Inspiring

Buya Syafii Maarif: Filosofi Garam vs Gincu

4 Mins read

Sewaktu penulis berseragam putih abu-abu, nama Buya Syafii Maarif sering disebut saat melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas. Mantan guru besar IKIP Yogykakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) ini dikenal sebagai pemikir Islam modern di Indonesia yang inklusif, liberal dan plural. Alhasil, banyak tudingan-tudingan kasar, bahkan vonis-vonis sesat yang tertuju pada beliau.   

Sayangnya, dulu penulis sempat juga termakan opini-opini yang tidak mendasar itu. Beruntung, tidak sampai hati menuding beliau dengan vonis-vonis tak manusiawi. Penulis masih suka membaca ulasan-ulasan politik yang beliau tulis di berbagai media cetak.

Buya Syafii Maarif dan Pemikirannya

Saat berada di bangku kuliah, penulis mencoba open minded terhadap segala macam pemikiran. Berbagai macam buku dibaca. Termasuk buku Otobiografi Ahmad Syafii Maarif: Titik Kisar di Perjalananku. Meski ada beberapa bagian dari buku tersebut yang rumit dipahami, secara umum tetap menarik dibaca.

Beberapa bagian buku itu menceritakan perjumpaan beliau dengan pemikir Islam kotemporer kebangsaan Pakistan yang bernama Fazlur Rahman. Dari perjumpaan dengan Fazlur Rahman, buya Syafii Maarif mengalami pergeseran pemikiran. Dari pro Khilafah Islamiyah menjadi pro demokrasi berdasar spirit Islam.

Pergeseran pemikiran ini juga sempat dialami oleh Imam Syafii. Yakni pemikiran dari qaul qadim menjadi qaul jadid, karena  perbedaan konteks sosial dan budaya antara Irak dan Mesir. Tentunya pergeseran pemikiran tersebut juga memperhatikan maslahat dari masing-masing tempat.

Selain menyoroti pemikiran Fazlur Rahman, Buku otobiografi Ahmad Syafii Maarif juga menyelami syair-syair Muhammad Iqbal tentang Tuhan, agama, dan etika. Secara gamblang, beliau menampakkan kekaguman terhadap tulisan-tulisan Muhammad Iqbal.   

Dimana Rancunya?

Berangkat dari dua bagian buku tersebut, membuat penulis berpikir ulang tentang “vonis-vonis” yang sering dialamatkan kepada beliau. Benak penulis berkata: “Dimana sih rancunya pemikiran Buya Syafii?” Pertanyaan singkat ini benar-benar mengusik, hingga akhirnya penulis juga sempat mengalami qaul qadim-qaul jadid versi pribadi perihal Buya.

Baca Juga  Amin Abdullah: Kebhinekaan, Warisan Pemikiran Buya Syafii Paling Fenomenal

Bagaimana tidak, tokoh yang dianggap kontroversial itu ternyata selalu merujuk kepada dua pemikir Islam tersebut. Bahkan dalam setiap tulisan dan ceramah, Buya tak segan-segan mengutip dalil Al-Quran dan Hadis untuk sekadar memberikan pencerahan kepada jamaahnya.

Apa yang disampaikan beberapa oknum terhadap Buya hanyalah bentuk kesalah pahaman dalam mencerna opini beliau. Banyak aspek, mungkin tidak cermat, tidak utuh alias sepotong-potong, atau mungkin hanya berdasarkan opini subjektif orang lain (qila wa qala).

Semenjak itu, penulis mencoba berhati-hati terhadap opini-opini yang menyudutkan personal, apalagi opini yang menjurus kepada kebencian. Terutama opini mengenai Buya Syafii Maarif. Bagi saya, pemikiran beliau memang liar, namun tetap bernafaskan Islam.

Buya Syafii bukanlah Karl Marx yang dengan entengnya menganggap bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. Beliau juga bukan seorang Fredrich Nietzsche yang bebas berpikir sambil menikmati sebotol alkohol di bar. Buya Syafii adalah sosok relijius, lidahnya terus menyuarakan keadilan untuk rakyat.

Dunia Tanpa Tuhan

Lagi-lagi penulis dikejutkan dengan statment religius Buya Syafii, beliau selalu mengahadirkan Tuhan dalam setiap tulisannya. Alhasil, buah pemikiran modern keagamaan dengan menggabungkan ilmu agama dan ilmu modern selalu muncul dalam setiap tarikan nafas beliau.

Dalam buku Otobiografinya, persis setelah halaman cover depan, Buya memberikan kalimat singkat bahwa:

Dunia Tanpa Tuhan, Dunia Tanpa Rujukan

Buya Syafii Maarif

Buya menjelaskan akan pentingnya eksistensi Tuhan dalam setiap gerak dan langkah hidup manusia. Apalah jadinya hidup manusia tanpa meyakini adanya Tuhan. Ia akan tersesat dan kehilangan arah, serta tujuan. Ibarat kompas kehilangan magnet, ia tak bisa lagi menjalankan fungsinya dengan baik.

Meyakini eksistensi Tuhan bukanlah kepentingan Tuhan, melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Tuhan tetap ada, meski seluruh manusia tak meyakini-Nya. Tuhan tetap Maha Agung, meski seluruh manusia di bumi mengingkari-Nya.

Baca Juga  Lukman Harun (1): Aktivis HMI dan Muhammadiyah

Meyakini Tuhan adalah kebutuhan rohani setiap manusia. Hati manusia akan tentram bila ia selalu ingat Tuhan, kapan dan dimana pun ia berada. Tuhan akan mengiringi langkah-langkah manusia, sehingga hidupnya akan tenang dan terhindar dari rasa was-was.

Buya Syafii berhasil menangkap hakikat Tuhan dengan landasan filsafat yang beliau kembangkan. Pada bagian ini penulis sadar bahwa sosok Buya Syafii tidak seburuk yang dibayangkan, terutama saat masa berseragam putih abu-abu.

Tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya yang kritis, membuat penulis kagum. Akhirnya, pada Juni 2019 penulis mengikuti event menulis puisi dari salah satu penerbit indie di Jawa Barat. Puisi yang ditulis menggambarkan sosok Buya Syafii Maarif sebagai seorang pemikir di Indonesia.

Meski tidak menang, puisi tersebut berhasil dibukukan dalam buku yang berjudul Prolog Juni: Kumpulan Puisi Hasil Lomba Menulis Puisi Bertema Juni Jilid satu, terbitan Ellunar Publisher.

Secara pribadi, puisi tersebut sebagai representasi kekaguman, sekaligus bentuk permohonan maaf karena pernah terbujuk oleh opini-opini kontroversi tentang sosok Buya Syafii Maarif. Dengan menulis puisi tersebut, setidaknya penulis mengalami pertaubatan epistemologi terhadap pemikiran-pemikiran beliau.

Filosofi Garam dan Gincu

Statment ini sering disampaikan Buya Syafii dalam forum-forum diskusi. Seingat penulis, dulu Buya pernah ditanya, mengapa tidak mengkampanyekan sistem Khilafah Islamiyah di Indonesia? Secara tegas, beliau menyampaikan bahwa kata Khilafah Islamiyah tidak pernah termaktub dalam Al-Quran dan Al-Hadist.

Pemilihan sistem dalam masalah politik dan kenegaraan merupakan sebuah kontrak sosial dari masyarakat. Sehingga sangat fleksibel tergantung dari konsensus masyarakat setempat, khususnya Indonesia. Apalagi di Indonesia sudah ada Pancasila yang sudah merepresentasikan semangat Islam dengan kelima silanya.

Menurut Buya Syafii Maarif, dalam tatanan kenegaraan di Indonesia, filsafat garam telah lama dirumuskan dan dipakai oleh founding fathers. Meski dari luar tak nampak agamis, namun setelah diselami ternyata terasa sangat-sangat agamis. Tak ayal ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah Darul ‘Ahdi Wa Syahadah.

Sebuah negara perjanjian dan persaksian berdasar semangat Islam. Di sini, kita kembali diingatkan dengan perdebatan:

Baca Juga  Buya Syafii Maarif Sebagai Mata-Air Keteladanan Bangsa

 “Milih minyak unta cap babi, atau minyak babi cap unta?”

Jika kita menggunakan filsafat garam dan terpaku pada permasalahan substantif, tentu akan memilih “minyak unta cap babi”. Namun jika kita terpaku pada simbol maka yang dipilih adalah “minyak babi cap unta”.

Di sinilah filosofi garam bekerja. Tak nampak, tapi memberikan rasa asin. Lain halnya dengan filosofi gincu, memberi warna menyala, namun tak berasa.

Nah, sebagai umat Islam modern di Indonesia kita hendak memakai filosofi garam atau gincu? Silahkan pilih sendiri sesuai rasio dan akal sehat.

Ada sedikit harapan dan doa dari penulis untuk Buya Syafii Maarif. Semoga meski nampak lelah dan tua di usianya yang senja, beliau tetap aktif menyuarakan keadilan. Penulis berharap kelak akan ada yang menggantikan sosok Buya untuk menyarakan keadilan dari hati rakyat.

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
18 posts

About author
Penyuluh Agama Islam
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds