 Masehi, telah umum diakui bahwa pintu ijtihâd tidak tertutup. Salah seorang pembaru Islam abad keduapuluh Masehi adalah Syaikh Muhammad Abû Zahrah (1898-1974 M), seorang ulama besar Mesir dan seorang ahli hukum Islam terkemuka di dunia.

Muhammad Abû Zahrah adalah Muhammad b. Ahmad b. Mustafâ b. Ahmad b. ‘Abd Allâh. Ia dilahirkan pada tahun 1316 H atau bulan Maret tahun 1898 M di al-Mahallâ al-Kubrâ.

Abû Zahrah memulai menimba ilmu di Kuttâb (Madrasah Dînîyah di serambi Masjid) dan Madrasah Awwalîyah (sekolah dasar). Di sini, ia mempelajari dasar-dasar ilmu membaca dan menulis. Kemudian ia melanjutkan ke sekolah menengah.

Di sekolah ini, ia menyempurnakan hafalan Al-Qur’ân dan pelajaran ilmu-ilmu modern seperti matematika, geografi di samping ilmu-ilmu bahasa Arab. Sekolah-sekolah menengah pada saat itu merupakan tahap pembelajaran yang menentukan jenjang-jenjang pendidikan berikutnya.

Pada tahun 1913 M, Abû Zahrah memasuki Universitas al-Ahmadî di Tantâ dan kuliah di sana selama tiga tahun, karena ia kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Hakim Agama (al-Madrasah al-Qadâ’ al-Shar‘î).

Pada tahun 1916, Abû Zahrah memasuki Perguruan Tinggi Hakim Agama (Madrasah al-Qadlâ’ al-Shar‘î) setelah melalui persaingan yang ketat untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi tersebut.

Baca Juga  Gus Dur dan Kebiasaan Nongkrong di Kedai Kopi
***

Menurut Harun Nasution, pendirian perguruan tinggi ini merupakan salah satu bagian dari pembaruan dalam institusi hukum di Mesir yang ditujukan untuk memberikan pendidikan modern bagi calon hakim agama. Pembentukan integritas keilmuan dan keluasan wawasannya terbentuk dan menjadi sempurna di lembaga pendidikan ini.

Abû Zahrah sendiri lulus dari Perguruan Tinggi Hakim Agama pada tahun 1925. Bila doktor Ahmad Amîn adalah lulusan pertamanya, maka Abû Zahrah adalah lulusan terakhirnya.

Ia kemudian bekerja magang sebagai pengacara selama satu tahun. Selanjutnya, ia meneruskan pendidikan dengan mengambil program diploma penyetaraan sertifikat mengajar di Universitas Dâr al-‘Ulûm selama satu tahun dan lulus pada tahun 1927.

Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai dosen dengan mata kuliah hukum Islam, tafsir, ilmu-ilmu keagamaan, dan Bahasa Arab pada Sekolah Persiapan Universitas Dâr al-‘Ulûm selama satu tahun mulai 10 Oktober 1927 M sampai 14 November 1928 M di samping tetap mengajar di almamaternya, Perguruan Tinggi Hakim Agama.

Namun ia tetap terus mengajar di Sekolah Persiapan tersebut sampai tahun 1930 M. Kemudian ia berpindah untuk mengajar di sekolah-sekolah menengah umum al-Thanâwî al-Âm selama 2 tahun 6 bulan setelah dibubarkannya Sekolah Persiapan sampai tahun 1932.

Ketika terjadi program pertukaran dosen antara Kementerian Pendidikan (Wizârat al-Ma‘ârif) dan Lembaga Pendidikan Agama (Idârat al-Ma‘âhid al-Dînîyah) pada awal Januari tahun 1933, Abû Zahrah pindah ke Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar untuk mengajar matakuliah al-Jadal wa al-Khitâbah (debat dan retorika), Sejarah Agama-agama, dan Keyakinan dan Aliran Kepercayaan pada Program Studi Penyiaran Agama Islam (Qism alWa‘z} wa al-Irshâd).

***

Di sini, ia menelorkan beberapa karya, antara lain: al-Khitâbah, Târîkh al-Jadal, Târîkh al-Diyânât al-Qadîmah, dan Muh}âd}arât fî al-Nasrânîyah yang telah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa asing.

Baca Juga  Khaby Lame: Hafiz Al-Qur’an yang Jadi Raja TikTok

Karir Abû Zahrah secara akademik terus menanjak di Fakultas Hukum mulai dari sebagai mudarris (dosen biasa), lalu menjadi ustâdh musâ‘id (asisten profesor), kemudian menjadi ustâdh (guru besar) yang memiliki jabatan sampai dengan Ketua Program Studi Sharî‘ah sampai ia memasuki usia pensiun pada tahun 1958.

Meski sudah pensiun, ia tetap mengajar di Fakultas Hukum sampai terbitnya instruksi dari penguasa kepada Fakultas Hukum dan Universitas Dâr al-‘Ulûm agar melarang Abû Zahrah untuk mengajar di Fakultas Hukum.

Namun semua itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melangkah menyebarkan dan menyatakan pikiran-pikirannya secara kritis mengenai problem-problem umum yang penting yang dihadapi umat meskipun pandangannya berseberangan dengan penguasa.

Membuka Pintu Ijtihad

Abû Zahrah menegaskan bahwa tak seorang pun berhak menutup pintu ijtihâd yang telah dibukakan Allah bagi akal manusia. Jika ada yang menyatakan demikian, pasti ia tidak memiliki dalil yang menjadi pijakan dan penutupan itu menjauhkan umat manusia dari al-Qur-ân, Sunnah dan athar ulama salaf yang saleh.

Dalam berijtihad Abû Zahrah memerlukan metode ijtihâd, maka untuk keperluan tersebut, ia kemudian menulis kitab Usûl al-Fiqh. Dalam karyanya, Abû Zahrah mengemukakan cara-cara istinbât hukum melalui sumber-sumbernya.

Untuk ber-istinbât, seseorang harus memenuhi seperangkat kualifikasi pengetahuan yang komprehensif tentang substansi materi sumber-sumber hukum dan perangkat yang dipakai sebagai penunjangnya. Karya Abû Zahrah ini berbeda dengan karya sejenis sebelumnya. Dalam menulis kitab ini, Abû Zahrah meliberasi dari segala ikatan mazhab.

Ia menampilkan suatu paradigma Usûl al-Fiqh lintas mazhab dengan metode komparatif. Pendapat para ahli ushuliyyun dikemukakan lengkap dengan ragam argumentasi normatif berbasis al-Qur-ân, Sunnah, maupun hujjah-hujjah aqlîyah.

Kemudian ia mengomparasikan pendapat, komentar, dan kritik para ulama terhadap berbagai masalah, serta mengurai lebih kelebihan maupun kelemahan masing-masing pendapat. Akhirnya, ia melakukan tarjîh dan menetapkan salah satu pendapat yang ia dukung dengan argumentasi yang universal dan komprehensif. Tarjîh yang dilakukannya merupakan hasil pemikiran orisinalnya.

Baca Juga  Belajar dari Keberanian Abbas Mahmud al-Aqqad

Sumber: Abdul Basith Junaidy, “Memahami Maslahat Menggunakan Pendekatan Filsafat Utilitarianisme Menurut Muhammad Abû Zahrah”, ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman Volume 8, Nomor 2, Maret 2014; ISSN 1978-3183; 341-367

Editor: Yahya Fathur Rozy

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *