Inspiring

Buya Syafii: Agama dan Kebhinekaan untuk Kemanusiaan Universal

3 Mins read

Telah menjadi satu hal yang niscaya bahwa agama dan kebhinekaan saling berkait-berkelindan, dan bukannya saling menegasikan. Buya Syafii menyebut bahwa agama dan kebhinekaan harus dibaca dalam satu tarikan napas. Tulisan ini bermaksud menggali kembali pikiran Buya Syafii meski tubuhnya telah terkubur ke dalam bumi.

Perbedaan Sebagai Rahmat

Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan tokoh yang cukup lantang berbicara soal kebhinekaan. Sesanti yang mengakui keragaman dan perbedaan penduduk Indonesia, sekaligus merangkul perbedaan itu dalam bingkai persatuan. Buya meyakini bahwa sejatinya perbedaan adalah rahmat dari Tuhan yang mesti disyukuri. Salah satu bentuk syukur itu adalah mengelola perbedaan menjadi kekuatan, menghindari perpecahan.

Bukankah Tuhan telah memerintahkan manusia untuk saling mengenal karena alasan perbedaan itu sendiri? (QS. 49: 13). Aristoteles, seorang ahli pikir Yunani kuno menyebut manusia sebagai zoon politicon. Bahwa manusia memiliki sifat dasar alamiah untuk bergaul dan berkumpul dengan sesamanya. Berangkat dari gagasan tersebut, baik dari perspektif teologis maupun filosofis sama-sama menguatkan keyakinan bahwa manusia memang dituntut untuk berkumpul, bersyarikat, dan bermasyarakat tanpa mempersoalkan latar belakang keyakinan, suku, keturunan maupun kelompok politik.

Akan tetapi yang disebut terakhir, yakni kelompok politik adalah yang paling sulit untuk dikontrol dan sering kali memicu ketegangan di masyarakat. Buya Syafii sendiri mempertanyakan, dapatkah dakwah sebagai misi agama yang penuh dengan pesan-pesan kedamaian dipertautkan dengan politik yang sarat dengan konflik kepentingan?

Dalam salah satu catatannya berjudul Dakwah dan Politik: Mungkinkah Diintegrasikan? Buya menulis; “Dakwah ingin mempersatukan umat manusia, sementara politik menciptakan polarisasi kawan dan lawan, demi kepentingan jangka pendek” (2019: 147).

Polarisasi Mengancam Kebhinekaan

Di Kompas (26/01/2023), Ulil Abshar-Abdalla menengarai bahwa terdapat dua jenis polarisasi atau pengutuban politik. Pertama, pengutuban alamiah yang disebabkan oleh keragaman kelompok politik dan merupakan sebuah kewajaran. Kedua, pengutuban yang berujung pada antagonisme sosial. Ini tidak lain dipicu oleh dinamika sosio-politik tertentu yang juga membutuhkan pelbagai analisis untuk mendeteksi kemungkinan penyebabnya.

Baca Juga  Obituari Ustazah Tuti: Pemimpin Teduh, Pendidik yang Melintas Batas

Pengutuban politik jenis kedua, menurut Buya Syafii tidak akan pernah dapat diintegrasikan dengan dakwah. Satu-satunya jalan untuk mendamaikan kedua sistem nilai itu (politik dan agama) adalah bila mana kita mau meningkatkan persepsi kita tentang makna kehidupan yang dibantu dengan supra-akal berupa wahyu (2019: 148).

Itu berarti, mau tidak mau kegiatan politik mesti diorientasikan kepada tujuan-tujuan dakwah. Dengan begitu, politik sebagai kendaraan akan tunduk pada ketentuan-ketentuan moral yang telah digariskan oleh agama. Sampai di sini, masalah polarisasi bukan sudah selesai. Sebab kendati agama dan politik telah terintegrasi, tafsir soal keberagmaan sendiri punya sejarah panjang yang justru telah mengkotak-kotakan penganut agama menjadi beberapa golongan.

Politik dan Tafsir Keberagamaan

Pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Sang penuntun moral umat manusia, sahabat dituntut untuk melakukan ijtihad mengenai tafsir keberagamaan yang relevan dengan kondisi saat itu. Sayangnya, tidak satu pun di antara mereka yang se-iya sekata dalam berijtihad mana kala bersinggungan dengan politik.

Masing-masing teguh dengan prinsipnya dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Padahal kebenaran bukanlah sesuatu yang -meminjam istilah Hans Kung- “ready made” yang terpajang di rak-rak supermarket dan dapat kita ambil sewaktu-waktu dibutuhkan.

Kebenaran ada dalam pergulatan hidup yang serba dinamis dengan segala ambiguitasnya. Sempalan pengikut Ali bin Abi Thalib, Khawarij mengetengahkan sebuah slogan “Tidaklah ada hukum itu, kecuali hukum Allah,” berdasarkan surah al-An’am: 57, lalu menghalalkan darah lawan politiknya.

Dari penggalan sejarah ini, Buya hendak mengajak kita untuk mempertanyakan; bukankah sahabat adalah orang yang dekat dengan Nabi dan beriman terhadap apa yang diajarkannya? Lantas, mengapa mereka gagal menggunakan rambu-rambu Al-Qur’an untuk menyelesaikan masalah-masalah sengketa politik? Sebaliknya, sahabat justru menggunakan Al-Qur’an untuk memukul lawan politiknya (2022: 15).

Baca Juga  SETARA Institute: Respon Pemda terhadap Diskriminasi Ahmadiyah Beragam

Tanpa bermaksud merendahkan para sahabat sedikit pun, Buya menghendaki agar kita jujur dalam melihat sejarah. Menurutnya, untuk melihat agama dan kebhinekaan yang ideal kita mesti mengedepankan tafsir agama yang lebih inklusif, berwawasan terbuka dan toleransi terhadap sesama.

Kemanusiaan Universal: Inti Pesan Al-Qur’an

Kaitannya dengan itu, ibarat pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, pemikiran Buya memiliki letak kesamaan dengan gurunya Fazlur Rahman. Saat menguraikan catatan sang guru berjudul “Tema-tema Pokok Al-Qur’an”, Buya dengan tegas menolak paham agama yang bercorak teosentris dan tidak berpihak pada masalah kemanusiaan. Menurutnya, Al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai moral yang menuntun manusia agar terhindar dari kekuatan jahat. Kekuatan jahat yang dimaksud adalah “setan” yang kerap kali digambarkan dalam keyakinan agama sebagai makhluk gaib yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Di sisi lain, untuk menghadapi kekuatan jahat itu, diperlukan perilaku takwa yang dimaknai oleh Buya sebagai upaya melindungi diri seseorang menghadapi konsekuensi-konsekuensi berbahaya atau buruk dari perbuatan seseorang (2022: 10).

Lebih lanjut, Buya menekan pentingnya memahami tujuan Al-Qur’an. Yakni membangun sebuah tatanan sosial di atas prinsip keadilan dan etika demi menjamin kelangsungan kehidupan manusia. Menginterpretasikan Al-Qur’an secara parsial dan kaku sehingga berujung pada paham sektarian hanya akan mendistorsi pesan kemanusiaan universal yang terkandung dalam Al-Qur’an itu sendiri.

Argumen ini patut dimengerti lantaran Buya sendiri banyak menggugat pemikir Barat yang memandang keliru soal agama. Sebut saja salah satunya Bertrand Russel, filsuf agnostik berkebangsaan Inggris yang menolak agama sebab dianggap tidak benar dan memiliki daya rusak.

Pada akhirnya, kita dituntut untuk lebih jeli dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an dengan mengedepankan tafsir atau model pemahaman yang terbuka dan kontekstual. Dengan begitu, kehidupan yang damai, aman, dan sentosa dalam kehidupan beragama dan kebhinekaan baru akan dapat tercipta.

Baca Juga  Buya Syafii Maarif: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan

Editor: Soleh

Rizal Firmansyah Putra Moka
3 posts

About author
Mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *