Buya Syafii Bagai Kitab Terbuka
Alhamdulillah, jauh dari kaki Gunung Kerinci, pingiran atap Sumatera dan Puncak Andalas, saya diperkenankan berkenalan dan berkomunikasi dengan Yth. Buya Ahmad Syafii Maarif. Secara fisik saya belum pernah bertemu dengan beliau, saya hanya menjalin komunikasi melalui SMS dan WA saja. Itu atas bantuan dari salah seorang kader DPP IMM.
Buya Syafii yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tanggal 31 Mei 1953. Alhamdulillah, beliau sudah menunjukkan kiprah yang gemilang bagi bangsanya, Indonesia.
Baik melalui karya tulis, maupun amal kemanusiaan beliau di persyerikatan Muhammadiyah dan lembaga nirlaba lainnya, maupun dalam pergaulan internasional beliau semasa menjadi Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) yang berpusat di Amerika.
Bagaikan “kitab terbuka”, “lembaran-lembaran” kehidupan Buya Syafii apa adanya dan begitulah adanya. Tidak ada “topeng” kepalsuan dalam hati, kata, dan laku hidup beliau; terjauh dari narasi “gincu” yang tampak mempesona namun esensinya hanya fatanorgana; dan sikap berpikir merdeka beliau tanpa ada tendensi ambisi, materi, kursi, gensi dan sensasi.
Beliau bersikap sebagaimana harus dan layaknya bersikap, walaupun beliau menghadang hoaks, fitnah, celaan dan caci maki dari segala arah, yang membidik dan “memanah” kesadaran insani beliau. Tapi beliau tetap menjadi diri beliau yang autentik: tegar dan tak gentar.
Buya yang Cendikia dan Cendikia yang Buya
Terminilogi cendikiawan biasanya disematkan kepada para akademisi, ilmuwan dan intelektual yang terbiasa memproses diri dalam tradisi akademik, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Terkadang cendikiawan diasosiasikan dengan tokoh pemikir dalam masyarakat perkotaan, metropolitan, dan kaum terpelajar. Terkadang sering berjarak dengan realitas masyarakat bawah, wong cilik, kaum marhen, dhuafa, yang termarginal lainnya. Sehingga cendikiawan tersebut sering disebut “menara gading”; nasik berterori dan beretorika tapi tidak pernah merasakan realitas yang sesungguhnya.
Sedangkan buya atau sebutan lain seperti Kiyai, Tengku, Teungku, Anjengan, Tuan Guru, dan sejenisnya, merupakan sebutan bagi orang alim yang memiliki integritas moral dan ilmu serta pengalaman hidup.
Sehingga sosok buya dipandang oleh masyarakat desa yang agraris maupun di masyarakat pesisir pantai, melebihi kemampuan para cendikiawan di perkotaan. Buya di desa atau kampung menjadi “referensi” masyarakat (umat) dalam segala hal. Maka terkadang acara keagamaan terasa sakral apabila dihadiri buya, baik karena nasehat dan khotbahnya yang menyentuh kalbu, juga karena laku hidupnya sangat sederhana.
Nah, Buya Syafii memiliki kemampuan berkomunikasi dan menjembatani antara posisi beliau sebagai cendikiawan di kampus dan masyarakat kota dengan gelar Buya yang disematkan masyarakat sebagai orang yang peduli dengan sosial dan psikologis masyarakat kalangan bawah.
Buya Syafii Maarif sebagai Mata Air Keteladanan Bangsa
Bagi kebanyakan laki-laki mungkin akan membesarkan bias gender, bahwa, tugas membersihkan rumah, menyapu halaman rumah, belanja ke warung, dan menstrika pakaian sendiri adalah tugas pokok dan fungsi istri dalam rumah tangga. Sungguh sangat berbeda dengan sosok Buya Syafii. Beliau menjadikan teladan untuk diri beliau sendiri.
Beliau terbiasa melakukan pekerjaan rumah, seperti: membersihkan rumah, menyapu halaman rumah, belanja ke warung, dan menstrika pakaian sendiri, tanpa membebani istri dan tanpa perlu pakai “asisten” rumah tangga.
Bukan hanya pekerjaan rumah, untuk urusan yang bersifat privasi saja beliau tidak perlu ada pengawal, tidak ada ajudan yang membukakan pintu mobil, dan beliau merasa lebih nyaman dengan bersepeda dan bisa bertegur sapa dengan para tetangga.
Dan, pantangan bagi beliau adalah tidak mau merepotkan orang lain. Bahkan, orang yang berharap-harap supaya bisa “direpotkan” oleh Buya, justru tidak pernah diminta tolong dan diminta bantu oleh beliau, termasuk saat sakit pun beliau melakoni, menjalani dan menikmati sendiri, apapun keadaan yang datang menimpa beliau, tidak banyak yang tahu.
Bagi saya, Buya Syafii Maarif adalah mata-air keteladanan dalam banyak hal, baik kejujuran, kesederhanaan, sikap hidup, tindakan nyata dan berbagai profil kebaikan lainnya.
Di zaman akhir, banyak pejabat yang mempertontonkan kedigdayaan diri dalam meraih kursi; menonjolkan capaian ekonomi dalam materi; menyebarkan rentetan ambisi yang wajib diwujudkan; memviralkan “topeng” kepalsuan dengan aksi dalam poto untuk sekedar sensasi; dan, menebarkan pesona materi di tengah pandemik hanya demi gensi; serta, memvidiokan diri sedang beribadah demi disebut orang saleh dan dianggap dapat meraih repotasi tinggi.
Allah telah menitipkan “cermin” bangsa dari seorang tokoh bangsa (guru bangsa) yakni Buya Ahmad Syafii Maarif. Beliaulah guru yang tidak membusungkan dada karena ilmu yang dimilikinya, dan beliaulah bapak yang tidak pernah membedakan dan merendahkan siapapun yang ada dihadapannya.
***
Beliaulah manusia “baja” yang bila dipuji tidak terbang, saat dicaci tidak tumbang, dan ketika difitnah tidak meradang.
Beliaulah cermin bangsa dan mata-air keteladanannya sungguh luar biasa!
Dalam pengkhidmatannya pada bangsa Indonesia tidak bisa diragukan, perpaduan keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan menjadi ciri khas prototipe wajah Islam dan keindonesian yang mengedepankan karakter santun, ramah, tengahan, moderat, pluralis, dan berwatak keilmuwan dalam wujud gerakan ilmu.
Timbangan kebenaran yang beliau yakini menjadi sikap nyatanya di hadapan publik, walaupun beliau dihadang benci, caci, maki, cemeeh, olokan, fitnah dan ujaran kebenciaan tanpa nalar nurani dan kemanusiaan oleh orang yang merasa dirinya benar dalam klaim kebenaran diri, sekte, mazhab, firqah, ormas/OKP, dll. Beliau tetap kokoh sebagai diri sendiri!
Beliau telah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga beliau tidak membalas sikap su’ul adab para pembenci yang menghadang beliau dalam berbagai kesempatan, baik dunia maya maupun di kehidupan nyata.
Pembelaan beliau pada kemanusiaan sangat luar biasa tanpa tendensi suka, agama, ras, antargolongan. Siapapun beliau terima dengan tulus sebagai karakter persahabatan, dan siapapun yang menjadi korban kekejaman kemanusiaan, bahkan pelaku teror yang di rumah sakitpun beliau besuk ke rumah sakit, itu menunjukkan sebagai karakter welas asih, dan beliau menuntun pelaku teror tersebut ke jalan yang benar di hadirat Allah Swt.
Dalam kesempatan lain, beliau ikut andil dalam membina dan membantu keluarga mantan terorisme untuk bisa memiliki pekerjaan dan bisa mengenyam pendidikan.
MAARIF Institute sebagai Amal Intelektul dan Kemanusiaan Buya Syafii Maarif
Problematika beragama di abad globalisasi mengalami batu ujian yang berat, karena berhadapan dengan era kelimpahan semua sektor kehidupan, sehingga agama yang dianggap wilayah privat sering berbenturan dengan kepentingan publik.
Benturan tersebut berkembang pada cara pandang keagamaan yang ekslusif tanpa bisa terbuka menerima pandangan yang lain dengan stigma, dogma, dan doktrin keagamaan. Dan, pada akhirnya berujung dengan sikap penyudutan dan vonis yang tidak mengindahkan harmoni sosial dan budaya sebagai bangsa.
MAARIF Institute yang kelahirannya diinisiasi oleh beberapa tokoh penting di PP Muhammadiyah, diharapkan menjadi wahana pengembangan pemikiran Islam yang penuh keragaman menjadi kekhasan Indonesia yang mengedepankan cara pandang agama yang terbuka, moderat (wasathiyah), argumentatif dengan citra Islam yang ramah, sejuk, damai, humanis dan berbudaya.
***
Selain itu, diharapkan dapat menjadi mediasi perbedaan pemikiran dengan mengedepankan dialog dan komunikasi dalam bingkai budaya keindonesiaan dan kemanusiaan, sehingga terbangun kesadaran dan keadaban. Ini berhadapan dengan realita kehidupan beragama dan berbudaya yang terkadang intoleran dan sikap eksklusif lainnya.
Sebagai nirlaba tentu institusi tersebut memiliki kemampuan untuk meneguhkan komitmen demi mewujudkan tatanan masyarakat yang harmonis, demokratis, dan berkeadaban serta berbudaya Indonesia yang berbasis pada nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan di Indonesia.
Hal tersebut memerlukan, yakni: (1) Mengembangkan wacana dan pemikiran alternatif tentang kajian keislaman dan kemanusiaan di Indonesia; (2) Melakukan proses penguatan masyarakat madani dengan gerakan literasi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat, kampus perguruan tinggi, sekolah/madrasah dan pesantren, perkantoran, ormas dan OKP, komunitas/paguyuban serta masyarakat pinggiran di akar rumput.
Kemudian nilai-nilai yang dikedepankan adalah: Keadilan, kebersamaan dan kemandirian.
Sebagai lembaga nirlaba tentu mandat yang diemban adalah: Persemaian wacana dan pemikiran yang kritis-konstruktif dan kritis-solutif yang berkaitan dengan ke-Islaman dan kemanusian Indonesia. Dan, penguatan masyarakat madani dengan gerakan literasi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat, kampus perguruan tinggi, sekolah/madrasah dan pesantren, perkantoran, ormas dan OKP, komunitas/paguyuban serta masyarakat pinggiran di akar rumput.
Isu-isu strategis yang dikembangkan dikalangan milenial, yakni: (1) Penguatan pemikiran Islam dan budaya keberagamaan yang moderat, terbuka, toleran dan inklusif; (2) Memperkuat jaringan untuk pemberdayaan masyarakat madani di segala lini; (3) Berpartisipasi dalam menciptakan sistem politik yang demokratis dengan edukasi politik yang sehat dan mencerdaskan; dan (4) Memperkuat kapasitas lembaga dengan gerakan literasi semua lini pendidikan.
Dari visi, misi, prinsip, mandate dan isu-isu strategis yang dikembangkan oleh teman-teman di MAARIF Institute. Maka dapat diambil konklusinya, bahwa MAARIF Institute merupakan amal intelektual dan kemanusiaan Buya Syafii untuk Indonesia dan dunia.
Kemanusiaan Universal Versi Buya Syafii Maarif
Buya Syafii melalui berbagai tulisan baik resonasi di harian umum Republika, majalah Suara Muhammadiyah, dan media lainnya. Beliau selalu mengajak masyarakat pembaca dan warga bangsanya untuk melihat sesuatu dengan kaca bening bukan dengan “kaca-mata kuda” budaya masing-masing, supaya tidak ada klaim kebenaran tunggal dengan menafikan kebenaran yang lain.
Beliau juga mengajarkan supaya berpikir dengan keluar dari “kotak”, supaya tidak berpikir seperti “katak dalam tempurung”. Yakni menaggap kelompok sendiri yang paling didukung oleh Tuhan, dan beranggapan kelompok lain di azab oleh Tuhan.
Kemudian, beliau menyuruh kita untuk bangkit dari “siuman” dan “tidur” panjang. Karena realitas umat hari ini menghadapi tantangan yang cukup berat. Tidak cukup dengan bernostalgia dengan masa lalu pada era kejayaan dan keemasan Islam.
Tanggung jawab Islam di sini dan di era sekarang sangat berbeda dengan masa lalu, maka perlu kesadaran sejarah (istilah Kuntowijoyo), supaya cepat sadar dari “siuman” dan “tidur” panjang.
Buya Syafii mengaja umat dan bangsa ini untuk senantiasa menghargai kemanusiaan. Bahkan beliau sendiri hadir pasca terjadinya pengeboman di sebuah gereja. Mungkin ada yang berpandangan miring dengan sikap tersebut. Tapi, sebagai guru bangsa, Indonesia bukan hanya milik satu golongan dan agama saja. Akan tetapi, Indonesia adalah berdiri di atas beberapa agama dan golongan, suku/ras, dan puak, maka tidak ada istilah yang paling “memiliki” Indonesia.
Sudat pandang Buya Syafii tersebut sangat menyentak kesadaran insani, supaya terbangun kembali solidaritas kebangsaan (nasionalisme) dengan menegakkan prinsip-prinsip keagamaan, kemanusiaan dan kebangsaan dalam level keindonesiaan. Bahkan, pada esensinya kemanusiaan tidak hanya pada batas bangsa, negara dan agama saja, ini merupakan level kemanusiaan universal.
***
Dalam beberapa tulisan dan buku, Buya Syafii pernah mengutip dua surat, yakni Al Baqarah {2}: 62 dan Al Maidah {5}: 69, serta mengutip dari tafsir Al-Azhar Buya HAMKA. Dua surat tersebut berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah {2}: 62)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Maidah {5}: 69)
Dari dua surat/ayat di atas, jelaslah bahwa spirit pesan langit mengajarkan bagaimana kemanusiaan universal harus dijalin. Namun, tidak berarti kita harus melegalkan segala bentuk kejahatan dan permusuhan yang mengatasnamakan agama apapun.
Tapi kita harus terus mengkritisi dan menolak segala bentuk perperangan, kejahatan kemanusiaan, dan gnosida, serta kezaliman yang menodai rasionalitas dan nurani sesama warga bumi, sebagaimana yang dialami saudara-saudara di belahan dunia Arab.
Dari hal di atas, semoga mata-air keteladanan dari Buya Ahmad Syafii Maarif menjadi inspirasi generasi muda Indonesia untuk tetap merawat kebhenikaan dan keindonesiaan dalam bingkai kemanusiaan.
Editor: Yahya FR