Inspiring

Buya Syafii, Membangun Islam Indonesia

4 Mins read

Oleh: Puput Dwi Lestari*

Nama Ahmad Syafii Maarif merupakan sebuah nama besar yang sudah tidak asing didengar baik oleh para cendikiawan maupun aktivis Muhammadiyah. Ahmad Syafii Maarif atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Syafii merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005. Ia merupakan sosok yang dilahirkan dan dibesarkan dilingkungan Muhammadiyah.

Amien Rais dan Fazlur Rahman

Buya Syafii dilahirkan di Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935 Pendidikan formalnya dimulai dari tingkat dasar yaitu SR (Sekolah Rakyat) dan Madrasah Ibtidaiyah Sumpur Kudus (lulus 1947), kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama di Madrasah Muallimin, Lintan, Sumatra Barat (1950-1953). Setelah lulus dari sekolah menengah pertama Buya Syafii kemudian hijrah ke Solo dan Yogyakarta  untuk melajutkan pendidikan. Ia memperoleh gelar Sarjana Muda Sejarah Budaya pada 1964.

Selanjutnya, ia memperoleh gelar Sarjana Sejarah dari IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) pada tahun 1968. Sepak terjang pendidikan Buya Syafii tidak cukup berhenti sampai disitu. Setelah lulus dari IKIP Yogyakarta, ia kemudian mengikuti program beasiswa Full Bright untuk meneruskan pendidikan jenjang Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan pendidikan masternya, buya Syafii kemudian melanjutkan pendidikannya pada Program Doktor di Universitas Chicago. Hal ini terjadi atas jasa Amien Rais yang telah memperkenalkan dan meminta rekomendasi kepada Fazlur Rahman.

Setelah diterima di Universitas Chicago inilah Buya Syafii secara intensif aktif melakukan pengkajian Al-Qur’an yang dibimbing secara langsung oleh gurunya sekaligus tokoh pembaharu Islam, Fazlur Rahman. Selain itu Buya Syafii juga aktif berdiskusi dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang saat itu juga sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas yang sama.

Baca Juga  Ibnu 'Abbas, Sang Tinta Umat

Sepak Terjang Buya Syafii

Buya Syafii berhasil menyelesaikan Program Dotornya di bidang Studi Bahasa dan Peradaban Timur pada tahun 1993 dengan disertasi berjudul Islam as thr Basic of State: A Study of The Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Kemudian Buya Syafii mengawali debutnya dibidang intelektual dengan menjadi tenaga pengajar di PGA Muhammadiyah di Lombok Timur selama satu tahun (1956-1957).

Ia menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Sejarah Indonesia Kuni di IKIP Yogyakarta dan asisten sejarah Islam di Universitas Islam Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1997. Kemudian dikukuhkan sebagai Guru Besar Filsafat di UNY pada 1997 dan mengajar di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu ia pun menjadi dosen di berbagai Universitas Luar Negeri serta menjadi ketua diberbagai organisasi nasional dan internasioanal.

Pada 28 Februari 2003, Buya mendirikan Maarif Institute for Culture abd Humanity, sebuah lembaga yang concern terhadap isu-isu keislaman dan demokrasi. Didirikannya Maarif Institute ini sebagai kesadaran akan pentingnya institusi kultural yang memperjuangkan tersosialisasikannya watak dan ciri khas Islam Indonesia sebagai agama rahmatan li al-alamin, inklusif, dan toleran serta memiliki kesesuaian dengan demokrasi yang berpihak kepda keadilan.

Sang Sosok Humanis

Sebagai seorang intelektual yang berkontribusi dalam mempopulerkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Buya Syafii sangat berjasa dalam mendorong gerbong pemikiran Islam yang inklusif dan toleran.  Pemikiran Buya Syafii dinilai banyak dipengaruhi oleh Fazlur Rahman selaku guru ketika di Universitas Chicago.

Sebelumnya Buya Syafii Ma’arif dikenal sebagai sosok yang fundamentalis, dimana Buya memahami Al-Qur’an sama seperti teks tanpa melihat konteks. Namun setelah perjumpaannya dengan Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, dan Amien Rais, pemikiran Buya menjadi lebih peka terhadap konteks.

Baca Juga  Sukidi: Pertapaan Intelektual dan Cerita-Cerita Uniknya

Sebagaimana Fazlur Rahman, Buya Syafii juga meilhat bahwa Islam sebagai ekspresi peradaban pada abad 21 masih belum banyak beranjak dari posisinya di masa lampau. Setelah hampir satu abad sepeninggal Al-Afghani dan Muhammad Abduh belum banyak pemikiran Islam fundamental yang berhasil disumbangkan demi mengangkat umat ke posisi yang lebih layak.

Buya Syafii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah memikat minatnya karena sejarah berbicara tentang kemanusiaan secara totalitas. Dari proses inilah rasa humanismenya tumbuh dan memperdalam perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan.

Buya Syafii mengajak seluruh umat Islam pada khususnya untuk membumikan Islam dalam bingkai Hablumminannas (saling mencintai dan mengasihi sesama manusia di muka bumi) yang sejati . Buya juga menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam keyakinan yang sebatas ritual. Tetapi juga harus mampu mengembangkan praktik dan perilaku hidup keislaman dengan memeluk utuh Islam sesuai seruan hakikinya, yaitu rahmatan lil’alamin.

Membangun Islam Indonesia

Kecintaanya yang tulus pada bangsa Indonesia membuatnya konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemajemukan dalam bingkai keislaman, keindonesiaan, kemanusiaan. Setidaknya inilah takeline yang sering didengungkan ketika acara shortcourse yang diadakan selama kurang lebih satu minggu oleh Ma’arif Institute, mulai tanggal 12-19 Desember 2019 kemarin.

Menurut Buya Syafii, wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya tercitra negatif hingga jauh dari nilai sejati Islam sebagai agama damai. Hari ini di Indonesia mudah sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam namun perilakunya kasar dan merasa paling suci.

Menurut Buya, Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbol-simbol saja dan menjauh dari esensi yang yang sebenarnya. Penyakit umat Islam di Indonesia adalah kerap menyamaratan antara Islam dengan Arabisme. Banyak orang Islam Indonesia memahami bahwa karena Islam berasal dari tanah Arab, maka semua yang ada di Arab sudah pasti 100 persen Islam.

Baca Juga  Rekreasi Intelektual: Membaca Pemikiran KH Muchtar Adam

Buya Syafii melihat terdapat bahaya besar apabila pemahaman ini terus berlanjut. Karena hal tersebut akan membuat masyarakat Islam Indonesia salah dalam melaksanakan dan memahami Islam. Salah satu cara yang harus dilakukan oleh masyarakat muslim Indonesia adalah dengan menumbuhkan sikap inklusif, toleran, non diskriminatif, dan egaliter agar umat Islam Indonesia terhindar dari fanatisme agama (merasa agamanya yang paling benar).

Tantangan Toleransi dan Demokrasi

Namun, relitas saat ini bahwa toleransi menurut buya Syafi’i masih sulit untuk ditegakkan di Indonesia. tidak hanya toleransi, demokrasi pun juga tidak tumbuh dengan baik. Menurutnya seperti diungkapkan dalam buku Islam dan Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah (2009) “kepentingan politik sempit yang menutup ruang untuk mengembangkan budaya toleransi di kalangan elit. Kemudian dibawah sistem politik otoritarian selama empat dasawarsa (1959-1988), demokrasi telah dibunuh secara sadar”.

Hal yang sangat dianjurkan dan ditekankan oleh Buya Syafii Maarif untuk menciptakan iklim beragama yang kondusif adalah dengan menumbuhkan sikap toleran pada setiap pemeluk agama di Indonesia. Karena Buya Syafii mengaku risih dengan dengan sikap intoleran di Indonesia. Buya Syafii menegaskan dalam bukunya, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1956-1965, ”Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran apabila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap.”

Toleransi bagaimanapun sangat penting bagi Indonesia yang majemuk dalam banyak hal.

*) Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *